Ada yang perlu menjadi pelajaran bagi kita semua dalam kasus Arthaloka (TEMPO, 10 Januari, Hukum). Yakni bank atau perusahaan negara, sekalipun modalnya berasal dari negara, sekali-kali bukanlah merupakan atau berubah statusnya menjadi badan tata usaha negara, yang sehari-hari dikenal dengan sebutan instansi pemerintah, yaitu suatu badan berdasarkan hukum publik. Ini sering terjadi akhirnya, menjadi salah kaprah. Suatu bank milik pemerintah, misalnya, yang menyerahkan piutangnya yang macet kepada badan piutang negara, hampir selalu merasa dirinya menjadi badan hukum publik. Ini akibat bunyi pasal 8 ayat (1) huruf b dari Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep. 271/MK/7/4/1971 tanggal 26 April 1971 yang berbunyi, "Dengan penyerahan pengurusan tersebut, penyerah piutang melepaskan hak-hak yang terkandung di dalamnya terhadap penanggung hutang." Kata-kata "hak-hak" itu sering disalahartikan sampai juga meliputi kewajiban-kewajibannya. Sehingga, selaku kuasa dan penanggung utang - sebagaimana selalu dapat dibaca dengan gamblang pada perjanjian kredit - bank milik negara ini jarang sekali mau mengurus dan membuat pertanggungjawaban, misalnya, mengenai barang-barang milik penanggung utang, yang dijaminkan dan, kemudian, di jual lelang. Jadi, kewajiban dalam pasal 1800 s/d pasal 1806 KUH Perdata dianggap sepi. Sebab, sudah merasa dirinya bukan badan hukum keperdataan lagi, yang tunduk antara lain, kepada KUH Perdata. Padahal, jika dibaca pasal 1 ayat 3 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2865, 2870, 2871, 2872, 2873, 2874, dan 2875, semua bank milik negara RI, badan hukum keperdataan murni. Lebih memprihatinkan lagi, kalau pelelangan atas barang (termasuk tanah dan rumah) milik penanggung utang yang tak dapat membayar lunas utangnya dilakukan dengan cara "diatur". Jika dalam Peraturan Lelang (Vendu Reglement) Stbl. 1908 Nomor 189 pasal 42 ayat (1) ditetapkan bahwa semua pihak yang berkepentingan dapat memperoleh turunan otentik Berita Acara Pelelangan. Namun, biasanya, kalau penanggung utang - yang juga pemilik barang yang meminta, selalu ditolak dengan dalih: hanya penjual (Departemen Keuangan c.q. BUPN) dan pembeli saja yang berhak mendapatkannya. Ini benar-benar tak adil dan tak dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, dari redaksi ayat (2), (3), dan(4) pasal 42 Peraturan Lelang, dengan tegas diketahui bahwa yang berhak mendapatkan turunan otentik tersebut bukan hanya penjual dan pembeli saja. JOEWONO, S.H. Jalan Prof. Supomo 52 Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini