NAMANYA hebat: Operasi Sapujagat. Yang memimpin tidak
tanggung-tanggung: dua Jenderal berbintang tiga -- Pangkowilhan
I Letjen Widjojo Soejono dan wakilnya Pangkowilhan II Letjen
Wiyogo. Diumumkan pembentukannya pekan lalu oleh Pangkopkamtib
Laksamana Sudomo, Operasi Sapujagat akan melancarkan operasi
khusus secara gabungan terhadap kejahatan bersenjata dan
subversi. Wilayah operasinya DKI Jakarta, Jawa Barat, Lampung
dan Sumatera Selatan yang dianggap merupakan suatu "kesatuan".
Kenapa Sumatera Utara tidak dimasukkan dalam wilayah garapan
Operasi Sapujagat? Ada yang berpendapat, provinsi ini dilewati
karena berhasilnya Operasi Manunggal Jaya yang dilaksanakan
sejak Juli lalu. "Sejak adanya Operasi Manunggal Jaya, suhu
keamanan di Sumatera Utara merata baik," kata Pangdam II/Bukit
Barisan Brigjen M. Sanif.
"Operasi Sapujagat ini dilakukan secara konsepsional untuk
menyelesaikan secara tuntas: Dus bukan sekedar hangat-hangat
tahi ayam," kata Laksamana Sudomo menjamin. Karena itulah
pelaksanaan operasi ini didasarkan atas wewenang yang ada pada
Kopkamtib. "Operasi ini dapat menahan, memeriksa siapa saja yang
tersangkut dan memprosesnya untuk dibawa ke pengadilan," lanjut
Sudomo.
Nama Sapujagat dipilih sesuai tujuannya untuk menyapu semua
kejahatan bersenjata tanpa pandang bulu. Untuk pelaksanaan
operasi dibentuk dua pusat pengendalian, di pusat dan wilayah.
Pusat pengendalian pusat, di Kopkamtib, bertugas mengatur
kebijaksanaan secara umum yang menggariskan bagaimana operasi
itu harus dilaksanakan. Di tingkat wilayah ada pusat
pengendalian pelaksana, dipegang langsung oleh Pangkowilhan I
dan wakilnya Pangkowilhan II.
Sapujagat akan terdiri dari 3 Satuan tugas (Satgas),
masing-masing di Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Selatan.
Masing-masing dipimpin oleh Laksusda setempat dibantu Kadapol,
Jaksa Tinggi dan Gubernur.
Mengapa sampai dibentuk Sapujagat? Apakah jumlah dan kualitas
kejahatan di 4 provinsi ini begitu merawankan, hingga suatu
operasi gabungan tingkat nasional perlu dilakukan? Dan mengapa
Kopkamtib sampai turun tangan?
Laksamana Sudomo mengakui, menanggulangi kejahatan sebenarnya
tugas polisi. Namun kejahatan yang mengakibatkan korban membuat
masyarakat resah. "Karena keresahan masyarakat itulah Kopkamtib
ikut turun, mengadakan penanggulangan secara koordinatif antar
instansi," ujar Sudomo. Pangkopkamtib Sudomo sendiri tidak
mengungkapkan data-data. Dalam konperensi persnya pekan lalu ia
malah mengatakan, keadaan kejahatan di daerah rawan banyak yang
dilebih-lebihkan. "Angkanya sebenarnya lebih kecil dari
tahun-tahun yang lalu. Tapi kebetulan terjadi sesuatu dan
diberitakan besar-besaran," ujarnya.
Ia menyebut dua koran Jakarta yang dinilainya terlalu
sensasional memberitakan kejahatan. Menurut Sudomo, secara
keseluruhan tidak benar bahwa Jakarta tidak aman.
BUKTINYA? Menurut Pangkopkamtib kenyataannya di Jakarta orang
bisa hidup dengan tenang dan aman. "Di tempat Menhankam saja
tidak ada pengawalan. Di tempat saya juga ... ," kata Sudomo.
Sudomo, selalu punya selingan humor, agaknya bergurau.
Masyarakat sendiri merasakan, belakangan ini tampaknya bukan
saja jumlah kejahatan di kota-kota besar menaik, juga
kualitasnya memberat. Hampir tiap hari koran melaporkan
terjadinya kejahatan bersenjata. Perampokan terhadap nasabah
bank, belakangan ini juga menyebar ke daerah.
"Secara kualitatif kami sinyalir kejahatan meningkat. Artinya
ada dimensi baru dari bentuk kejahatan, yaitu dengan senjata
api," kata Kadispen Mabak Brigjen Pol. Darmawan. Maksudnya,
kalau dulu perampok cukup dengan merampok saja, sekarang selain
merampok si penjahat sekaligus menganiaya korban.
"Peningkatan kualitas kejahatan di Jakarta itu berupa
peningkatan cara kejahatan," kata seorang perwira menengah dari
Laksusda Jaya. Contohnya, sekarang para penjahat juga memakai
kendaraan bermotor. Kualitas sasaran juga meningkat. "Mereka
sekarang sudah berani beroperasi di daerah bank," katanya.
Selain itu ada juga peningkatan pada peralatan yang dipakai si
penjahat, termasuk penggunaan senjata api.
Tidak hanya dalam kualitas, jumlah beberapa jenis kejahatan pun
meningkat. Di seluruh Indonesia, pada 1979 perampokan dengan
senjata api meningkat 4,02% dibanding 1978, yakni dari 176 kasus
menjadi 183 kasus yang termasuk kategori perampokan juga
melejit, tercatat 7039 (1978) menjadi 9551 kasus (1979).
Di Jakarta, jumlah gangguan terhadap Kamtibmas yang dilaporkan
masyarakat juga melompat tinggi. Bila antara April 1978 sampai
Maret 1979 tercatat 23.464, pada 1979/1980 angka menanjak
menjadi 34.921 kasus. Hampir seluruh jenis kejahatan dan
pelanggaran naik jumlahnya, kecuali antara lain perjudian dan
penganiayaan berat. Pada 1980 ini, rata-rata dalam dua hari
seorang terbunuh di ibu kota ini.
Tidak hanya di Jakarta, angka kriminalitas di daerah juga naik.
Di Jawa Timur, angka kriminalitas pada 1977/1978 (April sampai
Maret) tercatat 58.403. Pada 1978/1979 angka ini naik menjadi
60.538. Catatan tahun ini dari Januari sampai Juli menunjukkan
angka 65.508. Kejahatan yang menempati tempat teratas adalal
pencurian dengan kekerasan.
Di Jawa Barat, menurut Kadapol VIII Langlangbuana Mayjen
Muryono, kriminalitas secara kuantitas menurun tapi secara
kualitas meningkat. Yang menonjol misalnya perampokan gaji
pegawai P&K di Banjarsari, Ciamis, 5 Mei 1980 sejumlah hampir Rp
20 juta. Kejahatan, menurut Muryono, sudah memasuki pedesaan --
yang motifnya umumnya tekanan ekonomi. Lebih 60% pelakunya
adalah residivis.
Toh jika dipakai ukuran internasional tingkat kejahatan di
Indonesia tidak tergolong tinggi. Menurut Brigjen Darmawan,
crime-rate untuk Indonesia dalam tahun 1978 dan 1979 adalah
0,01% per bulan. Artinya kemungkinan tiap orang menghadapi
kejahatan boleh dikata relatif kecil. Persentase itu diperoleh
dari perbandingan jumlah kejahatan dan jumlah penduduk kali
100.000 per 12 (bulan).
Namun masyarakat Indonesia agaknya tidak peduli dengan ukuran
internasional itu. Yang jelas, rasa tenteram masyarakat agak
terganggu. Banyak sekali peristiwa, di mana terjadi korban
karena si penjahat secara tidak perlu menganiaya korbannya.
Terbunuhnya seorang sersan marinir di Depok, Bogor, pekan lalu
yang didahului adu mulut sebentar, menunjukkan betapa sepelenya
jiwa manusia dihargai. Kasus itu juga membuktikan sekali lagi,
senjata api mudah sekali diperoleh mereka yang tidak berhak.
(Lihat Kriminalitas).
Penggunaan senjata api inilah yang antara lain bakal ditertibkan
oleh Operasi Sapujagat. Pangkopkamtib Sudomo pekan lalu
mengingatkan masih berlakunya UU no. 12/DRP/1951 yang mengancam
hukuman mati atau hukuman maksimum 20 tahun bagi pemakaian,
pemilikan dan penggunaan senjata api yang tanpa hak atau tanpa
dilindungi dengan surat yang sah.
Menurut Sudomo, cara pengawasan pemakaian senjata api yang
selama ini dilakukan oleh polisi akan ditingkatkan. "Misalnya
senjata yang dipakai oleh Perbakin atau KONI untuk olah raga.
Itu akan ditarik ke suatu gudang seluruhnya," ujarnya. Waktu
latihan menembak juga akan diawasi benar-benar. Pangkopkamtib
mengisyaratkan, penyelewengan penggunaan senjata api akan
dikaitkan dengan UU mengenai Subversi tahun 1963.
Salah satu penyebab pemakaian senjata api secara tidak sah,
menurut Sudomo, adalah karena ancaman hukuman yang terlalu
ringan. Ia membandingkan Singapura yang mengancam hukuman berat
bagi yang menyalahgunakan senjata api. Disebutnya seorang pemuda
berusia 18 tahun yang dijatuhi hukuman mati karena menggunakan
senjata api. Kalau hal yang sama dilakukan di sini, kata Sudomo,
"Mereka akan memikir 10 kali untuk melakukan itu," ujarnya.
Bukan rahasia lagi, meningkatnya kejahatan dengan senjata api
belakangan ini antara lain karena tidak sulitnya memperoleh
senjata api itu -- dengan membeli maupun meminjam. Pernah
dilaporkan adanya orang-orang tertentu di Karawang yang
menyewakan senjata api dengan harga Rp 25.000 sampai Rp 100.000
semalam. Di Jawa Tengah diketahui pernah ada sindikat yang
mengedarkan senjata api.
Yang belakangan makin meresahkan masyarakat adalah
penyalah-gunaan bahan peledak. Pangkopkamtib menyebut beberapa
contoh, antara lain di Padangsidempuan, Masjid Istiqlal, Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo dan di pesawat Garuda. Semua itu masih
diteliti motifnya.
Yang juga belum diungkapkan adalah serangkaian hilangnya bahan
peledak di Pabrik Semen Cibinong dan Gresik serta di Proyek
Karangkates 9 Agustus lalu. Di Gresik dilaporkan ada 16 dus @
1.500 buah detonator yang hilang dari gudang. "Cukup untuk
persediaan setahun bagi keperluan pabrik," cerita suatu sumber
TEMPO.
Untuk keperluan operasi penggalian bahan baku kapur, Pabrik
Semen Gresik menggunakan 3 macam bahan peledak. Yakni detonator
yang berfungsi sebagai pelatuk, gelatin/damutin dan amonium
nitrat. Semua bahan ini dibeli dari Perum Dahana di Tasikmalaya,
Jawa Barat.
Penggalian kapur dilakukan rata-rata 2 atau 3 kali seminggu.
Tiap peledakan menghabiskan sekitar 1 ton bahan peledak, yang
memakai sekitar 120 buah detonator. Gudang tempat penyimpanan
bahan peledak ini -- yang menempati areal 2 hektar -- terletak
sekitar 2,5 km sebelah barat daya pabrik.
Hilangnya detonator ini baru diketahui siang harinya, 9 Juni
1980. Pelacakan oleh polisi sulit dilakukan karena petugas
keamanan sudah melakukan pemeriksaan lebih dulu. Tiga hari
setelah itu, diketahui 3000 detonator sisa hilang dari pabrik
petro kimia Gresik. Beberapa orang telah ditahan, namun hasil
pemeriksaan sementara polisi belum memperoleh titik terang.
Di Karangkates, sekitar 30.000 detonator dilaporkan hilang
Agustus lalu. Gembok pintu gudang penyimpanan yang dijaga
petugas keamanan --kedapatan dicongkel. Kawat berduri yang
mengelilinginya digunting. Hilangnya bahan peledak di kedua
tempat ini ditangani langsung oleh Laksusda Ja-Tim.
Segi yang paling mengkhawatirkan dari penyalahgunaan bahan
peledak adalah kemungkinannya menciptakan teror. Ditemukannya
bahan peledak dalam bagasi pesawat Garuda bulan lalu -- yang
untung tidak meledak -- dan juga koper penumpang yang membawa
bahan peledak di Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta, pekan
lalu, telah menyalakan sumbu rasa khawatir ini. Hingga bermacam
desas-desus kemudian muncul.
Ini memperkuat dugaan adanya unsur politis dalam meningkatnya
jumlah kejahatan belakangan ini. Kadapol VIII Langlangbuana Jawa
Barat, Mayjen Muryono menyebutnya dengan istilah "kriminalitas
plus". Maksudnya, kejahatan terselubung, yang dilakukan
orang-orang tertentu "dengan motif ideologis-politis."
Bahkan Menko Polkam M. Panggabean sendiri mempertanyakan, apakah
indikasi kejahatan yang terjadi belakangan ini juga punya tujuan
politis. Masalah sosial ekonomi diakuinya bisa menjadi latar
belakang terjadinya kriminalitas.
"Tetapi karena masalah sosial ekonomi, apakah sudah begitu sulit
keadaan itu, hingga orang harus melakukan pekerjaan kriminal
itu?" tanya Panggabean -- meskipun bagi sebagian orang
keterpepetan ekonomi membikin frustrasi (lihat box).
Ya, apakah betul unsur politis di belakang kejahatan belakangan
ini bukan sekedar tunjuk "kambing hitam" saja? Kemungkinan motif
politik memang ada -- meskipun perlu ditelaah terus.
Pangkopkamtib Sudomo misalnya, menunjuk kasus perampokan di
Klaten pada 1975 bertujuan "untuk mengumpulkan dana bagi sisa
G30S/PKI." Berdasar pemeriksaan terhadap 15 orang yang terlibat
dalam kasus Rajapolah, terbunuhnya 2 anggota TNI waktu menyergap
komplotan perampok gaji karyawan P&K Banjarsari -- menurut
Kapendam VI Siliwangi Mayor Slamet Suyono mensinyalir itu
dilakukan golongan ekstrim kanan.
Tampaknya semua inilah yang melahirkan Operasi Sapujagat. Akan
berhasilkah Sapujagat? Di tahun-tahun yang lalu, banyak operasi
khusus telah dilancarkan -- hampir semuanya juga dengan nama
yang seram. Misalnya pada 1974, Kodam V/Jaya membentuk pasukan
anti-bandit: Tumpas Bandit (Tuba). Komandan pasukan yang mirip
Tekab (Tim Khusus Anti Bandit) milik Polri ini adalah Kastaf
Kodam V Brigjen Norman Sasono (waktu itu). Senjatanya pistol
mitraliur M 10 yang dilengkapi peredam suara. Tapi hasil Tuba
yang dilengkapi perintah tembak di tempat ini kurang jelas.
TAHUN berikutnya Polri melancarkan Operasi Mawar di tujuh Kodak
berupa razia terhadap tersangka kejahatan. Untuk menanggulangi
pencurian kawat telepon, dilancarkan Operasi Melati di delapan
Kodak. Pada 1976 Kodak VII Metro Jaya melancarkan apa yang
dinamakan Operasi Biawak.
Apakah tetap meningkatnya jumlah kejahatan berarti
operasi-operasi di atas kurang berhasil? Apakah "laju"
pertumbuhan kejahatan lebih cepat dari usaha penanggulangan?
Berbagai sebab dituding guna menjelaskan meningkatnya kejahatan,
dari tekanan ekonomi, kurangnya tenaga dan peralatan Polri
sampai urbanisasi. Kejahatan memang juga akibat samping pembangunan.
Pertambahan penduduk serta kemajuan teknologi umumnya selalu
disertai pertambahan angka kriminalitas. Kepincangan pembangunan
melahirkan tekanan sosial-ekonomi, ketidakpuasan dan frustrasi
yang bisa menjurus menjadi kejahatan.
Di masa lalu tampak usaha penanggulangan kejahatan ini dilakukan
terlalu sektoral. Pengiriman residivis ke Nusakambangan
misalnya, bisa dijadikan contoh. Penglepasan mereka -- setelah
habis masa hukuman -- dilakukan di Cilacap, dengan bekal ongkos
jalan untuk pulang. Ternyata banyak yang tidak pulang ke tempat
asal. Mereka menghabiskan bekal itu di tempat pelacuran. Untuk
mendapat bekal pulang ke tempat asal, mereka melakukan
kejahatan. Akibatnya angka kejahatan di Banyumas meningkat.
Rupanya berbagai kekurangan dan kelemahan ini akan dicoba
diatasi dalam Sapujagat. Istilah Pangkopkamtib Sudomo: Operasi
Sapujagat akan menanggulangi kejahatan secara konsepsional
sampai tuntas.
Menurut rencana, Operasi Sapujagat akan dimulai serentak pada 20
September. Sasaran pertama razia senjata api dan senjata tajam.
Siap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini