Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungguh ”sombong” orang Indonesia. Pendapatannya 21 kali lebih rendah ketimbang warga Singapura, tapi rela membayar akses Internet 6,7 kali lebih mahal dari harga di negeri itu. Hal serupa juga terjadi pada akses telepon. Tarif telepon Indonesia termahal di dunia setelah Cile, atau tiga kali lebih mahal ketimbang di Singapura. ”Kesombongan”, atau lebih tepat kesialan, itu terjadi bertahun-tahun selama kepemimpinan lima presiden, dari Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah seperti acuh tak acuh soal tarif telepon dan Internet yang mencekik dompet.
Ketidakpedulian pemerintah itu hal aneh. Sebab, menurut survei Badan Telekomunikasi Dunia (ITU), tersedianya infrastruktur Internet dan telepon yang baik adalah jalan bagi datangnya kemajuan, juga kemakmuran. Lembaga itu menyatakan, setiap investasi di sektor telekomunikasi sebesar satu persen saja akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sebesar tiga persen. Hipotesis itu telah terbukti di Jepang, Korea Selatan, Kanada, Australia. Jepang dan Korea Selatan adalah surga Internet terbaik di dunia—70 persen rumah di sana terhubung dengan broadband (jaringan Internet kecepatan tinggi). Dan infrastruktur itu membuat industri komputer mereka semaju Amerika Serikat.
Para pejabat Indonesia sebenarnya sudah hafal di luar kepala teori kemajuan keluaran ITU. Namun, tetap saja tak ada langkah yang berarti. Dua perusahaan negara Indosat dan Telkom dibiarkan saja, malah kerap didukung, melakukan duopoli dan menjual layanan yang supermahal. ”Padahal, kalau mau sedikit mengurangi keuntungan, Internet di Indonesia bisa murah,” kata salah seorang pengusaha Internet di Jakarta.
Pemerintah seharusnya melihat pembangunan infrastruktur telekomunikasi seperti saat mereka membangun jalan. Ketika pemerintah membangun jalan, mereka tak berharap investasi itu menghasilkan keuntungan instan. Tapi mereka yakin, dalam jangka panjang, jalan akan menghasilkan multiplier effect bagi kemakmuran ekonomi. Pandangan itulah yang seharusnya juga diterapkan pada proyek pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Jaringan telepon dan Internet murah akan meningkatkan produktivitas ekonomi.
Dengan buruknya jaringan Internet, misalnya, mustahil Indonesia bisa bersaing dengan Singapura, Malaysia, untuk membangun industri telekomunikasi dan komputer. Lihat saja, produsen komputer dunia seperti Dell, Hewlett Packard, lebih melirik Malaysia ketimbang negeri ini. Bahkan Intel dan Microsoft pun lebih memilih berinvestasi di Vietnam ketimbang di Indonesia. Jadi, percumalah upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membujuk bos Microsoft, Bill Gates, agar berinvestasi di Indonesia—dengan sowan ke rumah Gates yang harganya Rp 902 miliar di tepi Danau Washington—kalau usaha itu tak diimbangi dengan keseriusan membenahi infrastruktur telepon dan Internet.
Pemerintah harus berhenti berwacana. Agar Internet murah, contohnya, tak perlu muluk-muluk dulu ingin memindahkan ketergantungan Internet Indonesia dari Singapura ke Malaysia atau Hong Kong agar mendapat harga lebih murah. Ide itu baik, tapi butuh dana sampai Rp 15 triliun. Ada cara yang lebih murah: rayulah pengusaha Internet dan telepon, terutama duopoli Telkom dan Indosat, untuk mengurangi sedikit labanya demi penyediaan akses murah. Bersama kita bisa mengurangi harga Internet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo