PELAYANAN pemerintah dalam bidang pendidikan belumlah dapat
dikatakan adil. Terutama kalau kita membandingkan sekolah
lanjutan umum (SMA) dengan sekolah kejuruan misalnya STM.
Ketidakadilan dialami siswa-siswa sekolah yang tersebut
belakangan dan sekolah kejuruan lainnya.
Seorang lulusan STM, tidak dapat dengan mudah memasuki perguruan
tinggi (fakultas teknik) -- meski dasar-dasar teknik telah
mereka pelajari selama tiga tahun. Tapi sebaliknya lulusan SMA
(Paspal) dengan mudah dapat masuk, karena bahan tes masuknya
berdasar atau dengan patokan pelajaran SMA Paspal.
Alasan utama kurang berhasilnya lulusan STM dan sekolah kejuruan
lainnya diterima di perguruan tinggi adalah: lemah/kurangnya
penguasaan mereka dalam Ilmu Pasti. Memang, Ilmu Pasti sangat
penting dalam dunia teknologi karena merupakan pengetahuan
dasar. Tapi fakultas teknik bukan bertujuan menghasilkan sarjana
Ilmu Pasti, tetapi sarjana teknik. Seorang mahasiswa teknik
tidak perlu mempelajari secara mendalam dan mengulas sampai
tuntas dari mana asal sebuah rumus Ilmu Pasti. Yang harus
dipelajarinya adalah bagaimana menerapkan rumus tersebut
sehari-hari sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat.
Seorang ahli Ilmu Pasti belum tentu ahli pula dalam bidang
teknologi, meskipun teknologi itu aplikasi Ilmu Pasti.
Tetapi begitulah. Lulusan STM ditolak dengan halus di fakultas
teknik. Demikian pula lulusan SPMA. Maka berbahagialah lulusan
SMA (Paspal).
Sekolah kejuruan memang didirikan untuk menghasilkan tenaga
kerja menengah setelah lulus diharap dapat berdiri sendiri. Itu
idealnya. Kenyataannya, tidak semua lulusan sekolah kejuruan
dapat memperoleh pekerjaan dengan mudah, meski telah dibekali
"keterampilan" baik sebagai tenaga kerja pemerintah, swasta
ataupun wiraswasta. Lapangan pekerjaan bagi mereka masih sempit:
ketidakadilan terasa pula.
Kalau kesempatan melanjutkan pelajaran bagi lulusan STM dan
sekolah kejuruan lainnya dibatasi dengan ketat, maka imbalannya:
lapangan pekerjaan bagi mereka harus diutamakan. Artinya lulusan
SMA Paspal harus dibatasi pula dalam mengisi lowongan yang
diperuntukkan bagi lulusan sekolah kejuruan. Kenyataan
menunjukkan: lulusan SMA Paspal banyak yang mengisi lowongan
pekerjaan yang seharusnya diisi oleh mereka yang sudah punya
keterampilan.
Benarlah anggapan orang: sekolah umum (dalam hal ini SMA Paspal)
adalah sekolah/jurusan yang paling bagus dan "fleksibel".
Lulusan SMA Paspal dapat masuk ke jurusan eksakta/sains di
samping jurusan noneksakta/sains seperti Hukum, Ekonomi, Sospol,
Seni Rupa, Psikologi, Geografi, Sejarah serta lainnya, yang
berarti mengurangi jatah bagi lulusan sekolah lain.
Seyogyanya, dalam mengisi lowongan pekerjaan,
instansi/jawatan/perusahaan ybs. mentes calon pegawainya sesuai
dengan kebutuhan. Misalnya untuk mengisi lowongan di Departemen
Keuangan dites dengan pengetahuan seperti Tata Buku, dsb.
Kalau dalam tahun-tahun mendatang lulusan STM dan sekolah
kejuruan lainnya tidak boleh lagi masuk perguruan tinggi, maka
kesempatan mencari pekerjaan harus bctul-betul diprioritaskan.
Untuk itu kurikulumnya harus disempurnakan lagi, sehingga
betul-betul dapat menghasilkan tenaga kerja menengah yang 'siap
pakai'. Juga pemerintah hendaknya tegas: yang dari jurusan
eksakta harus tetap melanjutkan ke jurusan yang sama, sehingga
nantinya ada perimbangan antara tenaga ahli eksakta/sains (yang
dewasa ini dirasa amat kurang) dengan sarjana/ ahli non
eksakta/sains.
Semoga Komisi Pembaharuan Pendidikan, yang sedang menyusun
konsep, dapat menghasilkan sistim pendidikan yang cocok dengan
tuntutan pembangunan.
NAZIRUDDIN L
Mhs. FKT IKIP Malang,
No. Reg, 77516428,
Jln. Semarang 5,
Malang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini