Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bersitegang dengan IMF

Indonesia mulai terbiasa dengan "hukuman" IMF. Yang kini perlu diwaspadai adalah dampak negatif dari hukuman itu.

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADU argumentasi dan bersitegang urat leher biasanya membuat orang naik pitam, tapi bisa juga sebaliknya: terlepas dari beban, serta pikiran jadi terang. Dalam konteks perbedaan pendapat antara para petinggi IMF dan Menteri Koordinator Ekuin Rizal Ramli, kemungkinan bahwa "setelah adu pendapat pikiran jadi terang" bukanlah sesuatu yang mustahil. Lagi pula, kedua belah pihak adalah orang-orang cerdik cendekia, yang lebih terlatih untuk mendinginkan kepala yang panas daripada memanaskan hati yang dingin. Pergesekan yang terjadi antara Indonesia dan IMF sejak pekan silam bukanlah yang pertama. Ketika IMF menunda-nunda pencairan dana sebesar US$ 400 juta?dijadwalkan Desember tahun lalu?gelagat ke arah benturan sudah pula bisa diperkirakan. Dan "hukuman" berupa penghentian aliran dana bukanlah kali ini saja diterapkan pada Indonesia. Akibat "hukuman"itu, citra anak nakal semakin melekat, padahal sepanjang tiga dasawarsa Indonesia selalu tampil sebagai anak manis yang patuh membayar bunga dan cicilan utang?seberapa pun berat beban ekonomi yang dipikul oleh rakyatnya. Namun, karena IMF sedang tidak berkenan, rekor Indonesia sebagai anak manis (good boy) selama bertahun-tahun tidak diperhitungkan. Mengapa? Apakah IMF pendek ingatan, atau pendek penglihatan? Mungkin tidak kedua-duanya. Mungkin sekali masalahnya tidak berkaitan sama sekali dengan ketidakmampuan IMF memahami Indonesia. Soalnya, segala perkembangan di negeri ini terus-menerus dipantau dengan saksama oleh lembaga keuangan internasional itu. Bahwa pemantauan tersebut bermuara pada "hukuman", nah, sikap itulah agaknya yang sulit dipahami. Dengan hukuman itu, Indonesia dinilai belum terlatih untuk "siap diawasi". Sebaliknya, dalam pandangan Indonesia, IMF mulai terbiasa untuk tidak memenuhi komitmennya sendiri (untuk pencairan dana). Satu hal pasti, kendati posisi Indonesia terpuruk, untuk berperan sebagai "anak dalam pengawasan" sungguh hal itu muskil sekali. Perlu waktu untuk itu. Padahal, saat ini ada tiga isu besar yang membuat IMF memelototkan mata, yakni amandemen Undang-Undang Bank Indonesia, penjualan saham pemerintah di BCA dan Bank Niaga (yang tertunda-tunda), dan desentralisasi fiskal yang membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk meminjam langsung ke pihak luar. Sejauh yang bisa dipantau, soal divestasi saham kedua bank yang tertunda, konon hal itu karena beleid pemerintah menunggu waktu yang tepat?beleid yang oleh beberapa pengamat dicurigai ada apa-apanya. Tentang amandemen Undang-Undang Bank Indonesia, kekhawatiran IMF bahwa amandemen berpeluang menggerus independensi bank sentral sungguh sangat bisa dimaklumi. Tapi, kalaupun amandemen itu akhirnya bisa disusun, tetaplah ia merupakan produk bersama antara pemerintah dan DPR. IMF boleh meragukan niat baik pemerintah, namun "mengkhawatirkan" DPR, bukankah itu agak terlalu jauh? Mengenai hak pemerintah daerah untuk meminjam ke luar dan karena itu dicemaskan bisa memperburuk kondisi keuangan Indonesia secara keseluruhan, nah, di sini IMF tampaknya bersikap apriori. Mengapa tidak bisa melihat bahwa pemerintah daerah yang lebih independen mengurus anggarannya justru terpacu untuk lebih hati-hati? Atau IMF ingin terus melihat semua provinsi?termasuk DKI Jakarta?sekadar sebagai vasal yang tiap kali cuma minta belas kasihan pada pemerintah pusat? Seperti disebutkan di awal tulisan ini, setelah adu argumentasi, tahap "mendinginkan kepala" tentu penting sekali, terutama bagi Indonesia. Jujur harus diakui bahwa hukuman IMF memang pada awalnya terasa bagaikan bisa, namun karena terlalu sering, lama-lama jadi biasa. Tapi, dampak yang timbul karena hukuman itulah yang perlu diwaspadai oleh kita semua. Keberhasilan kita meraih pemulihan ekonomi akan menjadi taruhannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus