Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bung Hatta & Soal Besar Yang Masih...

Bung hatta diangkat sebagai ketua kehormatan pada ikatan sarjana ekonomi indonesia. tidak selalu setuju terhadap pekerjaan para sarjana ekonomi indonesia. kesejahteraan rakyat yang merata belum tercapai.

22 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HATTA adalah Hatinurani Nasional kita", begitulah judul karangan tangan saya di Kompas pada tanggal 14 Agustus 1972. ketika ikut memperingati hari ulang tahun ke-70 Bung Hatta. Saya kenangkan dekatnya Bung Hatta pada Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, yang mengangkatnya sebagai Ketua Kehormatan, dan yang selalu ia hadiri kongres-kongresnya atau rapat tahunannya. Saya juga sebut kenyataan bahwa "Bung Hatta tidak selalu setuju dengan apa yang sekarang dikerjakan oleh para sarjana ekonomi pemerintah. Akan tetapi saya sangat hargai kebesaran hati Bung Hatta untuk tidak mempertengkarkan issue-issue ini. Saya kira Bung Hatta mengerti tiap generasi mempunyai penilaian sendiri. Pasti Bung Hatta masih percaya kepada generasi-generasi sarjana yang lebih muda, dan pasti semua sarjana-sarjana ekonomi yang lebih muda juga menghargai dan mencintai Bung Hatta sebagai sesepuhnya." Kalau saya baca kembali apa yang saya tulis hampir delapan tahun yang lalu (masih dalam ejaan lama), maka pada waktu ini saya merasa segan untuk mengeluarkan pernyataan sesuatu. Apa yang harus dikata? Issue-issue yang saya singgung dahulu itu sekarang pun masih hidup. Misalnya, saya tulis: "Mungkin ada beberapa golongan yang meragukan apakah pemerintah sekarang, dan lebih-lebih sarjana ekonominya yang menduduki fungsi-fungsi yang penting, masih setia kepada asas-asas UUD 1945 itu. Maklumlah, yang dilihat orang adalah menonjolnya peranan modal asing, sedangkan golongan pribumi, yang ekonomis lemah, tidak mendapat lindungan yang cukup dalam pertarungan dan persaingan di pasar bebas kedudukan koperasi yang mundur, pengangguran yang kelihatan menambah, dan sebagainya." Waktu Yang saya minta pada waktu itu adalah waktu. Pemerintah Orde Baru mau bertindak dan berjalan secara "pragmatis", dengan mengutamakan keperluan-keperluan yang memang harus didahulukan. Ekonomi yang banyak rusak atau mundur dalam zaman yang lalu harus dibangun kembali, direhabilitasikan. Untuk ini diperlukan banyak dana, yang sementata belum dapat diperoleh dari sumber-sumber dalam negeri. Maka dalam masa pertama itu bagi pemerintah Orde Baru tak banyak pilihan selain berusaha menggiatkan penanaman modal swasta, yang mula-mula diharapkan datang dari luar sebagai perintis, dan yang nanti daa diharapkan diikuti oleh modal dalam negeri. Siasat ini ternyata cukup berhasil, walaupun sekarang ada celaan bahwa para penanam modal ini kurang bersifat "pribumi", sehingga pengaruhnya terhadap pembentukan "ekonomi nasional" diragukan. Pemerintah sendiri banyak berusaha untuk memperoleh bantuan dari negeri asing yang bersahabat. Usaha ini pun berhasil. Sebagian besar dana ini secara utama ditujukan kepada rehabilitasi infra-struktur dan sesudah itu juga kepada perluasannya. Sektor pertanian diberi prioritas tinggi dan infrastruktur yang dianggap penting adalah yang mendukung sektor pertanian ini. Pertumbuhan di sektor pertanian selama dua Repelita juga berjalan cukup memuaskan. Kenaikan produksi selalu lebih besar daripada kenaikan jumlah penduduk. Tetapi, tingkat konsumsi bahan makanan per kapita rupanya meningkat lebih tinggi daripada kenaikan produksi ini, sehingga defisit bahan makanan tidak berkurang, malahan bertambah. Ini sekarang dipandang oleh beberapa kalangan sebagai kegagalan. Tetapi, untuk mencapai kenaikan produksi terus-menerus dan secara rata-rata 5% setahun, memang sangat sulit untuk negara berkembang. Korea Selatan pun hanya mencapai tin8kat kenaikan produksi pangan kira-kila 4% setahun. Kita telah mencapai sedikit kurang dari 4% setahun, yang sebetulnya cukup baik, tetapi belum cukup. Rupanya, masalah sosial yang besar dalam proses pembangunan ekonomi, seperti masalah kesempatan kerja, masalah transmigrasi, masalah perkoperasian, masalah usaha asing, "non-pri" dan "pribumi", masalah pelaksanaan UUD 1945 terutama pasal 33, dan sebagainya, semuanya itu sudah disadari oleh umum delapan tahun yang lalu dan sudah mulai jadi sumber keresahan sosial. Pemerintah senantiasa minta waktu untuk menyusun kekuatan ekonomi. Perkiraannya adalah bahwa setiap persoalan ekonomi memerlukan kekuatan eko nomi, memerlukan resources, untuk menyelesaikannya secara efektif. Apa Lagi? Sekarang tahun 1980, dan Indonesia sesudah tahun 1972 itu sudah mengalami boom minyak dua kali. GDP dan jumlah ekspor sudah naik secara mengesankan. Maka kekuatan ekonomi itu sudah ada pada kita. Stabilitas juga sudah cukup lama terjamin. Maka sasaran besar sosial-ekonomi yang dari dahulu menuntut penyelesaian harus ditanggapi secara sungguh-sungguh. Sebetulnya, secara idiil dan secara operasional semua ini sudah ditanggapi. Garis Besar Haluan Negara sudah menentukan tujuan-tujuan pemerataan itu. Secara operasional program-program untuk mencapai sasaran-sasaran ini sudah dimasukkan dalam Repelita III. Aparatur pemerintah sudah ditatar secara idiil agar tujuan GBHN dan Repelita III ini sungguh-sungguh dimengerti dan dilaksanakan secara efektif, dengan dedikasi, dan secara yang bersih. Pada akhir jabatannya presiden harus memberi pertanggunganjawab sampai berapa jauh mandatnya dilaksanakan secara berhasil. Maka apa yang mau dituntut lagi? Tidak dapat disangkal juga bahwa di setengah kalangan masyarakat tetap ada keresahan, kegelisahan dan kesangsian. Apakah betul kita melangkah ke jurusan yang benar? Apakah caranya sudah benar? Apakah pola-pola pelaksanaannya sudah wajar? Selama delapan tahun sejak Bung Hatta mencapai usia 70 tahun orang merasa bahwa kesejahteraan rakyat yang merata belum menjadi kenyataan, bahwa ekonomi kurang bersifat "nasional", atau kurang "berdikari". Walaupun tidak dapat disangkal bahwa ekonomi negara maju, namun ekonomi "rakyat" masih disangsikan kemajuannya. Pemerintah tetap minta waktu, oleh karena kemiskinan tidak dapat dihapuskan dalam dua ataupun tiga Repelita. Pragmatisme pemerintah cenderung berpedoman: kita berbuat dulu, kita nlaju dulu, nanti kalau ada yang bengkok kita akan luruskan. Setelah ada pertumbuhan ekonomi, masalah pembagiannya lebih gampang. Kalau tidak ada pertumbuhan ekonomi maka apa yang mau dibagi, kemiskinan? Sebaliknya, para pengritik pemerintah sekarang suka menuntut: jangan utamakan pertumbuhan ekonomi, melainkan pemerataan. Kalau pemerataan terjamin, pasti pertumbuhan ekonomi juga akan datang berbarengan dan akar dari pertumbuhan ini akan lebih sehat karena bersumber pada produktivitas rakyat dan bukan semata-mata pada produktivitas perusahaan besar, asing dan "non-pribumi." Para sarjana ekonomi Indonesia ingin percaya bahwa pertumbuhan ekonomi yang berakar pada produktivitas rakyat banyak, di pertanian dan pedesaan, adalah lebih baik dan lebih sehat, daripada mengandalkan pada pertumbuhan sektor modern saja. Soalnya adalah: bagaimana mengaturnya dan menyebabkannya? Kritik sosial dewasa ini suka mengutarakan bahwa selama sepuluh tahun lebih kebijaksanaan ekonomi pemerintah Indonesia terlalu berpusat kepada menggairahkan sektor modern, baik secara langsung dengan segala sistem insentif untuk menarik penanaman modal (besar, asing, "nonpri", dan tidak langsung dengan perbaikan infra-struktur seperti perhubungan, telekomunikasi, listrik dan sebagainya. Sebetulnya pemerintah juga banyak memperhatikan perkembangan di sektor pertanian dan pedesaan. Ini diakui. Tetapi beberapa kebijaksanaannya dipersoalkan tepatnya. Harga bahah makanan masih kurang menguntungkan para petani, walaupun pemerintah selalu berusaha mensubsidi harga pupuknya. Perkembangan koperasi masih terlalu banyak dikomandokan dari atas, dan kurang didasarkan kepada perkembangan-perkembangan initiatif dan swadaya dari bawah. Koperasi hanya menjadi unsur dalam sistem mobilisasi dan sistem logistik. Terhadap kritik ini pemerintah mungkin dapat mengembalikan pertanyaan: mengapa di bidang-bidang lain di mana koperasi bisa berkembang bebas juga tidak tampak pertumbuhan yang lebih mengesankan? Sistem di Luar Ekonomi Sektor modern hidup dan berkembang menurut hukum-hukum yang menguasai pasar bebas yang berdasarkan kapitalisme (keuntungan menjadi daya dorongnya). Sebaliknya, nasib ekonomi sebagian besar rakyat kita yang hidup di pedesaan kurang bisa menyesuaikan diri dengan kaidah pasar bebas ini. Dalam persaingan dengan unsur-unsur yang lebih berjiwa kapitalis, mereka ini selalu kalah. Maka bagaimana melindungi rakyat banyak ini dalam pertarungan hidupnya? Sebetulnya pemerintah sudah membantu rakyat kecil ini secara langsung, untuk memperbaiki perekonomiannya. Berbagai INPRES adalah pelaksanaannya. Uang anggaran belanja yang ditujukan kepada pengembangan pertanian juga amat banyaknya. Tetapi, walaupun sektor pertanian sudah banyak dibantu dengan dana pemerintah, persoalan berikutnya adalah siapa yang akhirnya menikmati hasil bantuan itu. Semua rakyatkah atau yang memiliki tanah dan benda lain saja? Target-group dari penerima hasil harus juga diutamakan, dan kebijaksanaan serta program lain yang melengkapi harus diadakan untuk mengamankan ini. Seorang sarjana ekonomi yang terkemuka, tetapi yang suka mengritik pemerintah, berpendapat bahwa jumlah dana yang dikeluarkan pemerintah untuk pembangunan desa masih kurang sekali. Ia ingin melihat Rp 5 trilyun dipakai untuk keperluan ini. Seorang sarjana ekonomi pemerintah yang lain menyeletuk: "Kemampuan untuk mempergunakan jumlah dana yang begitu besar secara efektif mungkin belum ada. Kurang personal yang trampil dan ahli." Yang lalu dijawab lagi: "Kemampuan absorptip ini tergantung dari pola politik dan sosial. Kalau polanya lebih demokratis, lebih mengandalkan semangat, daya kreasi dan inisiatif dari bawah, maka sumber tenaganya akan lebih besar, daripada kalau terbatas pada mobilisasi tenaga-tenaga dari hirarki yang serba resmi." Maka pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan sebagainya, akhirnya dikaitkan kepada sistem lain daripada melulu sistem ekonomi. Para sarjana ekonomi pada umumnya tidak menolak segala tinjauan sosial ini. Mereka pun ingin tetap berjasa untuk menyelesaikan soal besar sosial-ekonomi negaranya. Setelah membantu merumuskan kebijaksanaan ekonomi yang cukup berhasil untuk keperluan rehabilitasi dan pembangunan pertama ekonomi negaranya, mereka pun ingin berjasa untuk mencapai sasaran pemerataan. Tetapi mereka masih mencari-cari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus