WAJAH Menhankam Jenderal Jusuf tampak keras Selasa pekan lalu
seusai pertemuannya dengan Presiden Soeharto di Bina Graha.
"Pemerintah Indonesia mulai 12 Juni ini tidak memperkenankan
lagi pengungsi Vietnam memasuki wilayah Indonesia," katanya pada
wartawan yang mengerubunginya.
Menurut Jusuf, kalau tidak distop sekarang jumlah pengungsi ini
akan bertambah sampai beberapa puluh ribu lagi. "Dengan segala
kerendahan hati dan mengingat sendi-sendi perikemanusiaan,
dengan terpaksa Indonesia mengeluarkan sikap demikian karena
berbagai hal yang ada pada masyarakat Indonesia sendiri harus
diatasi," ujar Menhankam.
Sebelum Presiden memberikan petunjuknya hal ini sudah
dibicarakan dulu dengan Menlu Mochtar Kusumaatmadja. Rencana
pusat pemrosesan tetap akan dilanjutkan sesuai dengan
kesepakatan bersama. Larangan ini bukan berarti Indonesia
mengesampingkan segi kemanusiaan, tapi "Tentunya semua itu harus
ada batasnya," kata Jusuf.
Tampaknya keputusn ini didorong hasil pengamatan Menhankam
setelah kunjungannya belum lama ini ke Riau. Jumlah pengungsi
memang membengkak cepat beberapa bulan terakhir ini. Awal
Pebruari lalu baru sekitar 4000 orang. Pada 27 April lalu jumlah
ini melonjak jadi 11.060, kemudian pada 21 Mei jadi 19.024. Pada
14 Juni lalu, jumlah ini meningkat menjadi 31.057. Berapa yang
sudah diterima bermukim di negara ketiga? Pada 1976 hanya 102,
kemudian meningkat menjadi 191 orang pada 1977. Tahun lalu 541
orang dan tahun ini sampai 14 Juni lalu 1183 orang.
"Jelas kran yang mengalir masuk terbuka lebar sedang yang
mengucur keluar hanya setetes-setetes," kata seorang petugas
penanggulangan pengungsi dari Deplu. Jadi? "Kalau situasi ini
dibiarkan terus, kita bisa hancur," jawabnya.
Derasnya jumlah pengungsi yang masuk mencemaskan para pejabat
Indonesia. Pengungsi ternyata sudah mendamparkan diri di hampir
semua kecamatan kepulauan Natuna, bahkan di beberapa tempat yang
semula diduga tidak mungkin didarati. Di kecamatan Jemaja yang
berpenduduk sekitar 6000 jiwa, jumlah pengungsi sudah mencapai
12 ribu orang. Harga kebutuhan sehari-hari melonjak, kota atau
desa kotor, penduduk resah. Semuanya karena pengungsi.
Hal ini rupanya yang disaksikan Menhankam. Tampaknya kenyataan
bahwa lebih separuh pengungsi adalah keturunan Cina membuat para
petugas keamanan juga lebih waspada. Lebih lagi beredar
desas-desus bahwa ada mata-mata Vietnam yang menyusup di antara
pengungsi, walau hal ini belum pernah terbukti. "Kepulauan Riau
sangat terbuka. Mungkin saja ada di antara mereka yang nanti
bisa menyelip keluar. Kalau ada 10% di antara mereka yang
'menguap' kan bahaya," ujar seorang perwira menengah Hankam.
Pendapat ini tampaknya mewakili pandangan aparat keamanan, dan
ternyata akhirnya sikap ini yang "menang." Maka keluarlah
keputusan 12 Juni.
Mengapa jumlah pengungsi meningkat cepat? Pangdam III/17 Agustus
Brigjen Sularso pekan lalu di Padang mengatakan: adanya rencana
pusat pemrosesan di Galang telah menyebabkan meningkatnya arus
pengungsi ini.
Betulkah ini? "Sangat tidak fair untuk menyalahkan rencana pusat
pemrosesan sebagai satu-satunya sebab meningkatnya arus
pengungsi," kata Menlu Mochtar Kusumaatmadja pada TEMPO pekan
lalu.
Beberapa pengungsi memang mengatakan berita adanya pusat
pemrosesan di Indonesia lebih mendorong mereka mengungsi. "Kami
dengar itu dari BBC London," ujar Ho Dinh Que, seorang dokter
yang kini jadi penghuni tempat penampungan Pasir Merah Tarempa.
Tapi itu bukan satu-satunya alasan. Cuaca yang baik juga lebih
cepat mendorong perahu pengungsi ke selatan. Dan di tengah laut
mereka memperoleh petunjuk arah: sumur minyak Udang I di Natuna
bagi para pengungsi terlihat bagai sebuah menara kota yang
menggairahkan di malam hari. "Dari jarak 60 mil kami sudah
melihat cahayanya," tutur Que. Ditambah lagi dengan mercu suar
di pulau Mangkai, di utara Jemaja. Tidak heran hampir 70% dari
31 ribu pengungsi Riau kini menumpuk di daerah Natuna.
Tapi sebab utama menderasnya arus pengungsi tampaknya
diakibatkan sikap keras pemerintah Malaysia, Singapura dan
Muangthai yang melarang kapal pengungsi memasuki perairan
mereka. Hingga buat mereka tidak ada jalan lain kecuali masuk
wilayah Indonesia. Lagi pula patroli laut Indonesia yang sejak
akhir tahun lalu diperintahkan untuk ditingkatkan ternyata
kurang berhasil membendung arus ini.
Keputusan 12 Juni ini disambut dengan berbagai reaksi.
"Keputusan itu sudah sangat terlambat dan seharusnya diambil
sejak dulu," kata Amin Iskandar, anggota DPR dari fraksi PP.
"Tidak perlu diplomasi-diplomasian. Terang-terangan saja kita
minta pertanggungjawaban Vietnam. Kalau perlu kita kembalikan
semua saja," sambungnya dengan enak tanpa menjelaskan bagaimana
caranya.
Rajagopalan Sampatkumar, Kepala Perwakilan Komisi Tinggi PBB
Urusan Pengungsi untuk Asia Tenggara dan Asia Timur, menyesalkan
keputusan ini. "Penolakan masuknya pengungsi tidak akan
menyelesaikan persoalan," katanya kepada A. Margana dari TEMPO.
UNHCR akan terus menghimbau Asean untuk meninjau kembali
keputusan ini, agar korban pengungsi lebih banyak bisa
dihindarkan.
Bagaimana pun juga, tampaknya keputusan para anggota Asean ini
sulit untuk ditinjau kembali. Tidak adanya tanda-tanda bahwa
Vietnam akan menutup arus pengungsi ini, ditambah keengganan
negara-negara ketiga untuk menampung mereka, rupanya menyudutkan
posisi negara anggota Asean. Terutama Muangthai, Malaysia dan
Indonesia. Muangthai kebanjiran sekitar 240 ribu sejak tahun
lalu. Jumlah pengungsi yang ditampung Malaysia bertahan di
sekitar angka 70 ribu setelah menutup perairannya dari arus
pengungsi baru.
Tertutupnya arah selatan mungkin akan mendorong arus pengungsi
ke arah lain, dan yang paling cemas adalah Hongkong. Koloni
Inggeris ini sampai pekan lalu sudah kebanjiran lebih 50 ribu
pengungsi. Tak heran, Gubernur Hongkong Sir Murray MacLehose
dua pekan lalu mengunjungi Inggeris untuk meminta bantuan guna
menghadapi arus "penyerbu berkaki telanjang" ini. Agaknya ini
yang kemudian mendorong PM Inggeris Ny. Margaret Thatcher untuk
menyerukan diadakannya sidang khusus di bawah pengawasan PBB
untuk membicarakan masalah pengungsi.
Soal pengungsi Indocina telah lama jadi ganjelan hubungan
Asean-Vietnam. Pengungsi mulai mengalir ke luar Vietnam Selatan
bahkan sebelum Saigon jatuh. Dan arus ini makin deras ketika
dalam usaha penyatuannya, pemerintah Vietnam "membersihkan"
masyarakat dari unsur-unsur yang kurang dia kehendaki. Bekas
penduduk Vietnam Selatan tampaknya yang paling tidak bisa
menyesuaikan diri dengan situasi baru, terutama masyarakat
keturunan Cina yang jumlahnya di Vietnam mencapai 1,2 juta.
Banyak bukti bahwa ke luarnya para pengungsi ini dimungkinkan
bahkan didorong oleh pemerintah Vietnam. Banyak pengungsi yang
mengaku mereka harus membayar sekitar 10 tail emas untuk bisa
pergi. Tidak sedikit pula yang diusir pergi. "Mereka nyata-nyata
membantu tentara Cina. Jadi kita bedakan mana Cina yang
warganegara Vietnam, mana yang Cina reaksioner. Yang reaksioner
inilah yang ditangkap lalu diusir," kata Wakil Walikota Ho Chi
Minh City Le Quang Chanh pada rombongan wartawan Indonesia yang
berkunjung ke Vietnam bulan lalu.
Diperkirakan saat ini sekitar 600 ribu orang telah mengungsi ke
luar Vietnam. Menurut keterangan Vu Hoang, utusan khusus
pemerintah Vietnam ke Pertemuan Jakarta pertengahan Mei lalu,
masih ada sekitar 600 ribu orang lagi di Vietnam yang akan
mengungsi. Pernyataan ini dianggap membuka kedok Vietnam bahwa
memang arus pengungsi ini didalangi p~emerintah Vietnam sendiri.
Bisa dimengerti bila negara anggota Asean mendongkol dan geram
menghadapi situasi ini. Menteri Dalam Negeri Malaysia Tan Sri
Gazali menuntut agar Vietnam selekasnya menghentikan "membuang
sampah" ke halaman tetangganya. Wakil PM Malaysia Dr. Mahathir
Mohammad bahkan mengancam untuk mengusir pergi lewat laut 76
ribu pengungsi Vietnam yang saat ini ditampung Malaysia.
Muangthai juga bersikap keras dengan memulangkan secara paksa 80
ribu pengungsi Kamboja, sedang sekitar 150 ribu lainnya yang
sudah tiba sejak tahun lalu masih diperbolehkan tinggal.
Kemudian menyusul Indonesia dengan keputusannya 12 Juni lalu.
Semua itu agaknya tambah membuat sulit masalah karena tak
terlihat kemungkinan pemecahannya di waktu dekat ini. Mengapa
Hanoi terus bersikap kaku? "Pengungsian ini juga menimbulkan
kesulitan bagi Vietnam, kata Dubes Vietnam di Jakarta Tran My.
Vietnam katanya telah berusaha mencegah arus pengungsi dengan
membolehkan warganya meninggalkan Vietnam secara legal untuk
menetap di negara lain. Sekitar 20 ribu saat ini sudah terdaftar
untuk dikirim lewat UNHCR ke negara lain.
Tapi cukup banyak dugaan bahwa ada sebab lain yang mendasar di
balik sikap Vietnam ini.
Menurut beberapa laporan kini sedang terjadi pergeseran kekuatan
di pucuk pimpinan kekuasaan negara ini. Kelompok yang kurang
suka dengan Uni Soviet, anggota-anggota partai yang terlalu tua
serta yang keturunan Cina kabarnya sedang digeser. Kekuasaan
Sekjen Partai Komunis Vietnam Le Duan diduga makin kuat sedang
PM Pham Van Dong dan Jenderal Vo Nguyen Giap melemah.
Apakah pergeseran ini yang mempengaruhi ketidaktentuan sikap
Vietnam menghadapi masalah pengungsi ini? Pada para wartawan
Indonesia yang mewawancarainya di Hanoi bulan lalu misalnya PM
Dong mengatakan akibat masalah pengungsi ini "di luar
dugaannya."
Setelah Vietnam dipersatukan pada 1976, semua menduga
penderitaan akan berakhir bagi bangsa yang selama 30 tahun
berperang ini. Tampaknya ini buat ratusan ribu orang Vietnam
masih akan tetap merupakan harapan saja. Apakah sebuah
konperensi seperti sidang darurat PBB akan bisa segera
memecahkan persoalan ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini