Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Calon Pemimpin KPK

NIAT panitia seleksi untuk memberi tempat bagi utusan kepolisian dan kejaksaan dalam formasi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi patut dipertanyakan.

24 Juni 2019 | 07.00 WIB

Panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam konferensi pers setelah dipanggil Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, 17 Juni 2019. TEMPO/Ahmad Faiz
Perbesar
Panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam konferensi pers setelah dipanggil Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, 17 Juni 2019. TEMPO/Ahmad Faiz

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NIAT panitia seleksi untuk memberi tempat bagi utusan kepolisian dan kejaksaan dalam formasi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi patut dipertanyakan. Jika Pansel KPK 2019-2023 sungguh berkomitmen untuk mencari calon terbaik, semestinya mereka menomorsatukan kandidat yang independen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekhawatiran atas langkah Pansel KPK muncul setelah mereka menyambangi kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung untuk meminta lembaga-lembaga itu mengajukan calon. Padahal, tidak ada aturan dalam perundang-undangan yang mengharuskan pemimpin KPK berasal dari institusi penegak hukum. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK justru menginginkan calon yang independen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain memiliki pengalaman dan pengetahuan hukum yang memadai, menurut Pasal 29 UU KPK, calon pemimpin lembaga anti-rasuah harus cakap, jujur, serta memiliki integritas moral yang tinggi dan reputasi baik. Calon pemimpin KPK juga tidak boleh menjadi pengurus salah satu partai politik. Apabila kebetulan merupakan pegawai pemerintah, mereka mesti mengundurkan diri selama menjabat.

KPK membutuhkan pemimpin yang independen, mengingat korupsi di dalam tubuh pemerintahan masih kuat melekat. Indeks korupsi belum beranjak banyak meski penindakan dan operasi tangkap tangan bahkan terhadap para pejabat tinggi pemerintah dan partai politik terus terjadi.

Berdasarkan data putusan kasus korupsi di pengadilan yang dihitung oleh Indonesia Corruption Watch, ada peningkatan kasus korupsi dari tahun ke tahun. Pada tahun lalu, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 9,29 triliun, naik dari Rp 6,5 triliun pada 2017. Jumlah tersebut sekitar enam kali lipat kerugian akibat korupsi pada 2015.

Mencari calon pemimpin terbaik memang bukan pekerjaan mudah. Tapi menggampangkan upaya dengan memasukkan calon-calon dari kepolisian dan kejaksaan bukan jalan keluar yang ideal. Menurut hasil survei Lembaga Survei Indonesia dan ICW tahun lalu, kedua institusi tersebut merupakan lembaga dengan potensi terbesar melakukan pungli dalam layanan birokrasinya. Sulit berharap KPK nanti dapat menangani dugaan korupsi di kedua lembaga itu jika pemimpinnya berasal dari sana.

Perlu diingat pula, KPK dibentuk justru karena lembaga hukum yang sudah ada dianggap gagal menjalankan amanat pemberantasan korupsi. Jadi, Pansel tak perlu khawatir kehilangan figur ideal dari kepolisian atau kejaksaan. Figur-figur itu bisa saja ditempatkan di pos-pos strategis pemberantasan korupsi di institusi masing-masing, kalau memang kepolisian dan kejaksaan menginginkannya. Pansel berfokus saja pada pencarian calon berintegritas yang bebas kepentingan.

Berdasarkan pengalaman beberapa pansel terdahulu, tokoh-tokoh yang memenuhi syarat sering kali tidak mau mendaftar dengan berbagai alasan. Tapi justru di sinilah kompetensi dan komitmen panitia seleksi terhadap pemberantasan korupsi diuji. Masih ada waktu bagi Pansel untuk mencari dan meyakinkan mereka agar mau mencalonkan diri.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus