PRESIDEN Abdurrahman Wahid memiliki tiga juru bicara, jumlah yang tak dipunyai oleh presiden-presiden sebelumnya. Ketua juru bicara itu bahkan seorang Wimar Witoelar, tokoh vokal yang namanya di masa Orde Baru begitu populer di kalangan aktivis. Banyak orang menyambut baik ketika Presiden Abdurrahman mengumumkan terbentuknya Tim Juru Bicara Kepresidenan ini. Dengan banyaknya juru bicara, berarti Presiden punya banyak saluran untuk menyampaikan apa yang perlu disampaikan kepada rakyatnya. Artinya, Presiden tidak perlu lagi banyak bicara.
Namun, kenyataannya, Presiden masih tetap banyak bicara. Kalau bicaranya itu dalam alur "wibawa kepresidenan"?tenang, kalem, yang penting-penting saja?barangkali tak menjadi persoalan. Tetapi ceplas-ceplos Presiden tetap saja seperti dulu ketika ia tak punya juru bicara sebanyak itu. Dan pers tentu saja lebih senang mengutip ucapan langsung ketimbang mengutip "menurut keterangan Presiden" atau "seperti yang dikatakan Bapak Presiden".
Kini, pers yang disalahkan jika ucapan Presiden yang ceplas-ceplos itu menimbulkan keguncangan. Karena itu, Presiden membentuk Tim Pemantau Pers, yang diketuai ahli hukum profesional Prof. Dr. Harun Alrasid.
Kalau kita bisa bersikap sedikit tenang, masalah seperti ini sangat sepele. Mulailah memantau persoalan itu dari diri sendiri. Kalau pers disalahkan karena mengutip ucapan Presiden yang cering ceplas-ceplos dan tidak konsisten itu, kenapa tidak Presiden saja yang berhenti ceplas-ceplos dan mulai belajar konsisten? Atau, kalau itu juga sulit karena konon menyangkut pembawaan yang sukar diubah, kenapa ucapan Presiden tidak disaring saja oleh juru bicara Presiden yang banyak itu?
Andaikan memang benar pers salah kutip atau salah menceritakan situasi di lingkungan Istana, kenapa pihak Istana tidak memakai jalur yang sah dan sesuai dengan hukum: berikan koreksi sebagai hak jawab? Itu diatur dalam undang-undang pers, dan lembaga pers pun punya kode etik untuk mematuhi hak jawab itu. Kalau pers yang bersangkutan tetap bandel, ya, ajukan saja ke pengadilan. Proses secara hukum dan biarkan hakim yang memutuskan siapa sebenarnya yang gombal: wartawannya ataukah sumber beritanya. Dengan demikian, kita mulai belajar menjadi bangsa yang arif, beradab, dan patuh pada hukum. Dan tidak perlu lembaga baru dibuat di lingkungan Istana hanya untuk masalah yang sudah ada aturannya?kecuali ada niat sampingan memberi pekerjaan kepada kolega-kolega yang lagi menganggur.
Adanya Tim Pemantau Pers ibarat "buruk muka, cermin dibelah". Mestinya, kalau kita tidak berada dalam situasi kepanikan, muka itu yang didandani lebih dulu, barulah becermin. Kalau yang tampak di cermin masih tetap muka buruk, ya, bukan salahnya cermin yang harus dipantau-pantau.
Kalau lembaga pers ikut-ikutan panik, mereka bisa saja mengancam balik, misalnya membentuk Tim Pemantau Presiden atau juga Tim Pemantau Juru Bicara Presiden?bagaimana membuktikan apa yang dikatakan Presiden adalah ucapan Presiden yang sesungguhnya? Itu misalnya kalau kiblat kita pada rasa curiga. Mari hentikan kecurigaan yang tak perlu. Katanya mau damai, kok malah pers diajak berantem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini