Beberapa ibu menganggap hukuman yang dijatuhkan pada para pelaku kasus Tanjungpriok terlalu berat. Itu jika dibandingkan dengan putusan perkara "Malari". Padahal, peristiwa terakhir itu, kata mereka, justru menimbulkan aksi massa yang meluas (TEMPO 17 Januari, Kontak Pembaca). Sekadar perbandingan, saya ingin mengemukakan fakta sejarah, yakni hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku "Peristiwa 3 Juli 1946" - peristiwa penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Di pengadilan, para pelaku peristiwa ini dinyatakan bersalah melakukan kejahatan percobaan merobohkan pemerintah yang sah. Namun, hukumannya, boleh dikatakan, cukup empuk. Tanpa bermaksud mengurangi penghormatan kita kepada nama-nama berikut ini, dapat dikemukakan bahwa putusan yang diucapkan Mahkamah Tentara Agung Rl di Yogyakarta pada 27 Mei 1948 berupa hukuman pokok pidana penjara. Mereka itu: Mayjen R.P. Sudarsono (dihukum 4 tahun), Mr. Moh. Yamin (4 tahun), Mr. Achmad Subardjo (3 tahun), Mr. Iwa Kusumasumantri (3 tahun), Mr. Sundoro Budhyarto Martoatmodjo (2 tahun 6 bulan), Dr. R. Buntaran Martoatmodjo (2 tahun), R. Muhamad Saleh (2 tahun 6 bulan). Semuanya dipotong masa tahanan. Yang belum dijatuhi hukuman - karena belum tertangkap - Chaerul Saleh. Juga ada yang dibebaskan dari segala tuntutan. Mereka: Mochamad Ibnu Sajuti (Sajuti Melik), Pandu Kartawiguna, Surip Suprapto, Sumantoro, Raden Djojopranoto alias Darman, Raden Pandji Supadmo Suryodiningrat, Marlan, Adam Malik, dan Ibnu Parna. Tak jelas mengapa hukuman pidana waktu itu, pada saat negara kita menghadapi musuh, begitu "murah". Mungkinkah karena situasi 1980-an ini dianggap lebih gawat dari 1946-an, atau para pelaku kasus "3 Juli 1946" dianggap kurang berbahaya dibandingkan dengan pelaku kasus "Tanjungpriok"? Atau para hakim yang memeriksa perkara percobaan merobohkan pemerintah yang sah di saat-saat Perang Kemerdekaan itu dianggap kalah pandai dibandingkan dengan teman sejawatnya pada 1960-an? Kemungkinan selalu ada. Tapi, kalau dilihat bahwa yang memeriksa perkara di 1948 itu Mr. Dr. Kusumaatmadja (ketua), Mr. Wirjono Prodjodikoro, Letjen Sukono Djojo Pratiknjo, Mayjen Sukarnen Martodikusumo, dan Mayjen Didi Kartasasmita, anggapan tersebut tentu keliru. JOEWONO, S.H. Jalan Prof. Supomo 52 Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini