Pada masanya nanti, bulan hanya bisa dilihat dari daratan Asia dan sekitarnya. Sedangkan penduduk Amerika cuma bisa menontonnya lewat gambar. Atau mungkin sebaliknya. Yang pasti, penampakan bulan hanya di satu sisi belahan bumi ini akan menjadi kekal. Sebab, pada saat itu rotasi bumi sama dengan rotasi bulan. Masalahnya, kapan keadaan itu terjadi? Dan pada saat itu, berapa jam bumi sekali berputar pada sumbunya?
Rezy Pradipta punya jawabannya. Menurut hitungan siswa kelas tiga SMU Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah ini, nantinya sehari semalam bukan lagi 24 jam, tetapi 1.264,8 jam. Namun, kondisi kekal ini baru akan terjadi kira-kira semiliar tahun lagi. Jawaban Rezy ini mengantarnya menyabet medali emas dalam APhO Ke-2 (olimpiade fisika tingkat Asia) di Taiwan, dua pekan lalu.
Ajang adu "Einstein muda" ini diikuti 81 siswa SMU dari 12 negara. Selain Indonesia dan tuan rumah Taiwan, negara yang mengirim wakilnya adalah Israel, Singapura, Malaysia, Thailand, Yordania, Mongolia, India, Kazakhstan, dan Australia. Sementara itu, Qatar dan Jepang duduk sebagai pengamat. Setiap peserta harus menyelesaikan tiga soal teori dan sebuah soal praktek.
Selain memperoleh emas dari Rezy, tim Indonesia mendapat satu perak dan sekeping perunggu persembahan Frederick Petrus dari SMU Sutomo 1 Medan, dan Abrar Yusra, siswa SMU Modal Bangsa, Aceh. Tiga anggota tim lainnya yang mendapat gelar juara harapan atau honorable mention, yaitu Agustinus P. Sanggahamu (SMU 78 Jakarta), Christopher Hendriks (SMU Pelita Harapan), dan Rizki M. Ridwan (SMU 5 Bandung).
Keberhasilan ini membawa Indonesia berada di peringkat kedua bersama Vietnam dan Australia. Adapun Taiwan sebagai tuan rumah menjadi juara dengan empat emas. Peserta memperoleh medali emas jika meraih 90 persen dari rata-rata tiga nilai tertinggi, sementara perak 78 persen, perunggu 65 persen, dan juara harapan separuh dari rata-rata tiga nilai tertinggi.
Namun, yang paling membanggakan bagi tim Indonesia, saat Rezy membuat juri berdecak kagum. Juri menilai cara Rezy menyelesaikan soal teori pergerakan benda-benda langit itu lain dari yang lain. Sebuah penghargaan yang sangat jarang diberikan bagi "jawaban paling kreatif" melengkapi sukses Rezy.
Menurut juri, untuk menjawab soal itu, ia cukup memakai hukum pergerakan planet yang dikemukakan Johannes Kepler empat abad lalu. Caranya, dengan menghitung perlambatan gerakan bumi dan bulan, hingga mencapai sinkronisasi.
Rezy berhasil memodifikasi hukum Kepler ini ke dalam hukum Newton tentang gravitasi antarbenda angkasa. Hukum ketiga yang ditemukan Sir Isaac Newton menyebutkan, jika suatu benda dipengaruhi gaya benda lain, benda pertama akan memberi reaksi yang sama besarnya dengan arah yang berlawanan. Saling pengaruh dua benda ini akan mencapai kestabilan dan sinkronisasi saat energi yang dibutuhkan paling kecil. Bagaimana Rezy mendapat cara itu? "Saya hanya mencoba-coba," katanya.
Namun, untuk bisa masuk tim olimpiade fisika ini, jelas Rezy tak sekadar coba-coba. Sejak tahun pertama di SMU Taruna Nusantara, dia selalu mewakili sekolahnya ikut seleksi tim olimpiade fisika. Tahun lalu dia berhasil menembus 30 besar, tapi gagal masuk tim inti untuk dikirim ke kompetisi internasional.
Prestasi Rezy di sekolah memang terbilang istimewa. Meskipun tak pernah menjadi juara kelas, anak kelahiran Jakarta ini selalu bercokol di peringkat lima besar. "Sebenarnya, saya lebih tertarik pada matematika," kata pelajar yang Selasa ini berulang tahun ke-18 itu. Hal ini diakui Wakil Kepala Sekolah SMU Taruna Nusantara, Eko Sulistyorini. "Minatnya di bidang matematika dan fisika memang sangat tinggi," ujar Eko Sulistyorini.
Kalau sekarang Rezy memilih menggenjot ilmu fisika, karena ada kesempatan untuk ikut olimpiade fisika. Selain itu, dia berharap bisa mendapat beasiswa belajar di luar negeri.
Impian Rezy itu kini sudah di tangan. Menurut Yohanes Surya, Ketua Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), para pemenang APhO sudah mendapat tawaran beasiswa penuh dari Universitas Nasional Taiwan, sebuah perguruan tinggi yang selalu masuk lima besar di tingkat Asia. Tawaran serupa juga datang dari Nanyang Technological University, Singapura.
Bahkan, jika berhasil meraih medali di olimpiade fisika tingkat dunia (IPhO), mereka akan mendapat beasiswa dari Princeton University, Amerika Serikat. Namun, itu tampaknya tidaklah mudah. Sejak Indonesia mengikuti IPhO delapan tahun lalu, baru sekali medali emas didapat, yakni lewat I Made Agus Wirawan.
Kini Indonesia berharap bisa mengulang sukses I Made Agus Wirawan dua tahun lalu. Dalam sebulan terakhir ini, TOFI mengasah lima siswa untuk mewakili Indonesia dalam IPhO Ke-32 di Turki, Juli nanti. Harapannya, prestasi kali ini tak hanya seterang bulan, tapi?kalau bisa?ingin secerah matahari.
Agung Rulianto, L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini