Presiden Abdurrahman Wahid dikabarkan segera mengganti menteri-menterinya. Tak ada lagi menteri yang digaransi.
PRESIDEN Abdurrahman Wahid bukan saja dikenal suka keluyuran ke luar negeri—di saat di dalam negeri ada bencana gempa, banjir, perang saudara, dan lain-lainnya—tetapi juga akan dikenang sebagai presiden yang paling banyak (dan cepat) melahirkan mantan menteri. Belum genap setahun ia memerintah, tersiar kabar Gus Dur akan me-reshuffle kabinetnya. Yang selama ini sudah "dimantankan" adalah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Hamzah Haz, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Wiranto, Menteri BUMN Laksamana Sukardi, dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla. Yang setingkat menteri adalah Sekretaris Negara Ali Rachman dan Sekretaris Pengendalian Pemerintahan Bondan Gunawan.
Kinerja menteri sekarang ini memang buruk. Itu bukan saja diamati masyarakat, tetapi juga diakui Gus Dur. Tidak ada kerja sama. Yang satu ke barat, yang lain ke timur. Mereka memang berasal dari partai-partai yang berbeda, sebagai balas jasa kepada partai yang mendukung naiknya Gus Dur sebagai presiden. Menteri-menteri itu mendapatkan garansi dari pimpinan partai politik dari mana ia berasal. Karena itulah para menteri punya dua bos, yang satu presiden, satunya lagi pemimpin partai yang menggaransi mereka. Akibatnya, loyalitas para menteri bisa lebih berat ke kepentingan partai daripada kepada presiden atau kepada tugas utamanya sebagai eksekutif sebuah departemen. Jadi, memang simpang-siur.
Sekarang ini, kabarnya, pimpinan partai politik sudah sepakat memberi mandat penuh kepada Gus Dur untuk menyusun kabinetnya. Benar atau tidaknya ketulusan pemberian mandat itu bukanlah persoalan penting. Yang lebih penting adalah apakah Gus Dur benar-benar melakukan hal ini.
Jika Gus Dur melakukan hal itu dan ia memilih pembantu-pembantunya sendirian, dari orang-orang yang yakin bisa diajaknya bekerja sama, barangkali ini langkah yang sangat bagus. Biarlah partai-partai lain memosisikan dirinya di luar pemerintahan, dan melakukan koreksi atau kontrol di lembaga legislatif. Urusan eksekutif cukup ditangani Gus Dur, tidak usah direcoki lagi. Kita tinggal melihatnya, apakah kabinet baru itu benar-benar diisi orang profesional yang memang mampu mengatasi berbagai krisis yang tak sembuh-sembuhnya ini. Kalau ternyata orangnya baik, kabinet kompak, kita patut bersyukur. Kalau masih saja amburadul, nah, tentu partai-partai yang memosisikan dirinya sebagai oposisi itu bisa berhitung-hitung, apakah justru mandat Gus Dur yang perlu dipertimbangkan. Jadi, tidak seperti sekarang ini, kabarnya ada partai yang kasak-kusuk mau menjatuhkan Gus Dur, padahal pimpinan partai itu sendiri menempatkan orangnya di kabinet. Itu artinya menjatuhkan pemerintahannya sendiri.
Biarlah persoalannya lebih disederhanakan. Ada partai yang memerintah, dan ada partai yang menjadi oposan. Suara rakyatlah yang menentukan itu, yang mana di Istana, yang mana di Senayan. Cuma, sekarang telanjur ada ganjelan, presiden dan wakilnya berasal dari partai yang berbeda. Dan sayangnya lagi, partainya Wakil Presiden Megawati justru lebih banyak mendapatkan suara dari rakyat ketimbang partainya Gus Dur, PKB. Lantas, bagaimana memosisikan PDI Perjuangan? Rumit juga, ya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini