Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berebut Warisan Penjajah

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nono Anwar Makarim Ketua Badan Pelaksana Yayasan Aksara; tulisan ini dibuat atas dasar penelitian International Law Moot Court Society FHUI.

Sipadan dan Ligitan, siapa yang punya? Indonesia bilang RI yang punya karena pada tahun 1891 Belanda membuat perjanjian dengan Inggris tentang garis perbatasan antara wilayah jajahan mereka di sekitar Kalimantan. Karena Sipadan dan Ligitan terletak di bawah garis lintang yang tercantum dalam perjanjian itu, dengan sendirinya dua pulau itu harus dianggap kepunyaan Belanda. Yang punya Belanda kemudian kita warisi. Malaysia tidak setuju! Dua pulau itu asal mulanya milik Sultan Jolo, yang menyerahkannya kepada British North Borneo Company, yang kemudian mengalihkannya kepada North Borneo State, suatu wilayah protektorat Inggris. Yang punya Inggris diwarisi Malaysia.

Semua dokumen penguat tuntutan yang diajukan Malaysia dan yang disodorkan Indonesia ditolak Mahkamah, karena dianggap tidak meyakinkan. Pada dokumen Indonesia ada kalimat "Dari garis lintang utara 4 derajat 10' di pantai timur garis perbatasan berlanjut ke timur di sepanjang paralel tersebut, melintasi Pulau Sebittik...." Kata "berlanjut" dan "melintasi" dianggap tidak jelas. Garis lintang utara itu berlanjut sampai mana? Melintasi Pulau Sebatik kemudian berhenti? Atau terus menjurus ke laut memisahkan pulau-pulau jajahan Inggris dari yang merupakan bagian Belanda? Kalau memang yang terakhir ini yang dimaksudkan, mengapa tidak dikatakan demikian? Perjanjian tahun 1891 dianggap terbatas pada pembagian wilayah kedaulatan Inggris dan Belanda di daratan Kalimantan, tidak meluas ke laut.

Di lain pihak, Malaysia bersikukuh dalam status pewaris Sultan Jolo dan serentetan dokumen penyerahan dan pengalihan. Mahkamah berpendapat bahwa argumen Malaysia tentang hak warisnya lemah, terutama karena tak sekali pun nama Sipadan dan Ligitan disebut dalam dokumen-dokumen yang diajukan.

Menghadapi situasi langka "sertifikat" yang bisa dianggap memadai atas dua pulau mungil dan kosong itu, Mahkamah Internasional menempuh jalan pintas: Tentukan hak siapa yang lebih kuat ditinjau dari sudut pelaksanaan kedaulatan! Untuk itu harus ditemukan suatu pola yang disebut effectivité, yang terdiri atas berbagai perbuatan yang menunjukkan maksud dan kemauan berdaulat, dan yang layaknya dilakukan oleh penguasa yang berdaulat. Perbuatan semacam itu juga disebut à titre de souverain. Walaupun putusan Mahkamah tidak menyebutnya secara terperinci, tampak setidaknya dua unsur: perbuatan yang mengatur dan perbuatan yang menunjukkan kehadiran.

Tingkah Laku Kedaulatan

Pada 1921 kapal perang Belanda, Lynx, berpatroli diperairan Sipadan dan Ligitan, lempar jangkar dan turun sekoci. Dalam buku log kapal Lynx, peristiwa itu tercatat sebagai upaya cari informasi tentang kegiatan perompak. Di samping itu, sebuah pesawat terbang laut melayang mondar-mandir di ruang udara Sipadan dan Ligitan, semuanya dalam rangka operasi bersama Belanda-Inggris melawan bajak laut. Atas dasar itu saja, menurut Indonesia, sudah dapat disimpulkan bahwa Inggris mengakui bahwa dua pulau itu di bawah kedaulatan Belanda.

Pada 1966, ada juga kontrak bagi hasil minyak bumi antara Pertamina dan Japex, suatu perusahaan minyak Jepang. Salah satu ladang lepas pantai Japex dibatasi di sebelah utara oleh garis lurus dari pantai timur Sebatik mengikuti paralel garis lintang utara 4°09'30" 27 mil ke laut. Agak menarik bahwa dua tahun kemudian Malaysia pun memberi izin eksplorasi minyak kepada Teiseki Oil Company dengan areal konsesi maritim yang berbatas selatan dengan garis lintang utara 4°10'30". Alokasi ladang lepas pantai itu menunjukkan bahwa Malaysia pun mengakui batas-batas teritorial RI.

Di lain pihak, Malaysia mengajukan serangkaian perbuatan sejak 1917. Pada tahun itu pemerintah kolonial Inggris mengeluarkan Ordonansi Perlindungan Penyu (Turtle Preservation Ordinance) yang membatasi penangkapan penyu dan pemungutan telurnya. Ordonansi itu secara eksplisit dinyatakan berlaku juga untuk Pulau Sipadan dan Ligitan. Sebelum dan setelah tahun 1930 para pamong pemerintahan Inggris sudah biasa menyelesaikan perselisihan penduduk setempat tentang pengambilan telur penyu. Pada 1933 Pasal 28 dari Ordonansi Pertanahan (Section 28, Land Ordinance 1930) menyatakan Sipadan sebagai cagar alam untuk burung. Ordonansi Perlindungan Penyu berlaku paling tidak hingga tahun 1950-an. Pada 28 April 1954 pejabat Distrik Tawau mengeluarkan izin penangkapan penyu berdasarkan Pasal 2 ordonansi tersebut. Akhirnya wilayah jajahan Inggris Borneo Utara membangun mercu suar di Sipadan pada 1962, dan satu lagi di Ligitan setahun berikutnya tanpa protes sedikit pun dari RI. Hingga kini mercu suar di dua pulau itu berfungsi karena sejak kemerdekaan dilanjutkan pemeliharaannya oleh pejabat Malaysia.

Jelaslah bahwa effectivité yang ditunjukkan Malaysia terdiri atas lebih banyak perbuatan á titre de souverain, berlangsung lebih lama, dan oleh karena itu lebih meyakinkan. Berpatroli, menurunkan sekoci, dan pemberian kontrak bagi hasil minyak bumi dianggap tidak cukup menunjukkan à titre de souverain. Sekadar main tancap bendera yang belakangan ini didengungkan oleh sementara penguasa di Indonesia patut disangsikan sebagai unsur effectivité. Bukankah merupakan kebiasaan pendaki gunung untuk menancapkan bendera nasionalnya begitu berhasil mencapai puncak gunung tanpa konsekuensi hukum apa pun? Berdasarkan perbandingan antara perbuatan masing-masing pihak yang memenuhi syarat à titre de souverain Mahkamah memenangkan tuntutan Malaysia. Kekalahan kita dan kemenangan Malaysia final.

1 Lawan 16

Kasus Sipadan dan Ligitan memang selesai; masalah pokoknya belum. Ia akan terus muncul selama warisan kolonial terus menunjukkan wajah buruk. Bahkan sekarang Malaysia dan Singapura sudah siap menyerahkan sengketa mereka tentang Pulau Batu Puteh kepada Mahkamah Internasional. Bagaimana suatu mahkamah seharusnya menilai suatu perjanjian internasional antara dua penguasa kolonial yang tujuan pokoknya adalah menghindari sengketa? Aspek inilah yang diangkat ke permukaan oleh hakim ad hoc Thomas M. Franck, satu-satunya dari 17 hakim yang "membelot" dari putusan bersama Mahkamah.

Beda pendapat (dissenting opinion) Thomas Franck bertitik tolak dari posisi bahwa suatu perjanjian internasional yang bertujuan menghindari konflik perbatasan tidak boleh dianggap sama seperti perjanjian jual-beli beras. Antara Inggris dan Belanda terbentang suatu sejarah konflik dan kerja sama yang panjang. Bila suatu perjanjian internasional menetapkan garis perbatasan atau suatu alokasi wilayah, presumsinya sudah sangat jelas: perjanjian semacam itu harus ditafsirkan dalam arti seluas mungkin, sebab tujuannya adalah mengatasi kemungkinan sengketa di hari depan.

Banyak penguasa kolonial membuat banyak perjanjian tentang kawasan yang bersangkutan. Tak satu pun perjanjian menyebut nama pulau-pulau mini yang kini dipersengketakan, karena memang pada zaman itu pulau-pulau itu tak punya arti apa pun. Menafsirkan Perjanjian 1891 antara Inggris dan Belanda hanya berlaku di daratan Kalimantan semata-mata karena tidak menyebut pulau yang dipersengkatakan, mengerdilkan makna traktat internasional tentang perbatasan. Menghentikan garis paralel 4°9'30" lintang utara di pantai timur Pulau Sebatik sungguh mengabaikan pesan "maksud dan tujuan" dalam Pasal 31 Konvensi Wina tentang penafsiran traktat.

Maksud dan tujuan Perjanjian 1891 adalah menutup kemungkinan semua konflik di antara para pihak di hari depan. Pengadilan yang diilhami suatu visi selazimnya meraih kesempatan dalam perkara ini untuk menjernihkan peranan hukum acara pembuktian dalam menyelesaikan konflik yurisdiksi dan teritorial. Inilah yang disebut hukum ajektif. Dalam menguatkan tesisnya, maupun dalam menangkal keabsahan effectivité yang ditunjukkan Malaysia, Thomas M. Franck memaparkan putusan-putusan Mahkamah Internasional sendiri di masa lampau. Ia menyesalkan bahwa justru pada momentum yang begitu penting bagi sejarah hukum internasional dan perdamaian dunia, Mahkamah telah mengelak dari kewajiban keramatnya menetapkan hukum, dan memilih jalan kerdil memilah-milah fakta lapangan yang kekuatan pembuktiannya meragukan.

Putusan Mahkamah Internasional dan dissenting opinion Thomas M. Franck dua-duanya mengandung kebenaran. Untuk kesekian kalinya kita menyaksikan bahwa kebenaran tak bercokol di satu tempat, pada satu pihak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus