Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandung Mawardi*
Saridjah Bintang Soedibjo (1908-1993) adalah "guru bahasa" melalui lagu-lagu anak-anak. Belajar bahasa dengan lagu memberi impresi bagi bocah mengenali diri dan Indonesia. Lagu-lagu bocah adalah ekspresi melawan bahasa dan imajinasi kolonial. Ikhtiar Saridjah Bintang Soedibjo (Ibu Soed) pantas jadi rujukan kita saat melacak semaian bahasa Indonesia di dunia anak-anak. Sekolah, lagu, dan anak-anak adalah urusan pelik pada masa kolonialisme. Sekolah mengajarkan kemodernan. Lagu-lagu dalam mata pelajaran musik ala sekolah kolonial menebar imajinasi tak berjejak di tanah air: Indonesia. Bocah pun belajar dalam situasi dilematis.
Ibu Soed mengenang dilema lagu dan nasionalisme saat menempuh pendidikan di Kweekschool voor Inlandse Onderwijzers (Bandung). Ibu Soed bergairah dalam pelajaran musik, sandiwara, dan deklamasi. Institusi pendidikan kolonial intensif mengajarkan lagu-lagu berbahasa Belanda. Pengajaran lagu-lagu itu dimaksudkan untuk mengantarkan anak-anak di negeri terjajah masuk ke imajinasi ala Belanda. Lagu lekas menjadi ingatan dan meresap ke biografi bocah. Peristiwa anak-anak pribumi melantunkan lagu seolah-olah melantunkan alienasi identitas. Ibu Soed mengingatkan bahwa kesadaran mencintai alam, Tuhan, orang tua, dan bangsa dapat diajarkan dengan lagu. Selebrasi lagu-lagu Belanda di sekolah-sekolah membuat identitas bocah terbelah dan nasionalisme ada di ujung tatapan mata.
Ibu Soed, selaku guru di Sekolah Kartini (Jakarta), merasa prihatin saat mengampu mata pelajaran menyanyi. Dia mengakui sering mengajarkan lagu-lagu Belanda. Bocah-bocah melantunkan lagu dengan imajinasi alam dan kehidupan di Belanda. Kondisi pengajaran ini perlahan membuat Ibu Soed prihatin: "Alangkah baiknya jika anak-anak bernyanyi tentang keindahan tanah air sendiri dengan bahasa kita sendiri. Kecuali kita bernyanyi tentang alam kita, juga dapat dikembangkan penggunaan bahasa Indonesia. Apakah selamanya kita harus menggunakan bahasa Belanda, padahal kita punya bahasa sendiri?" (Lasmidjah Hardi, Sumbangsihku Bagi Pertiwi, 1981).
Ibu Soed pun memutuskan mencipta lagu demi selebrasi imajinasi bocah. Lagu menjelma ekspresi identitas dan nasionalisme pada masa akhir 1920-an. Ibu Soed rajin mencipta lagu dan mengajarkan ke masyarakat. Biografi Ibu Soed turut menentukan nasib bahasa Indonesia. Pengabdian itu mengesahkan Ibu Soed sebagai perintis lagu-lagu bocah berbahasa Indonesia. Anak-anak pun bisa belajar pelbagai hal melalui lagu dan menguatkan peran bahasa Indonesia di arus sejarah Indonesia.
Kita mafhum bahwa lagu-lagu anak-anak justru jadi medium mujarab untuk menularkan gairah bahasa Indonesia di dunia pendidikan. Anak-anak melantunkan lagu mengandung arti menggerakkan bahasa Indonesia ke jalan terang. Bahasa Indonesia lekas menjadi acuan pembentukan identitas. Lagu-lagu bocah berbahasa Indonesia juga semakin menjelaskan resistensi atas imajinasi negeri penjajah. Lagu dan bahasa adalah ekspresi kultural di hadapan kuasa kolonialisme. Kita bisa menguak makna ekspresi kultural itu mengacu ke ratusan lagu bocah gubahan Ibu Soed.
Ibu Soed, dalam buku Ketilang (1979), memberi suguhan lagu-lagu impresif. Buku itu tak sekadar memuat 60 lagu gubahannya. Kita juga bisa belajar makna bahasa Indonesia lewat lagu-lagu dunia bocah. Kita mungkin masih fasih melantunkan lagu-lagu berjudul Kereta Apiku (1934), Burung Ketilang (1936), Hujan (1938), Tanah Airku (1940), Menanam Jagung (1942), dan Pergi Belajar (1943). Ibu Soed menggunakan bahasa sederhana tapi mengena ke nalar-imajinasi bocah. Lagu telah membesarkan makna bahasa Indonesia saat dilantunkan selama puluhan tahun. Warisan lagu-lagu gubahan Ibu Soed adalah warisan bahasa.
Kenangan lagu dan bahasa itu perlahan tergantikan oleh serbuan lagu cinta picisan. Bahasa-bahasa khas orang dewasa meresapi nalar-imajinasi bocah. Suguhan bahasa dari dunia asmara mengantarkan bocah ke belokan biografis. Mereka mulai direnggangkan dari racikan imajinasi alam dan pengisahan Indonesia. Mereka perlahan mencerna dan melafalkan bahasa-bahasa asmara. Lagu-lagu Ibu Soed mungkin masih dilantunkan bocah taman kanak-kanak atau sekolah dasar, tapi serbuan lagu cinta picisan di televisi dan radio terus "melenakan". Mereka hidup dalam rezim lagu cinta picisan. Anak-anak menanggung dilema identitas dan bahasa.
Lagu adalah referensi pembelajaran bahasa bagi anak-anak. Pengasuhan bocah identik dengan alunan lagu-lagu. Peristiwa-peristiwa bahasa itu mengalami reduksi saat lagu-lagu bocah berkisah alam, Tuhan, bangsa, hewan, dan sekolah tergantikan oleh lagu-lagu tentang jatuh cinta, putus cinta, dan selingkuh. Anak-anak mendengar lagu sebagai hiburan dan pengajaran. Bocah melantunkan lagu sebagai ekspresi diri. Ekspresi lagu mengandung hasrat kebahasaan dan pengisahan. Bocah-bocah sekarang ada di jeratan lagu-lagu cinta picisÂan. Kita prihatin tapi sulit memberi rangsang untuk mengundang mereka kembali menikmati lagu-lagu gubahan Ibu Soed, Pak Kasur, A.T. Mahmud, dan Pak Dal.
Kita pun pantas mengenang Ibu Soed. Kita bisa belajar ulang tentang lagu dan bahasa. Ibu Soed telah berikhtiar menampik dan melawan dominasi kolonial dalam lagu-lagu bocah. WarisÂan lagu-lagu gubahan Ibu Soed mengandung pesan agar kita mengerti bahwa lagu menjadi rujukan pembelajaran bahasa. Kita mesti "mengantarkan" bocah ke pergumulan bahasa milik mereka sendiri agar tak tersesat di kubangan lagu-lagu cinta picisan.
Pengelola Jagat Abjad Solo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo