HATTA adalah Hatinurani Nasional kita", begitulah judul karangan
tangan saya di Kompas pada tanggal 14 Agustus 1972. ketika ikut
memperingati hari ulang tahun ke-70 Bung Hatta. Saya kenangkan
dekatnya Bung Hatta pada Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, yang
mengangkatnya sebagai Ketua Kehormatan, dan yang selalu ia
hadiri kongres-kongresnya atau rapat tahunannya.
Saya juga sebut kenyataan bahwa "Bung Hatta tidak selalu setuju
dengan apa yang sekarang dikerjakan oleh para sarjana ekonomi
pemerintah. Akan tetapi saya sangat hargai kebesaran hati Bung
Hatta untuk tidak mempertengkarkan issue-issue ini. Saya kira
Bung Hatta mengerti tiap generasi mempunyai penilaian sendiri.
Pasti Bung Hatta masih percaya kepada generasi-generasi sarjana
yang lebih muda, dan pasti semua sarjana-sarjana ekonomi yang
lebih muda juga menghargai dan mencintai Bung Hatta sebagai
sesepuhnya."
Kalau saya baca kembali apa yang saya tulis hampir delapan tahun
yang lalu (masih dalam ejaan lama), maka pada waktu ini saya
merasa segan untuk mengeluarkan pernyataan sesuatu. Apa yang
harus dikata?
Issue-issue yang saya singgung dahulu itu sekarang pun masih
hidup. Misalnya, saya tulis: "Mungkin ada beberapa golongan yang
meragukan apakah pemerintah sekarang, dan lebih-lebih sarjana
ekonominya yang menduduki fungsi-fungsi yang penting, masih
setia kepada asas-asas UUD 1945 itu. Maklumlah, yang dilihat
orang adalah menonjolnya peranan modal asing, sedangkan golongan
pribumi, yang ekonomis lemah, tidak mendapat lindungan yang
cukup dalam pertarungan dan persaingan di pasar bebas kedudukan
koperasi yang mundur, pengangguran yang kelihatan menambah, dan
sebagainya."
Waktu
Yang saya minta pada waktu itu adalah waktu. Pemerintah Orde
Baru mau bertindak dan berjalan secara "pragmatis", dengan
mengutamakan keperluan-keperluan yang memang harus didahulukan.
Ekonomi yang banyak rusak atau mundur dalam zaman yang lalu
harus dibangun kembali, direhabilitasikan. Untuk ini diperlukan
banyak dana, yang sementata belum dapat diperoleh dari
sumber-sumber dalam negeri.
Maka dalam masa pertama itu bagi pemerintah Orde Baru tak banyak
pilihan selain berusaha menggiatkan penanaman modal swasta, yang
mula-mula diharapkan datang dari luar sebagai perintis, dan yang
nanti daa diharapkan diikuti oleh modal dalam negeri. Siasat
ini ternyata cukup berhasil, walaupun sekarang ada celaan bahwa
para penanam modal ini kurang bersifat "pribumi", sehingga
pengaruhnya terhadap pembentukan "ekonomi nasional" diragukan.
Pemerintah sendiri banyak berusaha untuk memperoleh bantuan dari
negeri asing yang bersahabat. Usaha ini pun berhasil. Sebagian
besar dana ini secara utama ditujukan kepada rehabilitasi
infra-struktur dan sesudah itu juga kepada perluasannya. Sektor
pertanian diberi prioritas tinggi dan infrastruktur yang
dianggap penting adalah yang mendukung sektor pertanian ini.
Pertumbuhan di sektor pertanian selama dua Repelita juga
berjalan cukup memuaskan. Kenaikan produksi selalu lebih besar
daripada kenaikan jumlah penduduk.
Tetapi, tingkat konsumsi bahan makanan per kapita rupanya
meningkat lebih tinggi daripada kenaikan produksi ini, sehingga
defisit bahan makanan tidak berkurang, malahan bertambah. Ini
sekarang dipandang oleh beberapa kalangan sebagai kegagalan.
Tetapi, untuk mencapai kenaikan produksi terus-menerus dan
secara rata-rata 5% setahun, memang sangat sulit untuk negara
berkembang. Korea Selatan pun hanya mencapai tin8kat kenaikan
produksi pangan kira-kila 4% setahun. Kita telah mencapai
sedikit kurang dari 4% setahun, yang sebetulnya cukup baik,
tetapi belum cukup.
Rupanya, masalah sosial yang besar dalam proses pembangunan
ekonomi, seperti masalah kesempatan kerja, masalah transmigrasi,
masalah perkoperasian, masalah usaha asing, "non-pri" dan
"pribumi", masalah pelaksanaan UUD 1945 terutama pasal 33, dan
sebagainya, semuanya itu sudah disadari oleh umum delapan tahun
yang lalu dan sudah mulai jadi sumber keresahan sosial.
Pemerintah senantiasa minta waktu untuk menyusun kekuatan
ekonomi. Perkiraannya adalah bahwa setiap persoalan ekonomi
memerlukan kekuatan eko nomi, memerlukan resources, untuk
menyelesaikannya secara efektif.
Apa Lagi?
Sekarang tahun 1980, dan Indonesia sesudah tahun 1972 itu sudah
mengalami boom minyak dua kali. GDP dan jumlah ekspor sudah naik
secara mengesankan. Maka kekuatan ekonomi itu sudah ada pada
kita. Stabilitas juga sudah cukup lama terjamin. Maka sasaran
besar sosial-ekonomi yang dari dahulu menuntut penyelesaian
harus ditanggapi secara sungguh-sungguh.
Sebetulnya, secara idiil dan secara operasional semua ini sudah
ditanggapi. Garis Besar Haluan Negara sudah menentukan
tujuan-tujuan pemerataan itu. Secara operasional program-program
untuk mencapai sasaran-sasaran ini sudah dimasukkan dalam
Repelita III. Aparatur pemerintah sudah ditatar secara idiil
agar tujuan GBHN dan Repelita III ini sungguh-sungguh
dimengerti dan dilaksanakan secara efektif, dengan dedikasi, dan
secara yang bersih. Pada akhir jabatannya presiden harus
memberi pertanggunganjawab sampai berapa jauh mandatnya
dilaksanakan secara berhasil. Maka apa yang mau dituntut lagi?
Tidak dapat disangkal juga bahwa di setengah kalangan masyarakat
tetap ada keresahan, kegelisahan dan kesangsian. Apakah betul
kita melangkah ke jurusan yang benar? Apakah caranya sudah
benar? Apakah pola-pola pelaksanaannya sudah wajar? Selama
delapan tahun sejak Bung Hatta mencapai usia 70 tahun orang
merasa bahwa kesejahteraan rakyat yang merata belum menjadi
kenyataan, bahwa ekonomi kurang bersifat "nasional", atau kurang
"berdikari". Walaupun tidak dapat disangkal bahwa ekonomi negara
maju, namun ekonomi "rakyat" masih disangsikan kemajuannya.
Pemerintah tetap minta waktu, oleh karena kemiskinan tidak dapat
dihapuskan dalam dua ataupun tiga Repelita. Pragmatisme
pemerintah cenderung berpedoman: kita berbuat dulu, kita nlaju
dulu, nanti kalau ada yang bengkok kita akan luruskan. Setelah
ada pertumbuhan ekonomi, masalah pembagiannya lebih gampang.
Kalau tidak ada pertumbuhan ekonomi maka apa yang mau dibagi,
kemiskinan?
Sebaliknya, para pengritik pemerintah sekarang suka menuntut:
jangan utamakan pertumbuhan ekonomi, melainkan pemerataan. Kalau
pemerataan terjamin, pasti pertumbuhan ekonomi juga akan datang
berbarengan dan akar dari pertumbuhan ini akan lebih sehat
karena bersumber pada produktivitas rakyat dan bukan semata-mata
pada produktivitas perusahaan besar, asing dan "non-pribumi."
Para sarjana ekonomi Indonesia ingin percaya bahwa pertumbuhan
ekonomi yang berakar pada produktivitas rakyat banyak, di
pertanian dan pedesaan, adalah lebih baik dan lebih sehat,
daripada mengandalkan pada pertumbuhan sektor modern saja.
Soalnya adalah: bagaimana mengaturnya dan menyebabkannya?
Kritik sosial dewasa ini suka mengutarakan bahwa selama sepuluh
tahun lebih kebijaksanaan ekonomi pemerintah Indonesia terlalu
berpusat kepada menggairahkan sektor modern, baik secara
langsung dengan segala sistem insentif untuk menarik penanaman
modal (besar, asing, "nonpri", dan tidak langsung dengan
perbaikan infra-struktur seperti perhubungan, telekomunikasi,
listrik dan sebagainya.
Sebetulnya pemerintah juga banyak memperhatikan perkembangan di
sektor pertanian dan pedesaan. Ini diakui. Tetapi beberapa
kebijaksanaannya dipersoalkan tepatnya. Harga bahah makanan
masih kurang menguntungkan para petani, walaupun pemerintah
selalu berusaha mensubsidi harga pupuknya. Perkembangan koperasi
masih terlalu banyak dikomandokan dari atas, dan kurang
didasarkan kepada perkembangan-perkembangan initiatif dan
swadaya dari bawah. Koperasi hanya menjadi unsur dalam sistem
mobilisasi dan sistem logistik. Terhadap kritik ini pemerintah
mungkin dapat mengembalikan pertanyaan: mengapa di bidang-bidang
lain di mana koperasi bisa berkembang bebas juga tidak tampak
pertumbuhan yang lebih mengesankan?
Sistem di Luar Ekonomi
Sektor modern hidup dan berkembang menurut hukum-hukum yang
menguasai pasar bebas yang berdasarkan kapitalisme (keuntungan
menjadi daya dorongnya). Sebaliknya, nasib ekonomi sebagian
besar rakyat kita yang hidup di pedesaan kurang bisa
menyesuaikan diri dengan kaidah pasar bebas ini. Dalam
persaingan dengan unsur-unsur yang lebih berjiwa kapitalis,
mereka ini selalu kalah. Maka bagaimana melindungi rakyat banyak
ini dalam pertarungan hidupnya?
Sebetulnya pemerintah sudah membantu rakyat kecil ini secara
langsung, untuk memperbaiki perekonomiannya. Berbagai INPRES
adalah pelaksanaannya. Uang anggaran belanja yang ditujukan
kepada pengembangan pertanian juga amat banyaknya. Tetapi,
walaupun sektor pertanian sudah banyak dibantu dengan dana
pemerintah, persoalan berikutnya adalah siapa yang akhirnya
menikmati hasil bantuan itu. Semua rakyatkah atau yang memiliki
tanah dan benda lain saja? Target-group dari penerima hasil
harus juga diutamakan, dan kebijaksanaan serta program lain yang
melengkapi harus diadakan untuk mengamankan ini.
Seorang sarjana ekonomi yang terkemuka, tetapi yang suka
mengritik pemerintah, berpendapat bahwa jumlah dana yang
dikeluarkan pemerintah untuk pembangunan desa masih kurang
sekali. Ia ingin melihat Rp 5 trilyun dipakai untuk keperluan
ini. Seorang sarjana ekonomi pemerintah yang lain menyeletuk:
"Kemampuan untuk mempergunakan jumlah dana yang begitu besar
secara efektif mungkin belum ada. Kurang personal yang trampil
dan ahli." Yang lalu dijawab lagi: "Kemampuan absorptip ini
tergantung dari pola politik dan sosial. Kalau polanya lebih
demokratis, lebih mengandalkan semangat, daya kreasi dan
inisiatif dari bawah, maka sumber tenaganya akan lebih besar,
daripada kalau terbatas pada mobilisasi tenaga-tenaga dari
hirarki yang serba resmi."
Maka pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan sebagainya,
akhirnya dikaitkan kepada sistem lain daripada melulu sistem
ekonomi. Para sarjana ekonomi pada umumnya tidak menolak segala
tinjauan sosial ini. Mereka pun ingin tetap berjasa untuk
menyelesaikan soal besar sosial-ekonomi negaranya. Setelah
membantu merumuskan kebijaksanaan ekonomi yang cukup berhasil
untuk keperluan rehabilitasi dan pembangunan pertama ekonomi
negaranya, mereka pun ingin berjasa untuk mencapai sasaran
pemerataan. Tetapi mereka masih mencari-cari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini