Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI tak boleh dipandang enteng, melemahnya rupiah tak perlu pula membuat panik.?Sikap panik akan membuat pasar bereaksi negatif. Namun, walau depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tergolong kecil dibanding mata uang lain,?dampak melemahnya rupiah bisa serius. Delapan jurus stabilisasi rupiah yang diluncurkan pemerintah pekan lalu sudah memadai, tapi langkah lanjutan tetap perlu. Salah satunya dengan bersungguh-sungguh menekan defisit transaksi perdagangan.
Dibanding krisis ekonomi 1998, kondisi sekarang jauh lebih baik. Sektor perbankan tak lagi amburadul, inflasi juga dapat ditekan. Bahkan, pada Februari, inflasi tercatat negatif, turun dari 7 persen pada Januari ke 6,3 persen. Pasar saham pun masih bergairah walau dolar menembus Rp 13.059. Bunga Surat Utang Negara juga turun dari 6,4 ke 6,3. Ini pula yang menjelaskan mengapa depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika tergolong kecil, hanya -4,69 persen. Bandingkan dengan merosotnya dolar Australia yang mencapai -6,38 persen. Bahkan euro anjlok -12,36 persen.
Semua indikator itu menunjukkan melemahnya rupiah lebih karena faktor global. Namun kita tak boleh menutup mata bahwa faktor ekonomi dalam negeri juga perlu perhatian serius. Salah satunya adalah membesarnya defisit transaksi berjalan. Sejak 2012, defisit sudah mencapai US$ 24,418 miliar, meningkat ke US$ 19,115 miliar pada 2013. Adapun tahun lalu defisit itu sudah mencapai US$ 26,233 miliar, atau 2,95 persen dari produk domestik bruto.
Agar rupiah tak semakin loyo, pemerintah harus memperbaiki neraca perdagangan komoditas dan jasa. Ekspor komoditas hasil sektor manufaktur harus digenjot. Kita harus berguru pada Thailand, yang mampu mendorong ekspor dari sektor manufakturnya hingga 59 persen dari total ekspor mereka. Sedangkan kita? Hanya 15 persen!
Mendorong ekspor inilah yang harus jadi prioritas. Delapan jurus stabilisasi rupiah, salah satunya memberi insentif pajak bagi industri lokal berorientasi ekspor, sudah tepat. Namun harus pula diupayakan sungguh-sungguh memperbaiki iklim investasi. Salah satunya dengan membereskan besarnya biaya siluman dan pungli perizinan yang sudah lama jadi momok.
Biaya siluman itu sangat merusak iklim berusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia menyebutkan besarnya biaya siluman mencapai 14 persen dari seluruh biaya produksi. Padahal biaya tenaga kerja saja hanya 11-12 persen. Maka akan percuma mendorong ekspor jika biaya domestik tak dapat ditekan. Seharusnya kebijakan stabilisasi rupiah diikuti upaya serius membenahi birokrasi.
Juga yang harus dilakukan adalah mengendalikan keseimbangan pasokan dan permintaan dolar Amerika. Memang tidak mudah karena nilai ekspor terus menurun. Sebaliknya, permintaan dolar semakin meningkat antara lain karena konsumsi bahan bakar minyak yang harus dibeli dari luar terus bertambah. Maka proyek-proyek infrastruktur unggulan Presiden Joko Widodo yang menggunakan dolar perlu ditata ulang prioritasnya. Termasuk yang harus diatur adalah perusahaan BUMN dan swasta yang gencar meminjam dolar untuk membiayai investasinya. Jika tak dikendalikan, utang dolar yang pada Oktober tahun lalu sudah mencapai US$ 294,4 miliar akan terus meningkat. Makin celaka jika utang itu tak dibentengi lindung nilai (hedging).
Jika langkah-langkah itu dilakukan, pasar akan mendapat sinyal positif bahwa pemerintah masih memegang kendali atas gejolak rupiah. Sinyal itu penting agar tak muncul spekulasi yang memicu kepanikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo