Bagaimana kita melihat mutasi di TNI yang melibatkan 74 personel baru-baru ini? Tentu saja, sangat klise kalau alasan mutasi itu sekadar untuk penyegaran personel. Atau alasan basa-basi sebagai sesuatu yang biasa, pergeseran secara berkala. Pasti, di setiap pergantian, apalagi melibatkan begitu banyak perwira dan pos strategis, ada unsur politisnya. Sejumlah pengamat sudah berbicara gamblang soal itu, dari sudut pandangnya masing-masing.
Kesan positif yang muncul, mutasi besar-besaran itu untuk memberi dukungan pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Dalam bahasa lain, mutasi itu menunjukkan bahwa TNI tanggap terhadap isu untuk mereformasi dirinya. Orang melihat dari siapa yang dipromosikan, misalnya terdapat Mayjen Agus Wirahadikusumah, yang akan memegang jabatan Pangkostrad, menggantikan Letjen Djaja Suparman. Adalah Agus yang melontarkan ide tentang penciutan kodam dan pembubaran bintara pembina desa (babinsa) dan koramil, yang selama ini lebih banyak menakut-nakuti rakyat ketimbang memberi perlindungan dan rasa aman.
Jika memang betul terjadi, tentulah itu langkah yang bagus. Itu berarti TNI mendorong pemerintahan sipil dan berada dalam jalur yang sama untuk mewujudkan masyarakat madani. Apalagi kalau dikaitkan dengan ucapan Panglima TNI Laksamana Widodo, yang menyatakan TNI (dan mudah-mudahan juga Polri) meninggalkan kursinya di DPR pada tahun 2004.
Bagaimana kalau yang terjadi justru bukan itu? Tetapi suatu mutasi yang sebagaimana di masa-masa lalu—walau tetap dikemas dengan slogan mutasi yang biasa-biasa—yang oleh para pengamat disebut: ganti pimpinan, ganti gerbong. Ini tentu menyedihkan karena menjadi pertanda bahwa di tubuh TNI masalah faksi masih tetap mengganjal. Keberadaan faksi ini, yang sering dibantah dengan berbagai pernyataan, sebetulnya sudah terlihat sejak dulu. Dalam keadaan faksi sangat menonjol, jika terjadi pergantian panglima, berubah pulalah seluruh rangkaian gerbong. Pengamat politik Riswandha Imawan menyebut budaya tak baik ini sebagai budaya ''tumpes kelor". Panglima yang baru selalu membabat habis ''orang-orang lama", jika panglima baru berbeda faksi dengan yang lama.
Asal-muasal faksi bisa karena fanatisme angkatan atau kelompok-kelompok diskusi yang terjadi di kalangan perwira TNI. Atau, faksi terjadi karena imbas dari kalangan sipil, yang kemudian menyeret kelompok-kelompok TNI itu mengikuti dunia politik di luar TNI. Dwifungsi TNI, yang di masa lalu sangat diagung-agungkan, pada akhirnya memang merusak tatanan organisasi TNI. Dengan berpolitik, mau tak mau TNI ikut dalam arus politik, yang memang penuh faksi.
Munculnya perwira profesional yang (kabarnya) mengakhiri ''permainan politik" di TNI diharapkan bisa menghilangkan faksi-faksi ini di kemudian hari. Sehingga, kita tak lagi mendengar ada ''orangnya Benny", ada ''orangnya Wiranto", dan sebagainya. Yang ada adalah TNI yang loyal pada siapa pun kelompok politik yang memerintah negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini