Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLISI seharusnya tak usah berdalih macam-macam ihwal pemeriksaan terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam kasus penghilangan ayat di Undang-Undang Kesehatan. Izin Presiden, seperti kata seorang pejabat Markas Besar Kepolisian RI, benar diperlukan. Tapi nada yang terdengar tak boleh mengesankan kelambanan dan tak ada kesungguhan untuk mengusut kasusnya.
Dilaporkan oleh Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok pada Maret lalu, tiga anggota Dewan dari Komisi Kesehatan dianggap paling bertanggung jawab atas lenyapnya ayat 2 pasal 113. Ayat yang mengelompokkan tembakau sebagai zat adiktif ini berimplikasi pada pengendalian terhadap peredaran dan penjualan tembakau. Dalam surat bertanggal 24 Agustus 2010, yang diterima pelapor, polisi jelas menyebut Ribka Tjiptaning, Ketua Komisi, dan Asiyah Salekan serta Maryani A. Baramuli, keduanya Wakil Ketua Komisi, sebagai tersangka.
NAmun simpang-siur terjadi. Merasa difitnah, Ribka berniat menggugat beberapa orang dari Koalisi. Dia juga sudah langsung meminta kejelasan statusnya, karena belum pernah dipanggil untuk dimintai keterangan, apalagi dijadikan tersangka. Dan memang polisi—inilah yang kemudian rada aneh—seolah tutup mata terhadap suratnya sendiri. Mereka membantah telah menetapkan Ribka sebagai tersangka.
Wajar bila kontradiksi itu menimbulkan kebingungan, juga syak wasangka. Kecurigaan sebelumnya, bahwa ada tangan kotor di lingkungan Dewan yang menyebabkan hilangnya ayat tembakau, justru bertambah kuat. Kecurigaan ini muncul dari fakta yang diperoleh Koalisi, yang mengisyaratkan adanya modus baru penyelewengan kekuasaan. Fakta itu adalah rendahnya transparansi dan lemahnya pengawasan publik terhadap proses pengesahan undang-undang, serta tiadanya mekanisme baku pengecekan pasal per pasal setelah sidang paripurna.
Bau amis tentang adanya anggota Dewan yang mengamputasi ayat dalam Undang-Undang Kesehatan yang disahkan pada September 2009 memang menyengat. Apalagi Sekretariat Negara mengaku menerima berkas yang isinya sudah tak lengkap dari Dewan. Dugaannya, pelaku memanfaatkan saat-saat terakhir sebelum berkas dikirim ke Sekretariat Negara—untuk ditandatangani Presiden dan dimuat dalam lembaran negara. Tindakan ini bukan mustahil dilakukan demi kepentingan pihak yang ”memesan”.
Bukan hal sulit menghubungkan kelakuan tak etis sekaligus kriminal itu dengan kepentingan industri tembakau, yang secara global kian sempit ruang geraknya. Mereka ini bisa wakil perusahaan rokok atau wakil petani tembakau, atau siapa saja yang akan dirugikan bila ayat tembakau berlaku.
Harus diakui, di dalam negeri pun industri tembakau menghadapi tekanan kian kuat dari gerakan antirokok. Berkat desakan ini, belakangan ada larangan merokok di tempat umum, pembatasan adegan merokok dalam film lokal, dan bahkan ikhtiar mengharamkan rokok. Sempat pula diajukan permohonan uji materi pasal 46 ayat 3 huruf c Undang-Undang Penyiaran, yang menjadi dasar penayangan iklan rokok di televisi—walau Mahkamah Konstitusi menolaknya.
Meski begitu, Indonesia, peringkat ketiga dunia dalam jumlah perokok, belum sepenuhnya menjadi negara yang keras mengatur tembakau. Bisa dipahami bila dalam situasi masih ”terbuka” itu, aspirasi agar ayat tembakau dihapuskan juga kuat didesakkan. Kenyataannya, aspirasi ini muncul bukan saja dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan di Panitia Khusus Dewan yang dipimpin Ribka, melainkan, seperti dikemukakan Umar Wahid, anggota Komisi Kesehatan, juga saat-saat sesudahnya.
Aspirasi susulan itu memang dikatakan telah diabaikan. Walau demikian, terungkapnya ayat yang hilang mengindikasikan hal sebaliknyalah yang terjadi: bahwa ada yang nekat menempuh jalan ”belakang” untuk mencapai tujuannya.
Tindakan itu bisa saja dilakukan semata karena hendak membela petani atau konstituen. Dengan kata lain, tak ada motif ingin mengisi pundi-pundi pribadi dengan uang imbalan. Masalahnya, untuk tujuan apa pun, sang pelaku sesungguhnya telah menyabot proses ketatanegaraan, dengan mengabaikan keputusan panitia khusus dan wewenang sidang paripurna—di samping mencampakkan integritasnya sendiri. Dia atau mereka justru mengkhianati kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Demi terungkapnya skandal itu, dan memenjarakan pelakunya bila ada unsur pidana, proses hukum wajib dijalankan dengan tegas dan selekasnya. Bahwa sudah ada penjelasan dari sejumlah pihak dalam tudingan kepada Badan Kehormatan Dewan, juga pengembalian ayat yang hilang, tidaklah cukup. Polisi wajib sigap dan bertindak cepat. Publik tak boleh dibiarkan menunggu terlalu lama dan tanpa kepastian pula apakah proses hukum itu akan ada ujungnya atau menguap belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo