Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Priyo Adi Sesotyo
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015 menetapkan kewajiban pangsa bahan bakar nabati terhadap bahan bakar minyak (BBM) solar sebesar 20 persen-disebut B20-pada 2016. Namun hingga pertengahan tahun ini tingkat bahan campuran biodiesel masih berada pada kisaran 10 persen. Ini berarti konsumsi biodiesel nasional belum mencukupi untuk mencapai target B20. Untuk menegaskan komitmennya, pemerintah menerbitkan peraturan ihwal kewajiban biodiesel untuk sektor jasa publik (PSO) dan non-PSO yang berlaku efektif mulai 1 September 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makin meluasnya pengguna B20 akan meningkatkan penyerapan minyak sawit (CPO) dan mengurangi impor BBM. Saat ini terjadi penurunan ekspor CPO akibat tensi pasar global yang sedang memanas sehingga kelebihan pasokan minyak sawit tidak terhindarkan. Kelebihan ini diharapkan bisa diserap industri biodiesel.
Pasar global yang sedang memanas itu merupakan kelanjutan dari perdebatan panjang antara kawasan Eropa dan Asia, khususnya Indonesia, terkait dengan proses penanaman kelapa sawit. Parlemen Uni Eropa menghentikan penggunaan CPO untuk biodiesel mulai 2021. Keputusan ini diambil salah satunya karena Indonesia tidak bisa menjamin ketelusuran riwayat CPO tersebut: apakah berasal dari kebun dengan peruntukan yang aman atau berasal dari kebun di kawasan hutan yang memicu deforestasi dan emisi gas rumah kaca.
Konversi hutan tropis menjadi kebun kelapa sawit merupakan salah satu penyumbang besar akumulasi karbon dioksida (CO2), salah satu jenis gas rumah kaca. Meskipun emisi dari mesin industri berbahan bakar biodiesel dari CPO dikatakan zero emission, dalam proses pembudidayaannya malah menambah akumulasi CO2 ke atmosfer.
Keberadaan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar seperti saat ini memiliki dampak negatif secara ekosistem, misalnya merusak struktur tanah karena akar dari bekas tanaman kelapa sawit yang mati sangat sulit dibersihkan. Proses pembukaan lahan kelapa sawit, yang dilakukan dengan metode tebang habis, mengakibatkan lahan telanjur gundul, menghilangkan hewan yang tinggal di hutan, mengurangi lapisan humus dan resapan air, serta rentan menyebabkan erosi. Butuh waktu bertahun-tahun agar tanah tersebut bisa digunakan kembali. Limbah kelapa sawit, jika hanya dibuang di sekitar lahan, akan merusak struktur fisik dan kimia tanah.
Jadi, tidak diragukan lagi bahwa minyak kelapa sawit bukanlah komoditas yang ramah lingkungan. Deforestasi, hilangnya habitat hewan dan tumbuhan dari tempat asalnya, sengketa tanah adat atau tanah rakyat, serta pelanggaran hak asasi manusia hingga kebakaran hutan merupakan akibat lain dari adanya perkebunan kelapa sawit. Namun tak bisa dimungkiri bahwa minyak kelapa sawit juga merupakan bagian penting dari perekonomian Indonesia.
Untuk meminimalkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan itu, sebaiknya pemerintah kembali menggalakkan penelitian berbagai sumber minyak nabati sebagai komplementer minyak kelapa sawit. Pemerintah harus menerapkan kebijakan zero deforestation pada semua petani dan pengusaha perkebunan kelapa sawit. Bila sedang dibutuhkan peningkatan produksi minyak nabati itu, bisa dilakukan budi daya tanaman nabati lain.
Sejauh ini telah ditemukan tanaman yang dapat diolah menjadi biodiesel, yaitu kemiri sunan, biji jarak pagar, nyamplung, biji kepuh, biji kepayang, biji karet, biji bintaro, biji saga, dan biji kapuk randu. Namun sembilan tanaman tersebut perlu diteliti kelayakan bisnisnya untuk menjadi industri biodiesel skala besar dan ramah lingkungan. Selain itu, semuanya harus ditelaah lagi apakah tergolong tanaman pangan atau bukan. Penggunaan tanaman pangan sebagai sumber energi alternatif/biodiesel akan berkompetisi dengan kebutuhan pangan manusia.
Dari semua tanaman tersebut, yang jelas merupakan tanaman pangan ialah minyak kelapa sawit dan minyak kemiri sunan. Sedangkan minyak biji jarak pagar, biji kapuk randu, biji bintaro, biji kepayang, biji saga, biji kepuh, dan biji nyamplung bukan merupakan bahan pangan, tapi masih perlu penelitian lebih lanjut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo