BEGITU sulitkah memberantas korupsi di Indonesia? Jawabannya sudah diketahui orang banyak: sulit. Dengar saja apa yang dikatakan Presiden Abdurrahman Wahid ketika berdialog seusai salat Jumat di Pasuruan pekan lalu. Di situ Abdurrahman jelas menyebutkan akan menangkap 10 pejabat di masa rezim Orde Baru dengan tuduhan korupsi. Apa hasilnya? Sudah seminggu usia ucapan itu, tak ada tanda-tanda mantan pejabat mana yang ditangkap. Bahkan, 10 nama itu pun tak jelas secara pasti. Masyarakat dipersilakan main tebak. Adakah Faisal Abda'oe, Rosano Barrack, atau malah Siti Hardijanti Rukmana termasuk dalam 10 orang itu? Ketiganya memang sudah dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi Proyek Pipanisasi Jawa.
Ginandjar Kartasasmita juga akan diperiksa dalam kasus Balongan. Sementara itu, dalam kasus lain, nama Akbar Tandjung disebut-sebut akan diperiksa. Tidak jelas sejauh mana kebenarannya, tapi rumor yang beredar, Gus Dur sedang mengembangkan jurus serangan balik atas memorandum DPR: "menyikat lawan-lawannya".
Sebenarnya, ini sejalan dengan reaksi pertama Gus Dur setelah menerima memorandum, akan mengusut kasus-kasus korupsi tanpa kompromi. Dan jika gebrakan Gus Dur ini akan banyak tertuju pada mantan pejabat yang dekat dengan Golkar, itu bisa dimaklumi. Golkar adalah partai yang menjadi saka guru utama kekuasaan Orde Baru.
Apa pun, jika Gus Dur memang mau membuat gebrakan pemberantasan korupsi--apalagi kalau langkah nyatanya lebih cepat ketimbang pernyataannya--masyarakat pasti akan mendukung. Ini tentu saja harus dilepaskan dari masalah politik, dan juga jangan dipolitisasi. Apakah koruptor itu orang Golkar atau bukan, tidaklah penting lagi. Yang jelas, mereka harus diusut, ditangkap, dan mengembalikan harta yang didapatnya lewat korupsi, kalau bisa. Pemerintah sekarang ini adalah pluralis, pemerintahan partai, bukan lagi pemerintahan "mayoritas tunggal" seperti dulu. Di masa Orde Baru, kasus korupsi yang demikian banyak bisa tertutup karena tak ada yang bisa menggugatnya, tapi kini semuanya bisa digugat. Gus Dur sebagai presiden sudah menjadi contoh yang bisa diusut, dalam kasus Buloggate dan Bruneigate. Tentu "gate-gate" lainnya terbuka untuk diusut, apakah itu orang Golkar, PDI Perjuangan, atau siapa pun.
Di sinilah peran Kejaksaan Agung sangat menentukan. Masalahnya adalah yang menjabat jaksa agung saat ini orang partai, kebetulan dari Golkar pula, "lawan politik" Gus Dur. Jika ini membuat serba salah langkah, baik untuk Gus Dur maupun untuk Golkar, barangkali perlu dipertimbangkan jaksa karir untuk jabatan sepenting ini. Jadi, bukan seorang politisi yang ditaruh di sana. Dengan begitu, jika mereka bekerja lamban, tak ada tuduhan melindungi para koruptor dari partainya. Sebaliknya, jika mereka bekerja serba cepat dan gesit, pun tak ada sangkaan bahwa mereka sedang membabat lawan politiknya. Jaksa agung haruslah betul-betul netral.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini