Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eppur si move. Mungkin 400 tahun yang lalu, seraya menatap langit dan mengentakkan kaki ke bumi, Galileo mengucapkan kata-kata itu. Tapi mungkin itu hanya cerita. Apa pun kejadian yang sebenarnya, kalimat itu hendak meneguhkan apa yang baginya merupakan "fakta", bahwa bumi bergerak, mengelilingi matahari-tak peduli ajaran agama yang menetapkan sebaliknya.
Agama menetapkan X, tapi ilmu menetapkan Y, dan bumi bergerak, juga secara kiasan: pengetahuan tentang alam berubah, teknologi kian canggih, manusia semakin tak bisa berpegang kepada teori, doktrin, dan keyakinan yang lama, yang ingin langgeng. Apa yang disebut H.G. Wells-pengarang Inggris yang paling antusias dengan perkembangan sains di masa depan-sebagai "kekuatan masa lalu yang membutakan pikiran kita", the blinding power of the past upon our minds, sedang disingkirkan.
Masa lalu tak mengenal adanya delapan benua di bawah lautan, belum ada penyuntingan gen dalam embrio manusia, belum tahu ada sebuah planet-kini dinamai Proxima-yang mungkin bisa dihuni (dan siapa tahu berpenghuni). Juga belum ada penjelajahan jauh ke dalam tubuh, Human Genome Project (HGP), untuk mengetahui, menentukan, dan menyimpan semua isi genetik dalam kromosom organisme manusia, genome. HGP punya hasil langsung yang praktis, buat ilmu kesehatan dan forensik. Juga hasil tak langsung: ia bertolak dari (dan kemudian meneguhkan) asumsi "materialisme ilmiah" bahwa manusia adalah sebuah proses zat, sebuah bangunan materi, dan bahwa misteri yang dikaitkan dengan sifat "spiritual" anak cucu Adam tak pernah ada.
Ilmu tampaknya telah merasa sanggup memberi jawab semua hal dalam hidup. Buku Steven Hawking The Theory of Everything: The Origin and Fate of the Universe dan film yang dibuat tentang kehidupan jenius yang bertubuh rapuh itu menunjukkan bagaimana kandungan kata-kata Eppur si move berlanjut: sejarah makin menyambut pembangkangan Galileo. "Kualitas yang paling menonjol dari alam semesta ialah bahwa ia telah membiakkan makhluk yang mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan," tulis Hawking.
Dahsyat, memang-kedahsyatan yang di masa lalu diterjemahkan oleh agama dengan metafor "tangan Tuhan" yang bekerja dalam keluasan semesta. Seperti disebutkan Hawking, kita hidup di salah satu dari beberapa ratus ribu galaksi; mereka hanya bisa dilihat dengan teleskop modern. Kita hidup di sebuah galaksi yang ukurannya sekitar seratus ribu tahun cahaya bila diseberangi. Matahari kita yang jadi sumber cahaya dan energi yang tak tepermanai sebenarnya hanya "sebuah bintang kuning yang berukuran sedang", di dekat tepi luar dari salah satu lengan spiral galaksi.
Sebuah paradoks muncul di sini. Di satu pihak, manusia dapat merasakan betapa kecil dirinya; ia bukan lagi berada di pusat. Ia bukan lagi yang dalam salah satu puisi filsafat Jawa disebut "tinitah luwih", ciptaan yang unggul. Di lain pihak, ilmu yang berkembang bersama dirinya menjangkau ke mana-mana-dan terutama dalam diri seorang "kosmologis" seperti Stephen Hawking.
Satu dialog dalam film The Theory of Everything:
Jane Hawking: Apa yang disembah para kosmologis?
Stephen Hawking: Satu statemen mathematis yang bisa merangkum, untuk menjelaskan tiap hal di alam semesta.
Bagi ilmuwan semacam Hawking, "agama" bukan yang dibawakan nabi-nabi di masa lampau. Agama itu bernama "kosmologi", "sejenis agama bagi orang-orang cerdas yang atheis". Hawking tak bisa menerima "premis kediktatoran langit". Ia yakin akan adanya "statemen tunggal yang elegan" yang bisa menjawab semua pertanyaan, tanda ia optimistis dan mencerminkan kecenderungan "materialisme ilmiah" yang tak mengenal batas.
Tapi tidakkah di sini pun perlu kesadaran bahwa "statemen mathematis" yang tunggal itu juga bergerak, sebagai kebenaran dalam proses?
Mungkin kosmologi perlu belajar dari sejarah agama-agama.
Lahir dari kesadaran akan kedaifan manusia di hadapan Tuhan, semula agama jauh dari sikap takabur. Tapi kemudian, seperti ilmu, ia menyatakan diri sebagai pemberi keputusan terakhir. Menguasai pelbagai ruang hidup-dari sinetron sampai dengan perguruan tinggi-agama tak lagi menghidupkan rasa gentar dan terpesona kepada yang Maha Misterius. Tak ada lagi yang misterius; semua ada jawabnya. Bersama itu, agama kian meneguhkan keyakinan abad-abad yang lampau: dunia tak bergerak, dunia hanya bisa suci murni bila tak berubah.
Di abad ke-21, makin tak jelas benarkah ada yang suci murni dan langgeng. Inilah zaman ukuran lama kian cepat jebol. Robot, salah satu contohnya. Ia bukan saja kian lebih pintar ketimbang manusia, tapi menonjokkan pertanyaan baru, misalnya: bagaimana hukumnya jika manusia menikahi satu atau lebih robot seks?
Kita belum tahu jawabnya. Yang baru dibahas adalah: hukum menikahi jin....
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo