Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bila Muslim Melawan Muslim

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syu'bah Asa*) *)Pengajar Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta MENGENASKAN, jadinya, kalau ternyata yang berhadapan langsung di Afganistan akhirnya pasukan Afgan dengan pasukan Afgan. Yang satu dari pemerintah Taliban, yang lain dari Aliansi Oposisi Utara. Pihak Utara itulah yang dibayangkan akan berperan penting melanjutkan bombardemen Amerika Serikat dan sekutu dengan kecamuk perang di daratan yang sulit tapi sangat mereka kenal itu, dengan mesin perang dan bala tentara AS terutama sebagai payung. Dalam keadaan itu, para sukarelawan dari Indonesia (kalau mereka betul-betul di sana, dan berperang), tetap bulatkah niat mereka mendukung Taliban, yang akan juga melawan sesama muslim? Tentu saja. Ada dua alasan kuat di kalangan Islam yang mendorong orang bersikap. Pertama, atas dasar rasa kesatuan Islam, mereka ber-nawaitu membela Afganistan—yang hanya kebetulan dipimpin Taliban—dan bukan membela Taliban. Bahwa akhirnya ada pihak yang tergilas, ya, itu risiko. Kedua, dorongan yang lebih murni agama (baca: aliran) kelihatan bila seorang sukarelawan, di Jakarta, menyatakan bahwa hanya pemerintah Taliban yang melaksanakan syariah secara benar. "Yang lain sekuler semua, meskipun namanya Islam." Berarti, yang dibela golongan kedua adalah sebagian muslim. Sementara itu, siapa bisa menjamin bahwa di dalam tujuan menumbangkan pemerintah Taliban, yang dimiliki Aliansi Utara, tidak terkandung maksud agamis pula, yakni melenyapkan contoh keberagamaan yang kaku, kasar, antimodernisasi, totaliter, dan hanya—menurut mereka—"merugikan Islam dan muslimin"? Masalahnya memang lebih musykil dibanding jenis perang yang bisa dibayangkan dari pernyataan Quran (49:9), yang menyuruh mendamaikan dua kelompok mukmin yang berbunuh-bunuhan dengan anjuran: "Bila yang satu melebihi batas kepada yang lain, perangilah yang melebihi batas sampai ia tunduk kepada perintah Allah." Sebab, pertama, perkelahian dua kelompok ini (contohnya perseteruan Dayak dan lain-lain dengan Madura di Kalimantan Tengah) terkesan tidak bermotifkan agama. Kedua, ada wasit yang menengahi, dan itulah yang diajak bicara ayat di atas, yakni pemerintah atau otoritas di luar mereka. Sebaliknya, siapa yang akan menengahi perang antara Taliban dan Aliansi Utara? Justru beberapa peperangan di zaman sahabat Nabi, sejak akhir masa Utsman bin Affan, lebih mirip ke perang Afgan: clash pemerintah melawan pemberontak atau pemerintah tandingan, tanpa wasit. Dan setidak-tidaknya pada Ali (pemerintah) dan Aisyah (yang berontak) terdapat motif agama, meski bukan jenis pengamalan ajaran. Meski begitu, seruan ayat di atas bersifat umum, tentu. Yang penting, seperti dikatakan Saiyid Quthb, adalah semangatnya—sesuai dengan ayat sambungannya, "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu satu saudara." Dan justru karena itu perang antarmuslim selalu menuntut jawaban hukumnya menurut agama. Dari jauh, bisa diikuti jalan pikiran mengenai wajibnya membela negeri Islam dari serangan negeri non-Islam, sepanjang kebutuhan. Konsekuensinya, pihak (Islam) mana pun yang membela sang penyerang harus dianggap musuh. Tetapi bagaimana jika serangan asing itu justru bagai pucuk dicinta dan seterusnya bagi pihak muslim yang selama ini berperang dengan pemerintah—yang merasa diri merekalah sebenarnya penguasa yang sah, yang diakui PBB dan mayoritas negara di dunia, yang hanya direbut pemerintahannya oleh saudara mereka yang sekarang diserang Amerika itu? Itulah yang dialami pemerintah Republik Islam Afganistan dari Burhanuddin Rabbani, yang sekarang bergabung dengan Asosiasi Oposisi di Afganistan Utara. Mereka memang membonceng AS—sebagaimana kemenangan Taliban atas mereka dulu juga tidak sunyi dari bantuan AS, yang mengkhawatirkan pengaruh Iran atas lawan-lawan Taliban yang baru mengalahkan Soviet itu. Sementara itu, pemerintah Taliban sendiri cuma mendapat pengakuan dari Pakistan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab—dengan catatan dua yang terakhir kini memutuskan hubungan. Tinggal lagi, yang bisa dipersoalkan, status kematian para muslim yang berperang itu. Bisa dimengerti keyakinan mereka yang melawan tentara Amerika di bumi Afganistan sebagai calon-calon syuhada. Tapi bagaimana bila peluru yang menembus tubuh mereka ternyata berasal dari saudara sendiri? Bukhari, dalam himpunan hadisnya, mencantumkan Q.49:9 di atas sebagai pembuka bab. Kemudian mengingatkan kita dengan kesimpulannya: "Allah Ta'ala menyebut kedua-dua kelompok sebagai mukmin." Dengan kata lain, perseteruan mereka tidak menyebabkan mereka kafir. Dan kalau begitu, tidak ada yang berstatus syahid. Itulah sebabnya Saidina Ali, dalam perang melawan Mu'awiah, menyalati baik tentaranya maupun tentara lawannya yang gugur (dan jangan percaya anggapan Syi'ah yang mengafirkan siapa saja yang melawan Ali). Harap diketahui, mereka yang syahid tidak perlu lagi disalati. Bahkan, dalam kasus Afganistan, bagaimana bila yang gugur oleh tembakan Amerika juga tidak berstatus syahid (kecuali oleh penilaian Allah, yang tergantung niat orang itu)? Itu kalau orang mempertimbangkan perang ini dengan melihat siapa-siapa yang berdiri di tiap-tiap pihak—dan yakin, kasus ini bukan sejatinya kasus kafir melawan Islam, bahkan andaipun di pihak Bush mulanya terlintas pikiran bawah sadar yang bodoh itu. Bukan pula pencaplokan negeri Islam; bahkan tidak seperti ketika Belanda menjajah Indonesia, melainkan kasus kepongahan satu kultur melawan kekerasan fundamentalisme agama dari kultur lain. Kasus si kuat melawan si lemah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus