BARANGKALI fatwa resmi mengenai halalnya bunga bank, sekalipun oleh MUI, NU, atau Muhammadiyah, malah akan memancing kontroversi. Nyatanya, umat Islam umumnya, termasuk para ulamanya, telah menyimpan uangnya di bank atau mendapatkan kredit, kesemuanya mengandung unsur bunga. Mungkin mereka telah membayar atau menerima bunga uang, atas dasar hukum "halal dalam keadaan darurat", yany merupakan pendapat umum di kalangan ulama berpandangan "maju" dewasa ini. Tapi banyak pula yang sebenarnya telah merasa yakin bahwa bunga bank itu halal adanya, berdasarkan pendapat ulama terkenal seperti A. Hassan, Pemimpin Perguruan Persia, Bangil (dan guru tokoh Masyumi M. Natsir) atau ulama Minang, Syaikh Abdullah Ahmad. Golongan terpelajarnya mungkin mengikuti pendapat tokoh-tokoh berwibawa seperti Mohammad Hatta, Syafrudin Prawiranegara, atau Kasman Singodimedjo. Karena itu, tanpa didahului oleh fatwa, Muhammadiyah sudah memutuskan untuk mendirikan 200 BPR, dan NU menyusul dengan impiannya akan membiakkan 20.000 BPR dalam 20 tahun mendatang. Argumentasi sebelum Fatwa Tentu masih ada juga sebagian umat yang berpendapat bahwa bunga bank itu adalah riba dan riba itu haram hukumnya, walaupun mungkin punya deposito di bank. Segolongan intelektual dan kaum profesional yang sependapat lalu memberikan model bank alternatif yang disebut mereka "bank non-ribawi" yang menerapkan prinsip loss and profit sharing sebagai model lembaga keuangan yang sesuai dengan Islam. Adanya kelompok di atas agaknya menimbulkan tuntutan pertanggungjawaban, baik berdasarkan kaidah hukum fikih mau- pun argumentasi ilmiah atas pandangan bahwa bunga bank itu halal. Karena itu, menjelang dikeluarkannya suatu fatwa, perbincangan terbuka mengenai soal ini perlu dilakukan. Pendekatan Baru Sering dikatakan oleh para ulama serta intelektual muslim, bahwa hukum Islam itu sifatnya lentur dan selalu bisa menyesuaikan diri karena perubahan zaman, tanpa mengubah esensinya yang bersifat adil. Kini tafsir dan pengertian mengenai riba bisa pula berubah. Dulu, soal ini dilihat dalam konteks sosial. Kini, definisi riba dan bunga perlu pula dilihat dari sudut ekonomi. Ustad A. Hassan mengatakan bahwa yang dilarang itu adalah bunga atau riba yang berlipat ganda. Karena itu, riba yang haram itu masih tetap ada, yaitu kredit yang dijalankan oleh pembunga uang dalam sistem mindering atau sistem ijon yang mencekik itu. Kalau tingkat bunga itu diumumkan dan diterima oleh yang melakukan transaksi secara sukarela, artinya tingkat bunga itu wajar, kata Ustad Abdullah Ahmad, maka ia halal hukumnya. Sekarang, bank adalah lembaga resmi yang diatur oleh UU negara. Kehadirannya justru berfungsi memberantas mindering atau riba yang dilarang itu. Tingkat bunganya dapat disebut wajar, karena ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang terbuka, selain juga dilindungi dari ketidakwajaran oleh kebijaksanaan moneter pemerintah. Bank adalah lembaga perantara antara mereka yang ingin menyimpan uangnya dan yang membutuhkan uang untuk keperluan produksi atau konsumsi. Untuk bisa menyediakan uang guna dipinjam, bank perlu memberikan jasa bunga kepada pemilik uang atas dasar opportunity cost dan melindunginya dari kerugian akibat inflasi, membayar ongkos administrasi, dan menyediakan cadangan untuk kemungkinan tak dibayarnya piutang. Selain itu, bank perlu pula menarik keuntungan. Semua beban itu harus bisa dipikul oleh mereka yang membutuhkan uang dari bank. Bank adalah Lembaga Tijarah Transaksi kredit pada hakikatnya adalah kegiatan perdagangan, dengan uang sebagai komoditi. Dalam surat al-Baqarah: 275, dikatakan bahwa: "Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba". Kalau transaksi kredit dilakukan dengan prinsip perdagangan atau tijarah, maka hal itu dihalalkan. Riba yang tingkat bunganya berlipat ganda dan diharamkan itu perlu digantikan dengan mekanisme perdagangan yang dihalalkan. Dengan meminjam istilah Syafrudin Prawiranegara, "unsur pemerasan" dalam riba justru dihapuskan dengan adanya bank atau koperasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini