Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA sering disebut miniatur Indonesia. Namun korupsi di daerah ini sebenarnya bukan lagi versi mini dari kejahatan yang sama di level nasional, melainkan telah sama dan sebangun, baik dalam hal modus, skala, maupun mata rantai pelakunya. Hal itu setidaknya terlihat dalam permainan proyek pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2014, yang kemudian berlanjut ke perencanaan tahun ini.
Mata rantai permainan anggaran di Jakarta terdiri atas pengusaha, birokrat, dan dipayungi oleh politikus di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kongkalikong ini menghasilkan aneka proyek absurd, yang nilai bukunya digelembungkan setinggi-tingginya. Tak aneh jika ada sekolah yang hampir roboh karena tak punya biaya renovasi gedung tapi memperoleh alokasi anggaran untuk pengadaan alat kebugaran.
Anggaran absurd lain, yang diungkapkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan kemudian membuat heboh politikus Dewan, berupa pengadaan perangkat penyimpan daya listrik atawa uninterruptible power supply (UPS) untuk sekolah menengah pertama di Jakarta. Ada pula penerbitan buku trilogi Basuki-proyek yang mencatut nama Gubernur. Semua dicantumkan dengan nilai fantastis. Menurut sang Gubernur, total anggaran siluman ini superjumbo: Rp 12,2 triliun atau 15 persen dari total APBD 2015.
Modus penyusupan anggaran itu sama persis dengan korupsi yang melibatkan perusahaan-perusahaan mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin pada 2010-2011. Mereka membobol anggaran negara dengan "menciptakan" pelbagai proyek siluman di beberapa kementerian. Operasi ini dijalankan dengan melibatkan birokrat, petinggi perusahaan negara, dan politikus kolega mantan anggota Dewan itu.
Di Ibu Kota, pemain "bisnis" anggaran ini antara lain bernama Alex Usman, mantan Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat. Bukan kebetulan jika ia berteman lama dengan anggota Dewan dari Partai Hanura, Fahmi Zulfikar Hasibuan. Sementara itu, anak Alex, Rina Aditya Sartika, adalah anggota Fraksi Partai Gerindra. Perkongsian ini menghasilkan antara lain proyek pengadaan UPS di Jakarta Barat senilai Rp 125 miliar. Semakin ajaib karena buku yang dicetak untuk keperluan kampanye Rina pada awal tahun lalu kemudian "diklaim" melalui anggaran daerah 2014.
Proses pengesahan anggaran aneka proyek itu seolah-olah demokratis karena secara prosedural dilakukan melalui perangkat Dewan. Para politikus juga mengklaim memasukkan alokasi anggaran berdasarkan hak memberikan saran dan masukan kepada pemerintah daerah. Namun sesungguhnya proses itu dilakukan sebagai bagian dari kejahatan yang direncanakan. Begitu juga dalam pelaksanaannya, proses tender hanya formalitas karena pemenangnya telah diatur.
Kejahatan yang sama diduga telah berlangsung bertahun-tahun. Permainan terbongkar oleh perangkat teknologi: penganggaran elektronik alias e-budgeting. Dengan sistem ini, anggaran tidak bisa disulap sekehendak hati. Bujet hanya bisa direvisi oleh petugas yang memiliki akses khusus. Mereka yang menggunakan sistem e-budgeting akan tercatat dalam sebuah buku log. Tentu saja kemauan dan keberanian Gubernur Basuki untuk mengakhiri kejahatan ini menjadi penentu utamanya. Ia tak takut beradu gertak dengan anggota Dewan, yang kemudian menggalang hak angket untuk mempersoalkan keputusan-keputusan politiknya.
Gubernur Basuki sepatutnya tidak dibiarkan bertempur sendirian. Ia perlu didukung dalam menciptakan sistem penganggaran yang transparan. Dalam jangka pendek, Komisi Pemberantasan Korupsi semestinya memberikan supervisi kepada kepolisian yang menyelidiki dugaan kejahatan pada masuknya anggaran siluman ini.
Basuki harus mengenakan sanksi kepada anak buahnya yang terlibat. Bagaimanapun, birokrat yang korup di Jakarta merupakan tanggung jawabnya. Ia juga perlu memberikan akses selebar-lebarnya kepada para penyelidik agar kejahatan ini bisa dibongkar. DPRD sepatutnya sadar bahwa penggunaan hak angket untuk menjatuhkan Gubernur sesungguhnya hanya menunjukkan kepanikan mereka menghadapi peperangan ini.
Dalam jangka panjang, sistem penganggaran elektronis selayaknya diterapkan lebih utuh oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Kota Surabaya, yang berhasil menerapkan sistem ini sejak 2011, bisa dijadikan acuan. Di ibu kota Provinsi Jawa Timur itu, teknologi yang dinamakan Sistem Manajemen Sumber Daya Pemerintah bahkan telah mengintegrasikan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, hingga monitoring kegiatan. Duplikasi sistem ini harus dilakukan di seantero Nusantara. Para garong anggaran tak boleh dibiarkan merajalela-di Jakarta, juga daerah lain di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo