Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Siap, Siap, Sapujagat!

Operasi sapujagat akan melancarkan operasi khusus secara gabungan terhadap kejahatan bersenjata dan subversi, dengan wilayah operasi dki jakarta, ja-bar, lampung dan sum-sel.(nas)

20 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA hebat: Operasi Sapujagat. Yang memimpin tidak tanggung-tanggung: dua Jenderal berbintang tiga -- Pangkowilhan I Letjen Widjojo Soejono dan wakilnya Pangkowilhan II Letjen Wiyogo. Diumumkan pembentukannya pekan lalu oleh Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, Operasi Sapujagat akan melancarkan operasi khusus secara gabungan terhadap kejahatan bersenjata dan subversi. Wilayah operasinya DKI Jakarta, Jawa Barat, Lampung dan Sumatera Selatan yang dianggap merupakan suatu "kesatuan". Kenapa Sumatera Utara tidak dimasukkan dalam wilayah garapan Operasi Sapujagat? Ada yang berpendapat, provinsi ini dilewati karena berhasilnya Operasi Manunggal Jaya yang dilaksanakan sejak Juli lalu. "Sejak adanya Operasi Manunggal Jaya, suhu keamanan di Sumatera Utara merata baik," kata Pangdam II/Bukit Barisan Brigjen M. Sanif. "Operasi Sapujagat ini dilakukan secara konsepsional untuk menyelesaikan secara tuntas: Dus bukan sekedar hangat-hangat tahi ayam," kata Laksamana Sudomo menjamin. Karena itulah pelaksanaan operasi ini didasarkan atas wewenang yang ada pada Kopkamtib. "Operasi ini dapat menahan, memeriksa siapa saja yang tersangkut dan memprosesnya untuk dibawa ke pengadilan," lanjut Sudomo. Nama Sapujagat dipilih sesuai tujuannya untuk menyapu semua kejahatan bersenjata tanpa pandang bulu. Untuk pelaksanaan operasi dibentuk dua pusat pengendalian, di pusat dan wilayah. Pusat pengendalian pusat, di Kopkamtib, bertugas mengatur kebijaksanaan secara umum yang menggariskan bagaimana operasi itu harus dilaksanakan. Di tingkat wilayah ada pusat pengendalian pelaksana, dipegang langsung oleh Pangkowilhan I dan wakilnya Pangkowilhan II. Sapujagat akan terdiri dari 3 Satuan tugas (Satgas), masing-masing di Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Masing-masing dipimpin oleh Laksusda setempat dibantu Kadapol, Jaksa Tinggi dan Gubernur. Mengapa sampai dibentuk Sapujagat? Apakah jumlah dan kualitas kejahatan di 4 provinsi ini begitu merawankan, hingga suatu operasi gabungan tingkat nasional perlu dilakukan? Dan mengapa Kopkamtib sampai turun tangan? Laksamana Sudomo mengakui, menanggulangi kejahatan sebenarnya tugas polisi. Namun kejahatan yang mengakibatkan korban membuat masyarakat resah. "Karena keresahan masyarakat itulah Kopkamtib ikut turun, mengadakan penanggulangan secara koordinatif antar instansi," ujar Sudomo. Pangkopkamtib Sudomo sendiri tidak mengungkapkan data-data. Dalam konperensi persnya pekan lalu ia malah mengatakan, keadaan kejahatan di daerah rawan banyak yang dilebih-lebihkan. "Angkanya sebenarnya lebih kecil dari tahun-tahun yang lalu. Tapi kebetulan terjadi sesuatu dan diberitakan besar-besaran," ujarnya. Ia menyebut dua koran Jakarta yang dinilainya terlalu sensasional memberitakan kejahatan. Menurut Sudomo, secara keseluruhan tidak benar bahwa Jakarta tidak aman. BUKTINYA? Menurut Pangkopkamtib kenyataannya di Jakarta orang bisa hidup dengan tenang dan aman. "Di tempat Menhankam saja tidak ada pengawalan. Di tempat saya juga ... ," kata Sudomo. Sudomo, selalu punya selingan humor, agaknya bergurau. Masyarakat sendiri merasakan, belakangan ini tampaknya bukan saja jumlah kejahatan di kota-kota besar menaik, juga kualitasnya memberat. Hampir tiap hari koran melaporkan terjadinya kejahatan bersenjata. Perampokan terhadap nasabah bank, belakangan ini juga menyebar ke daerah. "Secara kualitatif kami sinyalir kejahatan meningkat. Artinya ada dimensi baru dari bentuk kejahatan, yaitu dengan senjata api," kata Kadispen Mabak Brigjen Pol. Darmawan. Maksudnya, kalau dulu perampok cukup dengan merampok saja, sekarang selain merampok si penjahat sekaligus menganiaya korban. "Peningkatan kualitas kejahatan di Jakarta itu berupa peningkatan cara kejahatan," kata seorang perwira menengah dari Laksusda Jaya. Contohnya, sekarang para penjahat juga memakai kendaraan bermotor. Kualitas sasaran juga meningkat. "Mereka sekarang sudah berani beroperasi di daerah bank," katanya. Selain itu ada juga peningkatan pada peralatan yang dipakai si penjahat, termasuk penggunaan senjata api. Tidak hanya dalam kualitas, jumlah beberapa jenis kejahatan pun meningkat. Di seluruh Indonesia, pada 1979 perampokan dengan senjata api meningkat 4,02% dibanding 1978, yakni dari 176 kasus menjadi 183 kasus yang termasuk kategori perampokan juga melejit, tercatat 7039 (1978) menjadi 9551 kasus (1979). Di Jakarta, jumlah gangguan terhadap Kamtibmas yang dilaporkan masyarakat juga melompat tinggi. Bila antara April 1978 sampai Maret 1979 tercatat 23.464, pada 1979/1980 angka menanjak menjadi 34.921 kasus. Hampir seluruh jenis kejahatan dan pelanggaran naik jumlahnya, kecuali antara lain perjudian dan penganiayaan berat. Pada 1980 ini, rata-rata dalam dua hari seorang terbunuh di ibu kota ini. Tidak hanya di Jakarta, angka kriminalitas di daerah juga naik. Di Jawa Timur, angka kriminalitas pada 1977/1978 (April sampai Maret) tercatat 58.403. Pada 1978/1979 angka ini naik menjadi 60.538. Catatan tahun ini dari Januari sampai Juli menunjukkan angka 65.508. Kejahatan yang menempati tempat teratas adalal pencurian dengan kekerasan. Di Jawa Barat, menurut Kadapol VIII Langlangbuana Mayjen Muryono, kriminalitas secara kuantitas menurun tapi secara kualitas meningkat. Yang menonjol misalnya perampokan gaji pegawai P&K di Banjarsari, Ciamis, 5 Mei 1980 sejumlah hampir Rp 20 juta. Kejahatan, menurut Muryono, sudah memasuki pedesaan -- yang motifnya umumnya tekanan ekonomi. Lebih 60% pelakunya adalah residivis. Toh jika dipakai ukuran internasional tingkat kejahatan di Indonesia tidak tergolong tinggi. Menurut Brigjen Darmawan, crime-rate untuk Indonesia dalam tahun 1978 dan 1979 adalah 0,01% per bulan. Artinya kemungkinan tiap orang menghadapi kejahatan boleh dikata relatif kecil. Persentase itu diperoleh dari perbandingan jumlah kejahatan dan jumlah penduduk kali 100.000 per 12 (bulan). Namun masyarakat Indonesia agaknya tidak peduli dengan ukuran internasional itu. Yang jelas, rasa tenteram masyarakat agak terganggu. Banyak sekali peristiwa, di mana terjadi korban karena si penjahat secara tidak perlu menganiaya korbannya. Terbunuhnya seorang sersan marinir di Depok, Bogor, pekan lalu yang didahului adu mulut sebentar, menunjukkan betapa sepelenya jiwa manusia dihargai. Kasus itu juga membuktikan sekali lagi, senjata api mudah sekali diperoleh mereka yang tidak berhak. (Lihat Kriminalitas). Penggunaan senjata api inilah yang antara lain bakal ditertibkan oleh Operasi Sapujagat. Pangkopkamtib Sudomo pekan lalu mengingatkan masih berlakunya UU no. 12/DRP/1951 yang mengancam hukuman mati atau hukuman maksimum 20 tahun bagi pemakaian, pemilikan dan penggunaan senjata api yang tanpa hak atau tanpa dilindungi dengan surat yang sah. Menurut Sudomo, cara pengawasan pemakaian senjata api yang selama ini dilakukan oleh polisi akan ditingkatkan. "Misalnya senjata yang dipakai oleh Perbakin atau KONI untuk olah raga. Itu akan ditarik ke suatu gudang seluruhnya," ujarnya. Waktu latihan menembak juga akan diawasi benar-benar. Pangkopkamtib mengisyaratkan, penyelewengan penggunaan senjata api akan dikaitkan dengan UU mengenai Subversi tahun 1963. Salah satu penyebab pemakaian senjata api secara tidak sah, menurut Sudomo, adalah karena ancaman hukuman yang terlalu ringan. Ia membandingkan Singapura yang mengancam hukuman berat bagi yang menyalahgunakan senjata api. Disebutnya seorang pemuda berusia 18 tahun yang dijatuhi hukuman mati karena menggunakan senjata api. Kalau hal yang sama dilakukan di sini, kata Sudomo, "Mereka akan memikir 10 kali untuk melakukan itu," ujarnya. Bukan rahasia lagi, meningkatnya kejahatan dengan senjata api belakangan ini antara lain karena tidak sulitnya memperoleh senjata api itu -- dengan membeli maupun meminjam. Pernah dilaporkan adanya orang-orang tertentu di Karawang yang menyewakan senjata api dengan harga Rp 25.000 sampai Rp 100.000 semalam. Di Jawa Tengah diketahui pernah ada sindikat yang mengedarkan senjata api. Yang belakangan makin meresahkan masyarakat adalah penyalah-gunaan bahan peledak. Pangkopkamtib menyebut beberapa contoh, antara lain di Padangsidempuan, Masjid Istiqlal, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan di pesawat Garuda. Semua itu masih diteliti motifnya. Yang juga belum diungkapkan adalah serangkaian hilangnya bahan peledak di Pabrik Semen Cibinong dan Gresik serta di Proyek Karangkates 9 Agustus lalu. Di Gresik dilaporkan ada 16 dus @ 1.500 buah detonator yang hilang dari gudang. "Cukup untuk persediaan setahun bagi keperluan pabrik," cerita suatu sumber TEMPO. Untuk keperluan operasi penggalian bahan baku kapur, Pabrik Semen Gresik menggunakan 3 macam bahan peledak. Yakni detonator yang berfungsi sebagai pelatuk, gelatin/damutin dan amonium nitrat. Semua bahan ini dibeli dari Perum Dahana di Tasikmalaya, Jawa Barat. Penggalian kapur dilakukan rata-rata 2 atau 3 kali seminggu. Tiap peledakan menghabiskan sekitar 1 ton bahan peledak, yang memakai sekitar 120 buah detonator. Gudang tempat penyimpanan bahan peledak ini -- yang menempati areal 2 hektar -- terletak sekitar 2,5 km sebelah barat daya pabrik. Hilangnya detonator ini baru diketahui siang harinya, 9 Juni 1980. Pelacakan oleh polisi sulit dilakukan karena petugas keamanan sudah melakukan pemeriksaan lebih dulu. Tiga hari setelah itu, diketahui 3000 detonator sisa hilang dari pabrik petro kimia Gresik. Beberapa orang telah ditahan, namun hasil pemeriksaan sementara polisi belum memperoleh titik terang. Di Karangkates, sekitar 30.000 detonator dilaporkan hilang Agustus lalu. Gembok pintu gudang penyimpanan yang dijaga petugas keamanan --kedapatan dicongkel. Kawat berduri yang mengelilinginya digunting. Hilangnya bahan peledak di kedua tempat ini ditangani langsung oleh Laksusda Ja-Tim. Segi yang paling mengkhawatirkan dari penyalahgunaan bahan peledak adalah kemungkinannya menciptakan teror. Ditemukannya bahan peledak dalam bagasi pesawat Garuda bulan lalu -- yang untung tidak meledak -- dan juga koper penumpang yang membawa bahan peledak di Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta, pekan lalu, telah menyalakan sumbu rasa khawatir ini. Hingga bermacam desas-desus kemudian muncul. Ini memperkuat dugaan adanya unsur politis dalam meningkatnya jumlah kejahatan belakangan ini. Kadapol VIII Langlangbuana Jawa Barat, Mayjen Muryono menyebutnya dengan istilah "kriminalitas plus". Maksudnya, kejahatan terselubung, yang dilakukan orang-orang tertentu "dengan motif ideologis-politis." Bahkan Menko Polkam M. Panggabean sendiri mempertanyakan, apakah indikasi kejahatan yang terjadi belakangan ini juga punya tujuan politis. Masalah sosial ekonomi diakuinya bisa menjadi latar belakang terjadinya kriminalitas. "Tetapi karena masalah sosial ekonomi, apakah sudah begitu sulit keadaan itu, hingga orang harus melakukan pekerjaan kriminal itu?" tanya Panggabean -- meskipun bagi sebagian orang keterpepetan ekonomi membikin frustrasi (lihat box). Ya, apakah betul unsur politis di belakang kejahatan belakangan ini bukan sekedar tunjuk "kambing hitam" saja? Kemungkinan motif politik memang ada -- meskipun perlu ditelaah terus. Pangkopkamtib Sudomo misalnya, menunjuk kasus perampokan di Klaten pada 1975 bertujuan "untuk mengumpulkan dana bagi sisa G30S/PKI." Berdasar pemeriksaan terhadap 15 orang yang terlibat dalam kasus Rajapolah, terbunuhnya 2 anggota TNI waktu menyergap komplotan perampok gaji karyawan P&K Banjarsari -- menurut Kapendam VI Siliwangi Mayor Slamet Suyono mensinyalir itu dilakukan golongan ekstrim kanan. Tampaknya semua inilah yang melahirkan Operasi Sapujagat. Akan berhasilkah Sapujagat? Di tahun-tahun yang lalu, banyak operasi khusus telah dilancarkan -- hampir semuanya juga dengan nama yang seram. Misalnya pada 1974, Kodam V/Jaya membentuk pasukan anti-bandit: Tumpas Bandit (Tuba). Komandan pasukan yang mirip Tekab (Tim Khusus Anti Bandit) milik Polri ini adalah Kastaf Kodam V Brigjen Norman Sasono (waktu itu). Senjatanya pistol mitraliur M 10 yang dilengkapi peredam suara. Tapi hasil Tuba yang dilengkapi perintah tembak di tempat ini kurang jelas. TAHUN berikutnya Polri melancarkan Operasi Mawar di tujuh Kodak berupa razia terhadap tersangka kejahatan. Untuk menanggulangi pencurian kawat telepon, dilancarkan Operasi Melati di delapan Kodak. Pada 1976 Kodak VII Metro Jaya melancarkan apa yang dinamakan Operasi Biawak. Apakah tetap meningkatnya jumlah kejahatan berarti operasi-operasi di atas kurang berhasil? Apakah "laju" pertumbuhan kejahatan lebih cepat dari usaha penanggulangan? Berbagai sebab dituding guna menjelaskan meningkatnya kejahatan, dari tekanan ekonomi, kurangnya tenaga dan peralatan Polri sampai urbanisasi. Kejahatan memang juga akibat samping pembangunan. Pertambahan penduduk serta kemajuan teknologi umumnya selalu disertai pertambahan angka kriminalitas. Kepincangan pembangunan melahirkan tekanan sosial-ekonomi, ketidakpuasan dan frustrasi yang bisa menjurus menjadi kejahatan. Di masa lalu tampak usaha penanggulangan kejahatan ini dilakukan terlalu sektoral. Pengiriman residivis ke Nusakambangan misalnya, bisa dijadikan contoh. Penglepasan mereka -- setelah habis masa hukuman -- dilakukan di Cilacap, dengan bekal ongkos jalan untuk pulang. Ternyata banyak yang tidak pulang ke tempat asal. Mereka menghabiskan bekal itu di tempat pelacuran. Untuk mendapat bekal pulang ke tempat asal, mereka melakukan kejahatan. Akibatnya angka kejahatan di Banyumas meningkat. Rupanya berbagai kekurangan dan kelemahan ini akan dicoba diatasi dalam Sapujagat. Istilah Pangkopkamtib Sudomo: Operasi Sapujagat akan menanggulangi kejahatan secara konsepsional sampai tuntas. Menurut rencana, Operasi Sapujagat akan dimulai serentak pada 20 September. Sasaran pertama razia senjata api dan senjata tajam. Siap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus