Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arianto A. Patunru*
Washington, DC, November 2008. Menyadari bahwa krisis ekonomi dapat mendorong negara-negara menjadi lebih inward-Âlooking, semakin menutup diri dan mengundang perang dagang yang mengancam kesejahteraan global, para pemimpin G-20 membuat kesepakatan. Mereka berjanji tidak akan menerapkan kebijakan proteksionistis.
Setahun kemudian, Global Trade Alert menunjukkan bahwa negara-negara G-20 itu ternyata menerapkan hampir 200 jenis proteksi baru—60 persen dari total dunia. Dalam paruh pertama 2012 ini saja, G-20 telah "menyumbang" 80 persen atas total kebijakan proteksi baru di dunia (Evenett 2012).
Belum lagi ekonomi dunia pulih sepenuhnya, giliran Eropa dilanda krisis. Kita kembali menyaksikan gelombang proteksionisme. Sering terjadi, negara yang relatif aman pun melakukan hal serupa. Terjadilah situasi prisoner's dilemma: respons individual adalah menutup diri, sekalipun manfaat sosial dari bekerja sama bisa lebih besar. Dalam kondisi krisis, trust memudar: jika saya tidak melakukan ini, sementara mereka melakukannya, saya akan rugi.
Sentimen ini juga terasa di Indonesia. Sampai 2008 kebijakan perdagangan Indonesia, dilihat dari tarif yang diberlakukan, cenderung tidak proteksionistis. Namun, kendati kebijakan tarif menurun drastis, kebijakan non-tarif justru meningkat (Basri dan Patunru 2012). "Tingkat proteksi efektif"—proporsi di mana nilai tambah per unit output lewat kebijakan yang distortif melebihi tingkat pada kondisi perdagangan bebas—untuk tanaman pangan, misalnya, meningkat dari 16 persen pada 1995 menjadi 24 persen pada 2008 (Marks dan Rahardja 2012).
Pada 2009, Indonesia termasuk lima besar pelanggar kesepakatan G20 di Washington. Saat ini pun pemerintah masih mengeluarkan kebijakan baru yang bersifat proteksionistis. Misalnya rencana pengaturan pelabuhan khusus untuk impor hortikultura, pajak ekspor pada bahan baku dan produk pertanian, larangan ekspor rotan, pajak ekspor pada minyak kelapa sawit, serta peraturan tambahan bagi eksportir barang tambang—termasuk keharusan membangun smelter.
Beberapa mitra dagang Indonesia bisa diduga akan melakukan retaliasi. Baru-baru ini, India merespons kebijakan pajak ekspor tambang Indonesia dengan menaikkan pajak impor bagi minyak sawit kita. Mengingat India adalah konsumen minyak sawit terbesar, tentu ini adalah pukulan bagi ekspor Indonesia. Jepang juga mengancam akan melakukan retaliasi atas pajak ekspor bijih nikel dengan cara menghentikan impor kertas dari Indonesia.
Mungkin saja alasan di balik kebijakan-kebijakan tersebut bukan sekadar pertimbangan ekonomi. Bisa juga karena alasan politis. Jamak terjadi, proteksionisme menjadi laku dijual menjelang pemilihan umum. Tahun ini dua raksasa ekonomi menjalani pergantian pemimpin: Amerika Serikat dan Cina.
Kita telah menyaksikan ketegangan ekonomi di antara mereka yang meningkat tajam, dengan isu proteksionisme sebagai salah satu bumbu utamanya. Indonesia juga akan menyelenggarakan pemilu pada 2014. Sekarang janji populis sudah bertebaran. Mungkin bukan sesuatu yang mengherankan bahwa nada proteksionisme meninggi—bahkan ketika dampak krisis global sudah dapat ditepis.
Pertumbuhan ekonomi kita sesungguhnya cenderung stabil, walaupun sedikit menurun pada kuartal pertama 2012, yaitu 6,3 persen, setelah dalam tiga kuartal sebelumnya konsisten pada 6,5 persen. Ekspor pada Juni 2012 terkontraksi 16 persen dibanding Juni 2011, sementara impor meningkat 11 persen, menyebabkan defisit perdagangan pada Juni 2012 sekitar US$ 1,33 miliar.
Penurunan ekspor terbesar terjadi di pasar tujuan Cina (turun 15 persen dibanding Mei 2012), diikuti Uni Eropa (-12 persen), dan Jepang (-8 persen). Dalam hal komoditas nonmigas, penurunan ekspor terbesar terjadi pada batu bara (turun 13 persen dibanding Mei 2012) serta bijih, kerak, dan abu logam (-55 persen). Sebagian angka ini menjadi indikasi bahwa dampak krisis di Eropa sudah terasa. Sebagian lagi mungkin adalah refleksi dari respons awal mitra dagang atas kebijakan pajak dan pembatasan ekspor mineral mentah Indonesia.
Dalam sistem perdagangan dunia yang mulai berubah orientasinya dari perdagangan barang final ke perdagangan input antara, sesungguhnya neraca perdagangan bilateral akan semakin tidak relevan. Meneropong neraca bilateral kita dengan negara tertentu memang bisa membuat khawatir. Namun, secara total, angka perdagangan tidak terlalu buruk.
Dibandingkan dengan paruh pertama tahun lalu, misalnya, total ekspor nonmigas semester ini hanya turun kurang dari 3 persen. Bahkan, jika dilihat dalam jangka yang lebih panjang, ekspor Indonesia menunjukkan kecenderungan yang baik.
Dalam periode 1988-2010, Indonesia berhasil memanfaatkan kenaikan permintaan dari negara-negara yang paling dinamis di dunia (McLeod 2011). Maka reaksi proteksionisme akhir-akhir ini tampaknya cenderung berlebihan dan lebih bernuansa politis.
Semakin besarnya rantai nilai global berarti semakin besarnya perdagangan dalam input antara. Ini membuat batas antara ekspor dan impor mengabur: ekspor mengandung banyak komponen impor, dan sebaliknya, impor mengandung komponen yang sebelumnya diekspor. Kandungan impor dalam ekspor Cina, misalnya, hampir mencapai 30 persen, sementara di Indonesia sekitar 20 persen.
Interdependensi antarnegara di dunia semakin meningkat. Hal ini didorong oleh giatnya perusahaan multinasional mengejar efisiensi lintas negara. Implikasinya, kebijakan perdagangan yang diambil atas dasar hubungan bilateral saja berpotensi salah sasaran.
Tampaknya Indonesia cukup terlambat mengikuti gravitasi jaringan produksi regional ini (Lipsey dan Sjöholm 2011). Jika ingin memanfaatkan perubahan, Indonesia perlu berbenah. Orientasi ekspor Indonesia pada sumber daya alam dan upah buruh yang murah tidak bisa berlangsung selamanya.
Lantas apa jalan keluarnya? Sebagian dari kita tergoda untuk menjawab: naikkan nilai tambah. Sudah saatnya mengurangi atau menahan ekspor dan merelokasikan bahan baku menjadi barang industri dalam negeri bernilai tambah tinggi. Ini bermasalah. Pertama, pola perdagangan dunia ke depan semakin beralih kepada proses di mana nilai tambah berasal dari banyak negara. Menahan ekspor input antara untuk semata-mata membangun industri domestik menghalangi kita memanfaatkan potensi jaringan produksi regional ataupun global.
Kedua, seperti yang diingatkan Aswicahyono (2012), "obsesi nilai tambah" melalui relokasi sumber daya dari sektor bernilai tambah rendah ke sektor bernilai tambah tinggi berarti memindahkan orientasi dari sektor padat karya tak terampil ke sektor padat modal atau sektor padat tenaga kerja terampil. Dengan kondisi sumber daya manusia yang masih lemah dan pasar kerja yang kaku seperti sekarang, relokasi yang dipaksakan hanya akan menambah pengangguran. Pada akhirnya, nilai tambah total justru lebih sedikit.
Maka lompatan katak demi memacu nilai tambah tampaknya bukanlah strategi yang tepat dalam mengantisipasi ancaman kutukan sumber daya alam dan kenyataan bahwa upah buruh kita tak lagi murah. Cara lebih baik yang mungkin dilakukan adalah inovasi. Inovasi memungkinkan proses produksi yang lebih efisien. Dalam jangka panjang, relokasi yang lebih alamiah ke sektor lain juga niscaya akan terjadi. Ini dimungkinkan ketika sumber daya manusia telah lebih baik, dan migrasi sektoral pekerja juga lebih fleksibel.
Ada dua jalan yang dapat memfasilitasi perbaikan menuju kondisi seperti ini: pembangunan berbasis pengetahuan dan peningkatan investasi. Dengan knowledge-based growth, diharapkan mobilisasi pengetahuan akan menjangkau sektor padat tenaga tak terampil yang lalu mentransformasi mereka menjadi tenaga terampil (Woo 2010).
Selanjutnya sebagian dari mereka akan mendorong sektor pedesaan mendaki tangga nilai secara alamiah dan sebagian lagi masuk ke sektor lain yang lebih padat modal dan padat tenaga terampil, seperti industri pengolahan. Dalam prakteknya hal ini bisa dicapai dengan subsidi riset dan pengembangan kerja sama pemerintah dan swasta (misalnya inkubator bisnis). Bukan berdasarkan favoritisme, melainkan sebuah sistem yang dapat diakses oleh siapa saja yang memenuhi kualifikasi.
Contoh lain adalah pengurangan pajak (yang analog dengan subsidi) bagi kegiatan on-job training atau R&D. Tentu mekanismenya perlu dibuat transparan dan dengan exit-clause dan jangka waktu yang jelas. Siapa pun yang tak lagi memenuhi kriteria harus keluar dari sistem dukungan (Rodrik 2010). Akhirnya, kita perlu terus mengingat: "proteksi" yang paling baik adalah infrastruktur dan sistem logistik yang andal.
* Peneliti LPEM, dosen FEUI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo