Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEKSI anggota Badan Pemeriksa Keuangan lagi-lagi seperti membersihkan rumah jorok dengan sapu kotor. Jajaran auditor negara yang menentukan pemakaian anggaran publik akan diisi oleh mereka yang datang dari partai politik—lembaga yang di Indonesia dibuat untuk menampung kepentingan-kepentingan jahat. Lembaga tinggi negara yang pernah menjadi andalan mengendalikan pembangunan itu kini tersuruk menjadi lembaga tempat barter korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para anggota BPK terjerat kasus-kasus korupsi kakap dengan modus jual-beli status hasil audit terhadap pemerintah daerah dan kementerian, bahkan rekayasa perhitungan kerugian negara, sehingga bisa menyelamatkan seseorang yang diduga berbuat korupsi. Uang suap dalam jual-beli status hasil audit itu juga tak main-main. Maka, dengan kewenangan besar itu, politikus yang tak lolos kembali ke Senayan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat ramai-ramai mendaftar menjadi anggota BPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Achsanul Qosasi, Anggota III BPK dari Partai Demokrat, terbukti menerima suap Rp 40 miliar dalam audit proyek pengadaan jaringan Internet di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Achsanul menerima suap Rp 40 miliar untuk menghilangkan bukti kerugian proyek itu dalam hasil audit BPK. Ia dihukum 2 tahun 6 bulan bui dan denda Rp 250 juta.
Jauh sebelumnya, ada Rizal Djalil, Anggota IV BPK dari Partai Amanat Nasional. Rizal dihukum 4 tahun penjara karena suap Rp 1 miliar dari Komisaris Utama PT Minarta Dutahutama. Rizal mendorong perusahaan ini menjadi pelaksana proyek jaringan distribusi utama sistem penyediaan air minum pada Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Rizal menjamin audit proyek itu mulus.
Ada pula Pius Lustrilanang, Anggota VI BPK dari Partai Gerakan Indonesia Raya. Komisi Pemberantasan Korupsi sedang memeriksa kasus suap atas jasanya mengkondisikan temuan BPK dalam laporan keuangan dan proyek pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Penyidik KPK telah menggeledah dan menyegel ruang kantor mantan aktivis prodemokrasi tersebut.
Kini daftar calon anggota lembaga itu juga diisi para politikus yang berlumur perkara. Sebut saja Mukhamad Misbakhun, politikus Partai Golkar. Pada 2010, saat menjabat anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dia menjadi tersangka kredit ekspor Bank Century. Selain itu, Sugiono, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, terseret korupsi pembangunan menara pemancar Internet di Kementerian Komunikasi. Para terdakwa kasus ini mengaku memberikan Rp 70 miliar kepada orang kepercayaan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto itu.
Keduanya masuk daftar 75 nama yang diloloskan panitia seleksi menjadi calon anggota BPK. Komisi bidang Keuangan DPR akan memilih lima di antaranya. Sebagai kolega dan mantan kolega, anggota DPR tentu akan memilih mereka menjadi anggota BPK. Kalaupun tidak memakai suap, para anggota DPR bisa membarternya dengan kepentingan partai atau kelompok mereka agar terbebas dari temuan audit BPK.
Masalahnya, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan masih mendelegasikan pemilihan anggota kepada DPR. Jika ingin pemilihan berjalan secara independen, DPR harus merevisi undang-undang ini dan membuat sistem pemilihan anggota BPK transparan serta terbuka. Para anggota DPR tentu saja akan menolak usul nyeleneh yang mengacaukan kepentingan mereka itu. Mereka telanjur nyaman tinggal di rumah yang jorok dengan sapu yang kotor.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sapu Kotor Seleksi Anggota BPK"