SEBUAH restoran berdiri di Shanghai, Juli 1980 --dan kapitalisme
diperdebatkan.
Restoran itu bernama "Rumah Makan Santapan Lezat". Pemiliknya
seorang muda bekas penganggur, Chen Guigen. Di Republik Rakyat
tempat ia dilahirkan, langkah bisnis itu termasuk luar biasa. Di
zaman Deng Xiao-ping ini, ketika hong tak dipersoalkan -- dan
komunisme Mao disimpan di lemari -- usaha Chen memang dibiarkan
pemerintah. Tapi reaksi toh timbul juga.
Menurut Harian Rakyat, koran resmi Partai yang terbit di
Beijing, orang-orang Shanghai mempersoalkan perkara "Rumah Makan
Santapan Lezat" ini. Sebagian orang bertanya-tanya: Kalau Chen
nanti jadi kaya, lantas di mana "keunggulan sistem sosialis"?
Sebenarnya, Chen belum boleh dibilang kaya benar. Keuntungannya
masih kecil kurang 10% bila dibanding dengan keuntungan restoran
yang dimiliki negara. Tapi tiap bulan Chen berhasil mengumpulkan
uang sebesar 3000 yuan, atau 9000 dollar Hong Kong, atau Rp
1.125.000. Belum berupa laba netto, tentu. Tapi buat sebuah
rumah makan yang terletak di serambi rumah, dengan 4 meja serta
6 kursi, hasil Chen cukup besar.
Yang pasti, ia punya potensi untuk jadi pesaing bagi rumah makan
milik negara di Shanghai. Harian Rakyat, yang memuji
kewiraswastaan bekas penganggur itu, bahkan menyebut: "Servisnya
lebih baik ketimbang di rumah makan milik negara, dan cara
menerima tamu di sini lebih hangat."
Itu berarti, koran resmi Partai Komunis Cina itu mengisyaratkan
kapitalis Chen lebih mampu melayani pasar, ketimbang birokrat
yang diangkat pemerintah untuk hal yang sama ....
BIROKRASI, dalam sejarah Cina punya akar yang jauh. Juga
pertentangannya dengan para pedagang -- juga kekuasaan serta
korupsinya yang mengerikan.
Ahli sejarah umumnya menunjukkan, bahwa baru di awal abad ke-20
ini suatu kelas bisnis Cina mulai tumbuh di negeri itu.
Sebelumnya, tak ada suatu lapisan sosial yang kuat di kota di
bidang perdagangan dan manufaktur. Birokrasi, yang bernaung di
bawah bendera kekaisaran, dan merupakan hak istimewa bagi mereka
yang lulus ujian khusus, tetap merupakan kelas atas yang
diidam-idamkan.
Bahkan beberapa gelintir saudagar yang berhasil ternyata
kemudian mengirimkan anak mereka untuk ikut dalam ujian itu --
agar jadi birokrat. Sejumlah saudagar lain, saking inginnya
berada dekat tahta kaisar, mau mengebiri diri sendiri agar jadi
orang kasim.
Para birokrat tradisional dengan sendirinya merasa terancam.
Mereka tahu uang bisa membeli pelbagai hal, termasuk membeli
tangga ke arah status sosial yang lebih tinggi. Maka mereka pun
mencoba bertahan. Mereka memonopoli perdagangan komoditi
tertentu, misalnya garam. Mereka memajaki perdagangan dengan
hebat.
Namun toh pada pertengahan kedua abad ke-19, birokrasi
kekaisaran itu rontok wibawanya. Terutama di pesisir, di mana
telah hadir para saudagar asing. Pada gilirannya orang-orang
asing ini menemukan bantuan dari orang pribumi. Dan pribumi
inilah yang setahap demi setahap jadi orang kaya baru, dan
lapisan kuat yang baru pula ....
KALAHKAH birokrasi? Sampai bertahun-tahun kemudian, birokrasi
ternyata tak mati-mati. Kemenangan partai Komunis justru
memulihkan ototnya yang liat.
Tak berarti di zaman Deng Xiao-ping otot itu akan kendur dengan
mudah. Kini, menurut Harian Beijing, hanya ada 320.000 usaha
perorangan yang terdaftar di seluruh Cina. Tapi seorang pembaca
sudah memperingatkan "awas". Uang adalah akar dari semua
kejahatan, katanya, dan ekonomi perorangan harus dilarang atau
dibatasi. Bila setiap orang bertekad ingin jadi kaya, yang jujur
akan hancur dan orang yang licin akan bermewah-mewah.
Yang dilupakan agaknya ialah, bahwa kontrol negara atas ekonomi
secara luas juga bisa hanya menguntungkan mereka "yang licin"
sejumlah birokrat yang menguasai sumber dana dan kekuasaan. Pers
Beijing sendiri pernah bercerita tentang seorang pejabat komune
di Provinsi Heilungkiang. Ia menghabiskan makanan dan minuman --
dengan uang yang bisa buat beli 10 traktor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini