Donald K. Emmerson*)
*) Editor Indonesia beyond Suharto (Jakarta, Gramedia, 2001)
SAYA menulis surat ini pada 11 Oktober 2001. Sebulan telah berlalu sejak saya dan berjuta-juta orang lainnya di dunia, termasuk di Indonesia, menyaksikan dengan terkesima horor pembunuhan ribuan manusia di New York, Washington, dan Pennsylvania. Perkiraan jumlah total yang terbunuh hari itu adalah 5.627.
Mereka yang binasa itu berasal dari banyak bangsa, lebih dari 60 negara, termasuk belasan di antaranya dengan penduduk muslim sebagai mayoritas seperti Indonesia dan Malaysia. Kita mungkin tak akan pernah tahu persis berapa banyak orang Islam dibunuh pada 11 September, tapi perkiraan sementara adalah beberapa ratus hingga lebih dari 800. Jika dugaan awal yang menjadi pegangan, warga asal Pakistan, Bangladesh, dan Yaman saja dapat mencapai 900 dari 50 ribuan orang yang bekerja di gedung World Trade Center dan sekitarnya.
Para pembunuh secara sengaja memilih pesawat penerbangan jarak jauh yang membawa bahan bakar penuh. Para pembinasa massal yang berkehendak membakar sebanyak mungkin korban tentu ingin mengemudikan bom terbesar. Beruntung, di menit-menit menegangkan antara tumbukan awal dan robohnya pasangan pencakar langit itu, kebanyakan penghuni gedung-gedung itu berhasil menyelamatkan diri. Tapi ini bukan karena kebaikan para peneror, yang sama sekali tak memberikan peringatan dini.
Tewasnya lebih dari 5.000 korban ini sungguh mengerikan, tapi ingat para pembunuh itu sebetulnya berharap untuk membantai sepuluh kali lipat lebih banyak. Tak peduli apakah korbannya beragama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, atau apa pun.
Saya sengaja menyebutkan Yahudi dalam daftar korban. Sungguh keliru desas-desus bahwa 4.000 warga Yahudi yang bekerja di WTC tidak masuk di hari nahas itu karena punya informasi dini. Selain salah, cerita ini jahat karena memberikan nuansa bahwa komplotan Israel berada di balik aksi pembinasaan itu. Namun, rumor ini beredar luas di sebagian media di Indonesia. Sebagai guru dan peneliti, saya mengharapkan murid saya dan para pembaca karangan saya membuka pikiran terhadap semua hal yang mungkin benar, tapi juga selalu mencari bukti sebelum memutuskan mana yang benar dan mana yang keliru. Saya telah mencoba mencari bukti tentang adanya konspirasi ini, tapi sedikit pun tak mendapatkannya.
Saya juga telah membaca, di beberapa media di Indonesia, argumen dari kalangan yang menyatakan bahwa karena teror itu tidak Islami, tak mungkin orang Islamlah yang membunuh ribuan orang pada 11 September. Katanya, mereka pasti dari kelompok Yahudi atau Kristen yang berpura-pura sebagai muslim, dengan maksud memicu Perang Salib terhadap Islam.
Untuk berpikir jernih tentang topik apa pun, sepatutnya kita membedakan apa yang seharusnya dengan kenyataan yang ada. Muslim, seperti halnya penganut Yahudi dan Kristen, adalah manusia biasa, manusia yang tidak sempurna. Tidak semua orang mampu hidup sesuai dengan standar yang ditegakkan agamanya. Kelompok radikal bahkan mungkin memilih melakukan aksi yang melanggar agama yang dianutnya. Bisa saja kalangan tersesat ini bahkan mengaku menjalankan esensi utama agamanya. Ingatlah, sebagai contoh, sejarah agama Kristiani—sejarah yang panjang dan kadang kala berdarah, yang mencatat aksi brutal terhadap mereka yang dituding murtad dan kafir oleh kaum fanatik dengan mengatasnamakan ajaran Tuhan menurut interpretasinya sendiri.
Semenjak pembantaian 11 September, berbagai informasi dan bukti telah dikumpulkan mengenai para pelakunya. Buku harian, manual, disket, pita rekaman, foto, bukti transaksi pembayaran, hasil wawancara saksi, dan berbagai bukti forensik lainnya memberikan gambaran lebih jelas tentang sosok 19 pembunuh berjibaku yang menumpang empat pesawat nahas itu serta banyak sosok lain yang memberikan inspirasi dan memfasilitasi tindakan jahat mereka. Mereka semua memiliki latar belakang muslim dan mengaku dirinya pemeluk agama Islam. Mereka bukan kaum Zionis yang menyamar.
Kumpulan bukti yang sama juga menunjukkan keterlibatan Usamah bin Ladin dan jaringan terorisnya dalam aksi pembantaian 11 September. Kaitan-kaitan dengan Al-Qaidah terlalu banyak dan meyakinkan untuk dinafikan. Kita sebenarnya tak perlu heran. Jauh sebelum September, Usamah dan para algojonya telah terbukti terlibat dalam kegiatan teror yang sama sekali tak selektif dalam pemilahan korbannya.
Simaklah pembunuhan 12 warga Amerika ditambah 212 warga lainnya, kebanyakan orang Afrika dan umumnya muslim, saat pengeboman kedutaan Amerika Serikat di Afrika Timur, 7 Agustus 1998. Pembantaian ini memicu investigasi kriminal internasional terbesar dalam sejarah AS, hingga saat itu. Pada Mei 2001, setelah mencermati ribuan dokumen dan bukti lainnya, melalui masa persidangan selama tiga bulan dan persidangan juri selama dua pekan, tim juri pengadilan memutuskan empat orang bersalah dalam pengeboman tersebut. Sementara itu, aksi legal sedang berlangsung juga terhadap tersangka lainnya.
Keterkaitan Usamah dan kelompok Al-Qaidah dengan para terdakwa kasus ini terlihat jelas dan meyakinkan. Fazul Abdullah Mohammad, misalnya, sekaligus mengarahkan pengeboman di Nairobi dan mengepalai sel Al-Qaidah setempat. Unsur Al-Qaidah yang lain, Mustafa Mohammad Fadhil, menyewa rumah tempat pembuatan bom di Darussalam yang digunakan meledakkan kedutaan AS di kota itu. Sedangkan dalam kasus tragedi 11 September 2001, para penyelidik telah menemukan bukti kuat keterkaitan Al-Qaidah dengan sedikitnya empat dari 19 pembunuh yang ikut tewas di hari nahas itu.
Sementara itu, Usamah dan kelompoknya telah berkali-kali muncul dalam rekaman pita video, memuji para pembantai 11 September sebagai pahlawan Islam dan mengajak kaum muslim di seluruh dunia untuk membinasakan warga AS di mana pun mereka berada. Menurut para pemimpin Al-Qaidah, membunuh orang Amerika, Kristen, dan Yahudi adalah tugas suci kaum muslim, tugas agamanya.
Padahal, bukanlah begitu agama Islam. Sama sekali bukan. Pada 10 Oktober 2001, ke-60 negara yang menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), termasuk Indonesia, mengambil sikap tegas perihal ini. Menanggapi pembantaian 11 September, mereka menyatakan, "Kegiatan teroris jahat seperti itu bertentangan dengan pesan mulia Islam tentang perdamaian, harmoni, toleransi, dan saling menghormat di antara umat." OKI menyatakan pula "menghargai hidup manusia dan mengecam pembunuhan atas kalangan tak berdosa." Jelaslah bahwa OKI mencampakkan upaya Usamah atau siapa pun yang berkehendak menyamakan Islam dengan teror.
Adalah ironis bahwa analis seperti Edward Said telah begitu sering dan begitu lama menyalahkan kegiatan "penyeraman wajah Islam" semata-mata pada kaum Orientalis Barat dan meremehkan "penyeraman wajah Islam" oleh kelompok ekstrem di antara sesama muslimin sendiri. Padahal, tantangan yang sebenarnya kini dihadapi kalangan mayoritas umat Islam di dunia—yang cinta damai, toleran, dan menghormati penganut agama lain—bukanlah berasal dari warga Amerika yang "kafir" yang "memerangi Islam".
Secara tepat dan berkali-kali setelah serangan 11 September, para pejabat AS telah menyatakan tak ada dan menolak adanya kampanye anti-Islam, sekaligus mengingatkan dunia tentang rasa hormat mereka terhadap Islam. Untuk menunjukkan solidaritas dengan umat Islam dalam keseluruhannya, ribuan warga Amerika, termasuk Presiden Bush dan para pembantunya, telah menghadiri acara keagamaan tempat para pemuka Islam memberikan khotbah atau membaca ayat suci Al-Quran. Belum lama ini acara seperti itu diadakan di kampus saya di California dan dihadiri oleh ratusan penganut agama lain yang menunjukkan persahabatan dan respek mereka terhadap Islam.
Pada abad ke-21, tantangan bagi umat Islam di dunia, termasuk muslimin Indonesia, adalah bagaimana memperkeras suara mereka demi demokrasi, perdamaian, dan kerja sama antar-umat beragama. Jika mayoritas luas ini berbicara cukup sering dan nyaring mendukung toleransi, mereka akan dengan mudah men-sunyi-kan suara teriakan dan tembakan dari kalangan radikal yang sebenarnya cuma segelintir.
Adapun mengenai sekutu Usamah di Afganistan, kebanyakan umat Islam di dunia tidak tertarik bahkan terganggu oleh upaya Taliban meyakinkan kalangan muslim tentang kegiatan mereka yang keliru, termasuk misalnya represi terhadap perempuan, penghancuran patung Buddha, dan pengharaman musik. Bahkan, sebelum 11 September, hanya tiga negara di dunia yang mengakui Taliban sebagai pemerintahan yang sah.
Argumen lain yang saya dengar belakangan ini adalah bahwa kendati para teroris September itu jelas salah, kita harus memahami bahwa mereka semata-mata melakukan aksinya guna mengubah politik luar negeri AS yang dianggap keliru, terutama dukungan AS kepada Israel.
Bayangkan seseorang berseberangan pendapat dengan Anda. Anggaplah dia ingin mengubah pandangan Anda dengan cara membunuh ribuan orang yang tak terlibat dalam perselisihan pendapat itu. Mungkinkah Anda jadi sependapat dengannya semata-mata karena dia telah menunjukkan kemampuan untuk melakukan kekejian dalam skala besar?
Pembantaian September bukanlah usaha perdebatan soal kebijakan luar negeri. Itu usaha membuat keganasan. Jika Usamah sungguh menginginkan perubahan kebijakan Amerika, ia tak akan menghasut pemusnahan warga AS dari muka dunia.
Adapun mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat, benarkah isinya demikian antimuslim seperti dinyatakan Usamah? Jelas tidak di Kuwait, tempat AS melakukan intervensi untuk membalikkan invasi terang-terangan sebuah negara muslim ke negara muslim lainnya. Juga bukan di kawasan Balkan, tempat AS menolong dan membela kaum muslim dari upaya pembersihan etnis oleh kelompok nonmuslim. Juga tidak pada persengketaan Israel-Palestina, tempat AS telah berupaya selama bertahun-tahun untuk menelurkan perjanjian yang dapat menghasilkan perdamaian di daerah rawan itu.
Kebutuhan untuk memelihara koalisi antiteroris yang besar dan longgar, termasuk banyak negara muslim, malah berkemungkinan memoderatkan dukungan AS kepada Israel dalam jangka panjang. Ketika Perdana Menteri Israel Ariel Sharon memperingatkan AS agar tak mengorbankan negaranya demi menyenangkan negara-negara Arab yang memainkan peran penting dalam koalisi antiteroris, ia paham betul bahwa politik luar negeri AS dapat juga terpengaruh oleh dampak kerja sama dengan negara-negara itu.
Perhatikan pula kecaman tajam dan seketika dari pemerintah AS menghadapi komentar Sharon itu, antara lain karena kata-kata Sharon bernada menyamakan pemerintahan Arab dengan pemerintahan Nazi Jerman. Kasus ini menandakan lagi kelirunya pandangan yang sering terdengar di kalangan masyarakat muslim bahwa Washington seratus persen pro-Israel. Dan saya menyatakan ini sebagai seseorang yang percaya bahwa menolong lahirnya negara demokratis Palestina yang hidup damai dengan Israel akan memenuhi kepentingan AS dan kepentingan dunia.
Sejumlah kalangan muslim yang telah mengkritik kekejaman September ternyata mengutuk juga keputusan AS mengebom markas Usamah serta infrastruktur Taliban yang membelanya. Mengapa tidak menghadapi teror September secara hukum? Mengapa harus dengan perang?
Penyidikan tindak pidana kriminal yang sekarang dilakukan dalam hal kasus September 2001 sudah sangat luas, jauh melebihi skala pengusutan pengeboman Afrika Timur pada 1998. Namun, apa yang terjadi di AS pada 11 September itu pun membutuhkan jawaban militer.
Sepanjang sejarah negara Amerika Serikat, belum pernah ada serangan satu hari yang begitu banyak korbannya seperti 11 September 2001. Hari berdarah yang kedua dalam urutan jumlah orang yang meninggal adalah 17 September 1862, tanggal pertempuran Antietam. Tapi malapetaka yang nomor dua itu terjadi saat perang saudara dan bukan akibat serangan dari luar seperti pengeboman Pearl Harbor 60 tahun lalu, yang menyebabkan AS langsung berperang dengan Jepang.
Ada lagi kerugian fisik dan ekonomi berskala besar akibat serangan 11 September 2001. Gubernur New York memperkirakan diperlukan US$ 54 miliar untuk membangun kembali kawasan yang hancur akibat serangan terhadap gedung-gedung WTC. Dalam kurun 10 September hingga 9 Oktober, pasar modal AS, termasuk tabungan jutaan orang Amerika, kehilangan nilai US$ 356 miliar. Lowongan kerja AS yang hilang pada bulan September adalah yang terburuk dalam dasawarsa terakhir ini. Dan kerugian ini tak hanya terbatas pada ekonomi AS. Dalam dunia yang semakin saling bergantung, luka-luka ekonomi Amerika mengakibatkan kemampuan pemulihan ekonomi Asia ikut terganggu.
Bicara soal luka, saya belum menyinggung kisah ribuan orang yang terluka secara fisik pada Selasa menakutkan itu. Nyonya Vasana Mututanont adalah seorang di antaranya. Warga Thailand ini bekerja di kantor pemerintahnya di World Trade Center. Ia lolos dari maut tapi menderita luka bakar yang parah pada 40 persen tubuhnya. Cacat yang dideritanya begitu mengerikan hingga anak-anaknya menolak mengunjunginya di rumah sakit. Seumur hidupnya wanita yang tak bersalah ini akan terpaksa terus menderita dan dirawat.
Alangkah adil seandainya "pejuang gagah berani" Usamah bin Ladin dapat mengunjungi Nyonya Mututanont. Akankah Usamah tetap bangga telah melancarkan pukulan terhadap Amerika Serikat? Akankah ia tetap berpegang pada keyakinan bahwa apa yang terjadi pada diri Nyonya Mututanont memang memenuhi ajaran dan tuntutan agama Islam?
Saya harap tidak. Demi kepercayaan akan kebaikan sesama manusia kita semua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini