Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Giliran Membekuk Sang Penyuap

6 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGUNGKAPAN suap di balik terpilihnya Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom jangan berhenti hanya pada penerima. Setelah 26 anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan sebagai tersangka, tugas Komisi Pemberantasan Korupsi justru lebih berat: mencokok sang pemberi suap. Tindakan ”tebang pilih” perlu dihindari, siapa pun yang terlibat mesti ditangkap dan diadili. Hanya dengan cara itu publik bisa yakin, perkara rasuah jumbo ini benar-benar dibongkar tanpa ada menyisakan pelaku. Komisi Pemberantasan Korupsi—yang belakangan kebanjiran kritik lantaran ”lesu darah”—perlu menjadikan perkara ini sebagai momentum ”kebangkitan kedua”.

Meskipun agak terlambat, penyematan status tersangka buat anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR yang diduga menerima suap pada 2004 untuk memilih Miranda itu bolehlah kita beri apresiasi. Komisi antikorupsi—dan juga pengadilan khusus tindak pidana korupsi—sudah berhasil menyibak fakta bahwa di balik ”kehebatan” Miranda menyingkirkan dua pesaingnya—Budi Rochadi dan Hartadi Sarwono—ternyata ada gelontoran duit dalam jumlah besar. Tak kurang dari Rp 24 miliar ”dipersembahkan” kepada 41 orang anggota Dewan. Jumlah ini setara dengan beasiswa untuk 20 ribu murid masing-masing Rp 100 ribu sebulan selama setahun!

Komisi Pemberantasan Korupsi kurang gerak cepat mengurus kasus ini sejak diungkap dua tahun lalu oleh Agus Condro, anggota Dewan dari Fraksi PDI Perjuangan yang kini juga ditetapkan sebagai tersangka. Ketika itu Komisi dihambat banyak problem internal. Padahal Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan saat itu sudah menemukan aliran dana 480 cek pelawat yang diterima anggota Dewan. Seorang anggota kebagian sepuluh cek dengan nilai total Rp 500 juta.

Kasus ini direncanakan dengan ”canggih”—sampai melibatkan orang yang sudah wafat segala. Cek pelawat yang dikeluarkan oleh Bank Internasional Indonesia atas permintaan Bank Artha Graha itu, menurut keterangan mereka yang terlibat, dibeli oleh seorang pengusaha kelapa sawit. Dari situ, tanpa dijelaskan detailnya, duit ”mendarat” di Senayan. Jika Komisi percaya pada cerita ini, niscaya perkara ini mangkrak di tengah jalan. Penelusuran akan mentok karena pengusaha Suhardi Suparman alias Ferry Yen, menurut ”kicauan” mereka yang diperiksa, telah meninggal.

Penelusuran majalah ini menunjukkan bahwa sang bandar suap bukanlah Ferry Yen. Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengungkapkan aktor intelektual di balik suap ini. Sejauh ini yang diketahui baru kaki tangan sang bos penyuap. Mereka, antara lain, Ahmad Hakim Safary alias Arie Malangjudo dan Nunun Nurbaetie, pengusaha yang juga istri bekas Wakil Kepala Kepolisian Adang Daradjatun.

Manfaat pengadilan antikorupsi sangat terasa dalam kasus ini. Peran Nunun dan Arie terungkap di sana. ”Daftar” anggota Dewan penerima uang haram itu juga terungkap di pengadilan khusus itu. Sejauh ini, dari 41 anggota Dewan penerima cek, baru empat orang yang diadili. Mereka divonis penjara dua tahun. Hanya Hamka Yandhu dari Partai Golkar yang divonis dua tahun enam bulan.

Usaha Komisi Pemberantasan Korupsi mengejar otak pelaku kasus ini bisa diawali dengan membawa pulang Nunun Nurbaetie. Entah terinspirasi oleh siapa, ketika jejaknya tercium, Nunun mendadak mengaku menderita ”sakit lupa berat”, sehingga menolak menjadi saksi di pengadilan. Karena penyakit yang menurut orang-orang sekitarnya baru kali ini menghinggapi Nunun itu, ia memilih ”bersembunyi” di Singapura.

KPK tak cukup mengendus jejak Nunun di Negeri Singa atau bahkan mungkin telah bertemu dengannya. Tugas KPK bukan hanya merekam Nunun bicara, melainkan membuatnya datang ke pengadilan. Perempuan dengan banyak jejaring ini diyakini tahu persis sumber utama cek pelawat untuk memenangkan Miranda Goeltom itu.

Penerima dan pemberi suap merupakan pelaku kejahatan korupsi. Pengadilan kelak mesti menjatuhkan hukuman setimpal untuk semua yang terlibat. Berat hukuman itu mesti ditakar sedemikian rupa agar wakil rakyat periode selanjutnya tidak mencoba-coba melakukan kejahatan yang sama. Kendati dalam sistem hukum kita whistle blower tidak serta merta bebas dari hukuman, khusus untuk Agus Condro mestilah ada pengecualian. Ia berjasa besar membongkar perkara busuk, yang sayangnya menimpa dirinya juga. Untuk memberikan kesempatan kepada pelaku korupsi bertobat, juga memberikan insentif untuk keberanian membongkar korupsi, hakim perlu mempertimbangkan pengurangan hukuman untuk Agus. Atas pengakuan penting yang menjadi pintu masuk pengusutan kasus ini, Agus bahkan layak dibebaskan sama sekali dari hukuman. Berkat Agus pula KPK seperti mendapatkan kembali semangat untuk bertarung melawan korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus