Syahril Sabirin masuk bui, Rabu pekan lalu. Protes langsung mengalir dari segala penjuru, dan yang paling nyaring terdengar dari kalangan yang garis politiknya berseberangan dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Barangkali memang beginilah suasana yang disebut demokratis itu: apa pun keputusan yang diambil pemerintah pasti akan dikritik oleh mereka yang—secara formal ataupun tidak—berada di kubu oposisi.
Persoalannya kemudian adalah: bagaimana masyarakat harus bersikap?
Salah satu pilihan yang layak dipertimbangkan adalah mengikuti petuah almarhum Adam Malik kepada rakyat Indonesia setiap kali menghadapi persoalan rumit. Politisi kawakan yang sempat menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Wakil Presiden Republik Indonesia, dan Ketua Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ini acap berujar: ''Hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin."
Begitulah. Kita boleh saja marah karena merasa keputusan Marzuki Darusman terlalu kejam atau sebaliknya, kelewat lunak. Apa pun, yang lebih penting adalah mencermati apakah tindakan yang diambil pemerintah itu sesuai dengan hukum yang berlaku atau—jangan-jangan—melanggarnya. Sebab, suka atau tidak, perkara kepastian hukum adalah soal yang lebih penting saat ini ketimbang rasa belas kasih orang per orang.
Masalahnya, harus diakui, upaya penegakan hukum tidaklah selalu selaras dengan rasa belas kasih. Mungkin itu pula sebabnya penduduk Yunani kuno menggambarkan Themis, sang Dewi Keadilan, sebagai seorang wanita yang mengenakan penutup mata dengan neraca hukum di tangan kiri dan pedang terhunus di tangan kanan. Apa boleh buat, sejahat-jahatnya seorang pembunuh sadis, bukanlah hal yang mustahil bahwa di mata anak dan istrinya ia adalah seorang ayah yang baik dan suami yang penuh cinta.
Syahril Sabirin jelas bukan pembunuh sadis. Kesantunan dan ketaatannya beribadah bukan hanya dirasakan oleh anak dan istrinya, melainkan nyaris oleh semua orang yang pernah berhubungan dengan Gubernur Bank Indonesia ini. Karena itu, wajar saja jika keputusan presiden mengenakan penahanan terhadapnya dianggap sebagian orang sebagai berlebihan. Apalagi mengingat begitu banyak sosok lain yang selama ini ditengarai terlibat dalam kasus Bank Bali masih bebas berkeliaran kendati perangai mereka sehari-hari terasa kental berbau korupsi.
Maka, tudingan bahwa penahanan ini bermotifkan politik menjadi mudah diterima orang ramai. Terutama setelah upaya Presiden Abdurrahman Wahid menawari Syahril Sabirin untuk dibebaskan dari proses hukum—jika bersedia mengundurkan diri dari jabatan Gubernur Bank Indonesia—bocor ke khalayak luas. Ditambah lagi pengakuan Syahril Sabirin tentang pilihan untuk menjadi duta besar atau anggota Dewan Pertimbangan Agung jika ia bersedia mengikuti saran Presiden Abdurrahman Wahid tersebut.
Semua itu mencitrakan telah terjadi sebuah konspirasi politik dengan selera buruk. Bagaimana tidak. Sungguh sulit diterima akal sehat bahwa pemerintah, yang begitu yakin tentang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Syahril Sabirin, ternyata tak hanya menawarkan untuk menghentikan proses hukum terhadap dirinya, melainkan juga jabatan terhormat, jika ia bersedia mundur dari jabatannya sebagai Gubernur Bank Indonesia.
Perilaku pemerintahan Abdurrrahman Wahid ini menunjukkan kebiasaan buruk era Orde Baru belum juga berubah. Jabatan duta besar, yang tugasnya mewakili kepentingan dan citra bangsa Indonesia di negara penempatannya, seharusnya diberikan kepada putra-putri bangsa yang terbaik untuk melakukannya, dan bukan menjadi tempat buangan bekas pejabat yang tak dipakai lagi. Demikian pula keanggotaan di Dewan Pertimbangan Agung sepatutnya hanya diberikan kepada mereka yang dapat menjadi teladan bangsa karena tanpa cela di masa pengabdian aktifnya kepada negara. Bila DPA—institusi yang oleh konstitusi ditugasi untuk memberi nasihat kepada presiden—dipenuhi oleh mereka yang diduga pernah melakukan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang ketika menjadi pejabat negara, bukankah ini akan menjadi lelucon baru Gus Dur yang sama sekali tak lucu?
Kalangan dalam Istana berkilah bahwa tawaran diberikan karena dua alasan: menghindari keributan politik demi menjaga stabilitas rupiah dan melancarkan upaya pembersihan Bank Indonesia dari berbagai jerat kolusi. Syahril Sabirin yang dikenal santun itu justru dianggap menjadi titik lemah dalam tugasnya mereformasi institusi yang seharusnya bertanggung jawab atas rontoknya sektor perbankan nasional. Kesabaran sang Gubernur BI yang legendaris dinilai menyiratkan ketidaktegasan dalam menghukum—bahkan kalau perlu memecat—aparat BI yang korup atau lalai dalam tugasnya, sehingga pelaksanaan pengucuran kredit bantuan likuiditas BI ke sektor perbankan mencapai nilai Rp 164 triliun.
Kalaupun alasan ini tidak dibuat-buat, pemerintah seharusnya memberikan tawaran yang berbeda. Kepada Syahril Sabirin seharusnya diberikan pilihan menggiatkan upaya pembersihan di Bank Indonesia bersama aparat hukum—dengan hadiah keterlibatannya akan diampuni melalui hak prerogatif Jaksa Agung mendeponir perkara—atau menjadi fokus penyidikan karena diduga menjadi penghambat utama upaya pembebasan bank sentral Republik dari mereka yang terlibat dosa besar di masa lalu itu.
Sekarang semua telah menjadi bubur. Bagi Jaksa Agung Marzuki Darusman memang tak ada pilihan lain kecuali memerintahkan penahanan terhadap Syahril Sabirin. Perlawanan sang Gubernur Bank Indonesia terhadap pemerintah secara terang-terangan, lepas dari siapa yang benar, menyiratkan konflik kepentingan yang berpotensi menghambat upaya aparat hukum menyibak berbagai kasus yang melibatkan Bank Indonesia.
Hanya, untuk membuktikan bukan motif politik yang menjadi alasan utama penyidikan terhadap Syahril Sabirin ini, pemerintah harus sigap menambah jumlah tahanannya untuk berbagai kasus korupsi, terutama perkara Bank Bali.
Rakyat Indonesia menggulingkan rezim Orde Baru karena dianggap sudah terpuruk dalam perangkap korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kini Orde Reformasi telah berdiri dan dua tahun lebih telah lewat semenjak lengsernya Soeharto. Lantas, mengapa baru satu pejabat pemerintah masuk tahanan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini