Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA ada persamaan dalam sejarah kepresidenan di republik ini, barangkali itu adalah dalam perkara kegamangan untuk berhenti. Bung Karno, Soeharto, dan Habibie terlambat melakukannya dan banyak orang bertanya-tanya apakah Presiden Abdurrahman Wahid sedang menuju tempat yang sama. Menjawab pertanyaan itu ternyata bukanlah perkara mudah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kalangan yang merasa mengenalnya cukup dekat—karena itu memanggilnya dengan sebutan Gus Dur—cucu Bapak Bangsa ini adalah sebuah aset bangsa. Hanya, semakin hari sebuah kemasygulan terus tumbuh membesar: adakah pendiri Forum Demokrasi ini sedang berada di posisi yang semakin hari terasa semakin keliru?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara rasional, jawabnya mudah didapat. Dengan dukungan politik di Senayan yang boleh dikata superminoritas, Presiden Abdurrahman Wahid sepatutnya menggunakan seluruh daya yang ada untuk mendapatkan strategi exit yang paling baik. Antara lain memastikan bahwa yang akan duduk menggantikannya adalah yang dianggapnya tercakap, yang paling mampu membawa bangsa ini menjalani perjalanan transisi menuju Indonesia yang lebih demokratis dengan selamat.
Kandidat yang paling besar kemampuannya untuk membawa semua anak bangsa ke situasi yang lebih sejahtera, adil, dan bermartabat. Semua itu adalah harapan dalam bentuk kata-kata besar—yang mungkin juga bagi sebagian orang terdengar klise. Tapi, bagaimana pun, harapan adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah bangsa yang ingin mempertahankan kehadirannya. Kendati harus diakui bahwa, dalam situasi yang lain, harapan justru menjadi pemicu munculnya kekonyolan yang tidak perlu.
Situasi seperti ini yang mungkin sedang melingkupi suasana hati Presiden Abdurrahman Wahid. Setidaknya dugaan ini muncul melihat bersikukuhnya presiden keempat Indonesia ini dalam mempertahankan kedudukannya yang sudah di bibir jurang. Sepertinya api harapan untuk bertahan dari badai politik yang menerpa menyala begitu terang di dalam benaknya walaupun nyaris tak ada sesosok pun makhluk lain yang merasakannya. Sebuah suasana yang barangkali dapat disebut sebagai "ketidaksambungan" (disconnect).
Semua tulisan di atas terasa lancar mengalir di alur nalar kebanyakan kita. Namun, sejarah telah mencatat betapa Gus Dur gemar bertualang di alur-alur yang lain dan asing. Pengalaman hidupnya menunjukkan betapa banyak hal yang berada di luar jangkauan akal sehat kebanyakan orang ternyata terjadi pada seorang manusia bernama Abdurrahman Wahid. Termasuk ketika, di luar dugaan banyak orang, ia terpilih sebagai presiden, Oktober 1999. Tapi keajaiban seperti itu, bagaimanapun, tidak muncul secara teratur.
Akal sehat memang tak selalu memonopoli kebenaran, tapi cenderung menghindarkan kita dari kebingungan yang tak perlu. Untuk itu, ada baiknya mengulas masa depan Presiden Abdurrahman dengan bertumpu pada nalar yang ada saja. Kelebihan Gus Dur selama ini, terutama sebagai intelektual dan aktivis, adalah sebagai penjaga masyarakat dari penyakit kebekuan berpikir. Tulisan ataupun ucapannya yang serius dan yang diselingi humor selalu berhasil mencairkan keadaan yang telanjur pekat oleh kebuntuan berpikir.
Tapi kearifan yang sama hanya menghasilkan kebingungan dan keputusasaan bila keluar dari pena atau mulut seorang kepala negara. Sebab, kepemimpinan formal memang memerlukan pijakan yang stabil, sebuah keadaan yang tak dimiliki—dan sekaligus memang tak dihargai—Presiden Abdurrahman. Sebaliknya, ini adalah sebuah ciri yang kelihatannya cukup melekat dalam kepribadian Megawati Sukarnoputri. Itulah sebabnya kombinasi Gus Dur dan Megawati sebenarnya punya potensi besar untuk memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia.
Hanya, posisi kombinasi ini harus disusun secara tepat karena jika keliru justru akan mencuatkan risiko yang harus dihindari. Kecenderungan Megawati untuk lebih banyak mendengar ketimbang berkomentar adalah sebuah aset dalam sebuah bangsa yang sedang belajar menyampaikan aspirasinya yang beraneka ragam. Terutama untuk menciptakan kesan kepemimpinan yang memayungi semua golongan dan kepentingan. Hanya, sekaligus hal ini berpotensi menjadi kelemahan, terutama dalam menciptakan konservatisme dalam tindakan ataupun ucapan.
Dalam kerangka inilah usulan Tim Tujuh kepada Presiden Abdurrahman untuk lebih banyak memberikan wewenang eksekutif kepada Megawati terasa pas. Gus Dur sepatutnya menarik diri dari urusan pemerintah sehari-hari dan lebih memfokuskan dirinya pada persoalan-persoalan besar masa depan, seperti dalam menciptakan masyarakat yang lebih toleran, yang menganggap perbedaan sebagai rahmat dan mempunyai kepekaan tinggi terhadap mereka yang ditakdirkan bernasib kurang beruntung.
Kemampuan Gus Dur dalam mengajak orang ramai membuka cakrawala pemikiran tak perlu diragukan lagi. Ia tidak hanya cocok untuk mengambil posisi sebagai Guru Bangsa, tapi juga mempunyai kredibilitas untuk menjadi Guru Manusia. Untuk merealisasikan potensi ini, Presiden Abdurrahman Wahid punya dua pilihan utama: tetap menjadi kepala negara dengan memfungsikan Megawati sebagai kepala pemerintahan, atau sekaligus mundur untuk kembali menduduki posisi sebagai tokoh masyarakat.
Kedua pilihan ini punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, tapi?dalam kondisi sekarang—boleh dipilih semata-mata dengan pertimbangan selera. Soalnya, untuk hal yang paling penting, membebaskan Presiden Abdurrahman Wahid dari tugas pemerintahan sehari-hari, keduanya mempunyai peluang yang sama. Sudahlah, Gus...
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo