IA lahir di fyord yang dingin di Skandinavia, di bawah
bayang-bayang gunung yang gersang. Tapi ia tak hidup di dunia
nyata. Ia adalah Brand, sang pastur, tokoh utama dalam sandiwara
ciptaan Henrik Ibsen.
Di cuaca Skandinavia yang tak begitu melimpah sinar suryanya,
imam Kristen itu tampil bagaikan rasul yang datang ke bumi untuk
mengubah arah sejarah, setelah mengubah hati. Ia ingin manusia
mengikuti jejak Tuhan. Dan Tuhan bagi Brand adalah wujud yang
paling murni, yang tak bisa bergabung dengan noktah apapun, dan
tak bisa dikompromikan. Tuhan baginya adalah sang Ideal, yang
harus dicapai tak henti-hentinya dengan tekad dan niat.
Tekad dan niat, kekerasan kemauan -- itulah kuncinya. Maka
berdosa besarlah bila orang cuma setengah-hati dan gentar
menempuh jalan yang ditunjukkan. Brand keras, angker bagaikan
bapa keramat, seorang Kristen yang cenderung tak ingin terlibat
segi kasih-sayang dalam agama. Terlalu banyak kasih baginya
adalah hati yang lemah.
Sebab ia tak menyukai kesetengah-tengahan. Iblisnya adalah
semangat kompromi. Di matanya, kejahatan adalah kemewahan, sikap
berenak-enak, sifat moderat, serba mau menampung, dan kemalasan
akhlak. Semboyannya mengguntur: "Semuanya, atau tidak sama
sekali."
Demikianlah dalam cerita sandiwaranya ini Ibsen pun menghadapkan
Brand dengan Ejnar, seorang pelukis penggemar keindahan. Ejnar
diidentifikasikannya dengan "udara gunung, sinar mentari, embun
dan harum pohon pina", sementara Brand berarti "pedang dan api".
Tapi tersebutlah dalam akhir babak ke-II: Brand lebih memikat
bagi Agnes. Gadis ini meninggalkan Ejnar. Tergetar oleh sosok
heroiknya, oleh keberaniannya yang hebat dan daya karismatiknya,
Agnes jatuh ke pribadi Brand.
Namun setelah Agnes meninggalkan Ejnar dan menikah dengan sang
pastur, krisis terjadi. Cita-cita Brand yang keras menghancurkan
seantero keluarganya. Ibunya sendiri meninggal. Brand menolak
untuk datang sebelum sang ibu berjanji menghibahkan hartanya.
Lalu anaknya Alf menyusul, korban dingin Utara yang keras.
Kemudian Agnes. Wanita ini menyerahkan hidupnya yang pedih ke
langit seraya berseru: "Aku bebas, Brand ! Aku bebas!". Brand
pun memperoleh kemenangan: ia telah korbankan segala yang ia
cintai untuk jadi bayangan Tuhan.
Ada sesuatu yang suram di sana. Tapi bukankah Brand harus
memperbaiki manusia lembek seperti yang dilihatnya di kota itu?
Sang Walikota, yang dipilih oleh penduduk, hanya mau memenuhi
keinginan kebanyakan orang. Karena itu ia membangun
gedung-gedung umum serta menyajikan kenikmatan jasmani.
Sebaliknya Brand, yang ingin agar hidup bersifat keras, ingin
membangun Gereja baru.
Konflik itu hampir tak terpecahkan. Tapi pengikut Brand makin
bertambah, dan Walikota mengalah. Ia menyetujui rencana gapak
pastur. Maka di babak ke-V lakon ini, Brand pun sukses. Ia jadi
populer. Gereja lama sudah diambrukkan dan kini orang datang
berjubel mendengarkannya. Meski pun ada rasa gemetar, bahwa
mereka telah dipanggil untuk "memilih Tuhan yang baru."
Tapi akhirnya Brand sadar bahwa dirinya telah jadi korup. Ia pun
berseru kepada pengikutnya, bahwa Gereja yang sejati tak ada di
situ. Ia meninggalkan mereka -- dan ia sendirian ke tanah rawa.
"Jika tidak dengan Kemauan, bagaimana manusia dapat ditebus?",
ia teriak. Tapi di langit menderu ada suara berseru Tuhan Maha
Rahman dan Maha Rahim.
Ah, lakon ini mungkin baik dipentaskan di Qom atau Teheran dan
ditonton Ayatullah Khomeini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini