Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Haram Mengabaikan Difabel

Universitas Brawijaya bersama Nahdlatul Ulama merumuskan fikih disabilitas. Negara wajib menyediakan fasilitas publik bagi mereka.

31 Desember 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP akan melakukan salat di masjid, Dimas Prasetyo Muharam kelimpungan mencari saf. Jika tak terlambat, laki-laki 29 tahun yang buta sejak sekolah dasar ini akan dituntun anggota jemaah lain menempati kolom yang kosong. Repot jika jadi masbuk, ia tak tahu di mana saf yang masih kosong dan tak ada anggota jemaah yang menuntunnya karena mereka sudah mulai menjalankan salat.

Menurut Dimas, hampir tak ada masjid yang menyediakan fasilitas difabel, seperti ubin penuntun para tunanetra sehingga bisa mandiri menempuh tata cara sembahyang, sejak wudu hingga masuk barisan. Al-Quran braille juga tak selalu tersedia, apalagi pendamping khusus yang membantu memandu ibadah. "Jadi, kalau kami salah-salah sedikit dalam salat, Allah akan memaklumi," ujar instruktur komputer di Kementerian Komunikasi dan Informatika ini, terkekeh, Jumat pekan lalu.

Cerita Dimas tak jauh beda dengan yang dialami Angkie Yudistia, 30 tahun. Perempuan yang tunarungu sejak berumur 10 tahun ini mengaku harus selalu siaga ketika melakukan salat berjemaah di masjid di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Dia harus menengok kanan-kiri untuk menyeragamkan rukun salat karena ia tak mendengar bacaan imam. "Khotbah ustad tak bisa dimengerti karena tak ada penerjemah untuk tunarungu," kata Angkie, CEO Thisable Enterprise-perusahaan khusus untuk penyandang disabilitas.

Kesulitan beribadah seperti yang dialami Dimas dan Angkie itu secara khusus dibahas dalam Sidang Bahtsul Masail yang diadakan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, Malang, pada 19-21 Desember lalu. Sidang ini merespons diskusi dari para penyandang disabilitas di Jawa Timur pada 8-9 September 2017.

Mereka menghimpun permasalahan yang kerap dialami penyandang cacat dalam empat bidang, yakni ubudiyah (peribadatan), muamalah (pergaulan sosial), jinayah siyasah (kebijakan publik), dan ahwalul syakhsiyah (nikah dan rumah tangga). Menurut Sekretaris PSLD Slamet Thohari, hasil diskusi lalu dikaji tim perumus.

Slamet bercerita, 38 kiai pengasuh pesantren di Jawa Timur terlibat dalam pembahasan rumusan masalah hasil diskusi ini. Selama tiga hari sidang, para ulama beradu argumentasi berdasarkan sejumlah kitab yang jadi pegangan. Slamet menyebutkan terjadi perdebatan sengit di tengah ulama. "Meski alot, diskusi tetap didasari atas telaah yang bersumber dari kitab-kitab fikih yang otoritatif," ujar Slamet, penderita lumpuh kaki akibat virus polio.

Ada beberapa pandangan yang dirujuk ulama. Salah satunya Surat Abasa. Dalam surat ke-80 itu diceritakan bahwa Allah menegur Nabi Muhammad karena bermuka masam kepada Abdullah bin Ummi Maktum yang buta. Artinya, orang Islam tak patut membedakan perlakuan terhadap para difabel ini.

Ketua dan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, Najib Hasan dan Abdul Moqsith Ghozali, serta pengasuh pesantren Nahdlatut Tholibin Pati, Ahmad Nadhif Mujib, sebagai penengah debat. "Sekitar 90 persen kiai berpandangan progresif bahwa harus ada perlakuan setara untuk kaum difabel," kata Slamet.

Hasil dari sidang itu adalah 38 keputusan hukum fikih. Slamet menyebutkan sejumlah hukum Islam yang tegas mengkategorikan haram jika pemerintah tak menimbang fasilitas untuk difabel (sebutan buat penyandang disabilitas) dalam sarana umum. "Karena itu, pengelola masjid juga diwajibkan menyediakan tempat ibadah yang mudah diakses," Slamet menjelaskan.

Jika fasilitas umum saja harus disediakan, fikih juga mengharamkan keluarga memasung difabel. Ada banyak kemudahan dalam tata cara ibadah. Difabel, kata Slamet, diizinkan menjamak salat. Penderita tunarungu juga dibolehkan mengucapkan ijab-kabul dengan bahasa isyarat.

Tak hanya menimbang suara para difabel, menurut Slamet, tim PSLD melakukan riset kelayakan tempat ibadah di 75 masjid di Jombang, Tulungagung, dan Sampang. Ada 12 temuan, yang intinya masjid-masjid di Jawa Timur itu belum pro kepada penyandang disabilitas. Semua masjid tak punya ubin penuntun bagi tunanetra seperti dikeluhkan Dimas Muharam.

Selain itu, cuma tiga masjid yang punya toilet khusus penyandang disabilitas. Temuan lain, tak lebih dari lima masjid yang menyediakan penerjemah untuk anggota jemaah yang tuli. "Penyandang disabilitas juga punya hak yang sama untuk beribadah dan meraih surga," ucap Slamet.

Muhaimin Kamal, Ketua Tim Perumus Fikih Institut Agama Islam Negeri Jember, yang ikut dalam sidang, menjelaskan, perumusan fikih itu penting karena bisa menjadi landasan hukum positif. Istilahnya rukhsah, yang akan diwariskan di masyarakat. "Fikih itu sekaligus menjadi taklif bagi masyarakat yang bukan penyandang disabilitas," tutur Muhaimin.

Rukhsah sesungguhnya malah melengkapi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mengatur sanksi bagi negara yang tak ramah difabel. Dengan rumusan fikih ini, hukumnya bertambah bagi orang Islam, yakni sanksi dosa bagi mereka yang tak ramah penyandang disabilitas.

Muhaimin mengakui fikih terlambat dibanding hukum negara. Menurut dia, penyebabnya adalah kurangnya perhatian pada isu disabilitas karena jarang sekali muncul ahli fikih dari kelompok difabel. "Walhasil, tak ada ulama atau ahli fikih yang menyuarakan," kata Muhaimin.

Sejumlah langkah disiapkan agar fikih segera diimplementasikan. Slamet dan kawan-kawan menggandeng Pengurus Besar Nahdlatul Ulama untuk mensosialisasinya ke pesantren-pesantren. Kiai pondok dan ulama juga dimudahkan menyebarkan ajaran hukum itu karena rumusan fikih akan dibukukan dengan gaya bahasa populer. "Fikih itu bisa menyebarkan wajah Islam yang membela minoritas," ujar Slamet.

Targetnya, selama tiga tahun tergugah kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap difabel. Jika kesadaran sudah terbangun, sasaran berikutnya ialah penyediaan fasilitas ramah difabel, baik oleh pemerintah maupun takmir masjid. "Targetnya satu kabupaten ada masjid yang ramah difabel," tutur Slamet.

Muhaimin mendukung Slamet. Ia pernah meneliti, para santri jauh lebih ramah kepada difabel dibanding keluarga mereka sendiri. Santri menilai kaum difabel harus ditolong, bukan malah dikucilkan atau dirisak-yang justru acap terdengar dilakukan oleh keluarga mereka karena difabel dianggap pengganggu.

Mendengar sudah ada fikih yang mewajibkan negara dan masyarakat menyediakan fasilitas umum bagi difabel, Dimas Muharam senang mendengarnya. Ia dan para difabel tak akan lagi kesulitan berada di ruang publik, seperti masjid saat salat. Dimas berharap fikih ini dipatuhi dan dilaksanakan. "Supaya terhapus stigma difabel itu hanya penerima derma jika ada di masjid," kata sarjana Sastra Inggris Universitas Indonesia ini.

Raymundus Rikang (jakarta), Eko Widianto (malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus