Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FESTIVAL film gay, lesbi, dan biseksual bukanlah festival film porno. Itulah pertama-tama yang harus dicamkan oleh siapa pun yang menolak dan mengancam main hakim sendiri. Sebagian besar film yang disajikan sama sekali tidak berkaitan dengan hal yang berbau erotis, tapi justru sarat dengan persoalan kemanusiaan.
Salah besar jika menganggap festival ini sejenis perhelatan yang ditujukan untuk mempengaruhi seseorang menjadi gay. Ini bukan pula festival yang hendak menyebarluaskan ide kenikmatan kaum homo. Bukan pula festival film propaganda. Tindakan Front Pembela Islam menggeruduk Q Film Festival jelas salah alamat. Polisi harus mencegah anarkisme para pengunjuk rasa yang menganggap diri mereka sebagai kurator moral itu.
Adalah hak setiap kelompok melakukan demonstrasi. Namun aksi demo yang disertai ancaman akan melakukan kekerasan dan pembakaran—karena menganggap festival ini bertentangan dengan agama—tak syak berbau kriminal. Sudah sembilan tahun Q Film Festival hadir di Jakarta. Festival ini menjadi bagian dari bianglala kehidupan urban Jakarta sekaligus sebagai aset penting agenda kesenian yang seharusnya menjadi kebanggaan Ibu Kota. Apalagi festival ini memiliki organisasi yang terbilang rapi dan berkembang mendapat tempat di masyarakat film internasional.
Tahun ini misinya apik. Mereka bekerja sama dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, menghadirkan film yang bernuansa sosial. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa orientasi festival ini bukanlah seks. Maka amat disesalkan jika dalam sebuah diskusi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik justru ikut memberi angin terhadap tindakan FPI. Demo FPI, kata dia, adalah ekses lantaran film yang ditayangkan dalam festival itu belum melalui penyaringan Lembaga Sensor Film. Ia pun—ini yang rada aneh—menyarankan agar festival diberhentikan sebelum mereka mengirimkan film-filmnya ke Lembaga Sensor.
Sudah benar keyakinan panitia Q Film Festival bahwa film yang akan mereka putar cukuplah diseleksi secara internal. Itu karena film yang mereka sajikan semuanya nonkomersial. Festival ini berbeda dengan Jakarta Film Festival (Jiffest), yang melakukan promosi besar-besaran di media dan menerima iklan dari perusahaan-perusahaan papan atas. Film Jiffest diputar di bioskop umum, sedangkan Q Film Festival hanya memutar film di beberapa pusat kebudayaan asing. Meski berbau asing dan terbilang festival kecil, negara seharusnya menjamin mereka tetap hidup.
Toh, Lembaga Sensor Film selama ini tidak mempersoalkan. Selama sembilan tahun lembaga ini sama sekali tak meminta pihak Q Film Festival menyerahkan filmnya. Dari segi kewenangan pun, jika sekiranya festival ini menyalahi prosedur, yang berhak menegur pertama-tama adalah lembaga sensor tadi. Logikanya, siapa pun yang berkeberatan dengan festival ini bisa mempersoalkannya melalui Lembaga Sensor Film. Bukan asal main hakim sendiri, main gebrak merobek-robek poster dan mengultimatum akan membubarkan acara jika tak dihentikan dalam waktu 1 x 24 jam.
Amatlah menggembirakan mendengar keberanian penyelenggara melanjutkan penayangan film menurut jadwal. Keputusan pusat kebudayaan asing seperti CCF dan Goethe untuk tetap menjadikan institusinya sebagai tempat pemutaran film patut diacungi jempol. Sebaliknya, tindakan sewenang-wenan yang dilakukan siapa pun, di ranah kebudayaan, haruslah dilawan. Aparat negara haruslah berada di garda terdepan mengamankan festival ini hingga usai. Mereka tak boleh gentar menghadapi ancaman anarkisme terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo