Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dirga Maulana
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masjid bukan saja tempat untuk beribadah dan berkomunikasi antara manusia dan penciptanya, melainkan juga medium perebutan wacana. Masjid semestinya menjadi tempat penyebaran gagasan Islam moderat dan tempat tumbuhnya kesalehan sosial, bukan sebaliknya, sebagai tempat penyebaran gagasan kaum konservatif tentang persoalan agama dan bahkan menentang kedaulatan negara sebagaimana banyak muncul dalam banyak buletin Jumat sekarang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa buletin Jumat menjadi penting untuk sarana dakwah? Buletin Jumat merupakan domain publik, yang menjadikannya sebagai ruang publik. Buletin-sebagai alat untuk menyebarkan ide, gagasan, dan ajakan-merupakan salah satu media yang potensial untuk mempengaruhi audiens atau pembaca, dalam hal ini jemaah Jumat di masjid tersebut.
Hal ini bisa ditelisik dari tersebarnya buletin Jumat sebagai media dakwah yang kerap disebarkan setiap Jumat. Buletin itu adalah medium propaganda dengan pesan-pesan sangat jelas yang ingin menegakkan sistem negara Islam dalam bentuk khilafah Islamiyah. Misalnya, buletin Kaffah, yang sebelumnya bernama Al-Islam, sangat sering kita jumpai di masjid-masjid. Buletin ini secara konsisten menyebarkan gagasan khilafah Islamiyah yang mengajak jemaah mengikuti pola pemikiran mereka.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta baru-baru ini meneliti buletin Jumat ini di lima kota penyangga di Jawa, yakni Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Gresik. Ada 100 masjid yang tersebar di lima kota itu. Jadi, ada sekitar 20 masjid di setiap kotanya. Dalam temuan itu disebutkan buletin Kaffah banyak menghadirkan narasi-narasi tentang keagamaan dan kenegaraan. Dalam konteks kenegaraan, mereka kerap kali menulis dan berargumen tentang romantisme kejayaan khilafah Islamiyah dan terus-menerus mengkritik sistem demokrasi (PPIM, 2019).
Buletin Kaffah dengan tegas menarasikan bagaimana membangun hasrat untuk kembali pada khilafah Islamiyah secara global melalui dasar-dasar ajaran Islam tertentu. Ada tujuh dimensi yang bisa kita lihat: penerapan ajaran-ajaran Islam secara utuh dan literal atau tekstual sesuai dengan kitab suci; reaktif dan menentang kekuatan-kekuatan, ide-ide, dan praktik-praktik dari Barat yang dianggap sekuler dan materialis; serta mendukung penerapan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari dan sebagian mendukung pembentukan negara Islam, baik melalui jalan damai maupun kekerasan jika diperlukan.
Dimensi lain adalah mereka berdakwah secara aktif kepada siapa saja dengan meyakini bahwa pandangannya yang benar; kecenderungan tanpa kompromi dengan perbedaan pandangan sosial keagamaan, baik yang berasal dari sesama muslim maupun nonmuslim; kecenderungan menolak demokrasi dan penerapan hak asasi manusia tapi sering kali terlibat aktif dalam proses politik; reaktif dan menolak pemikiran, pandangan, dan tradisi sosial-keagamaan lokal (PPIM, 2019).
Temuan itu mengkonfirmasi bahwa masjid telah menjadi lahan subur bagi penyebaran gagasan Islam konservatif dan radikal, baik melalui buletin Jumat maupun pengkhotbah yang kerap berceramah di mimbar-mimbar masjid. Para khatib dan mubalig tak segan-segan menyampaikan ceramahnya dengan seruan keagamaan yang cenderung radikal dan intoleran. Misalnya, mereka kerap menyisipkan penolakannya terhadap ideologi negara Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah dibangun para pemimpin bangsa (CSRC, 2019).
Dua jalur yang ditempuh kelompok konservatif Islam dalam menyebarkan dakwahnya di masjid-masjid sangat konsisten dan militan, baik melalui media buletin Jumat maupun ceramah agama. Kita tentu menaruh harapan agar masjid dapat menjadi kiblat sebagai pembentuk karakter masyarakat yang moderat. Masjid tidak hanya menjadi tempat sarana ibadah, tapi juga menjadi wahana ideal bagi tumbuhnya pendidikan literasi keagamaan. Misalnya, masjid mendiskusikan tema-tema sosial keagamaan dari perspektif Islam, seperti pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan etos kerja, peningkatan minat baca, serta pengembangan perdamaian dan resolusi konflik.
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dapat terlibat secara aktif dalam pengangkatan takmir masjid dan melakukan pelatihan-pelatihan pengelolaan masjid secara profesional. Mereka kemudian menerbitkan buletin Jumat secara berkala dan menyiapkan mubalig yang siap berceramah seputar isu-isu kemanusiaan dan mengkampanyekan perdamaian serta Islam moderat.
Dengan demikian, buletin Jumat dan ceramah agama bisa diisi oleh para intelektual Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang menekankan Islam Nusantara dan Islam berkemajuan dalam visi mereka. Militansi dari keduanya sangat diharapkan untuk menciptakan masjid sebagai kiblat perdamaian dan pengetahuan.