Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Catalonia

9 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiap kali saya dengar kata "Catalonia", saya teringat Puyol.

Pernah, ketika ia masih jadi kapten kesebelasan Barcelona, sehabis sebuah kemenangan, dengan rambutnya yang gondrong amburadul, di tepi lapangan ia berpidato. Dalam bahasa Catalan, bukan bahasa Spanyol. Carles Puyol Saforcada, kelahiran La Pobla de Segur di wilayah Catalonia, agaknya ingin menegaskan rasa bangganya akan daerah di utara itu. Tapi tak selalu. Tahun lalu, di sebuah iklan televisi, ia menyatakan, "Soy Carles Puyol y soy espa–ol." Sejumlah orang Catalonia pun mengutuknya di Twitter: "Pengkhianat."

Tiap kali saya dengar kata "Catalonia", saya juga teringat adegan ini: di Barcelona, dalam Perang Saudara Spanyol di tahun 1930-an, seperti yang dilukiskan George Orwell dalam Homage to Catalonia:

Di salah satu ruang di "Barak Lenin", berdiri seorang pemuda Italia, berumur sekitar 25 tahun, dengan paras keras, rambut kemerahan, dan bahu kukuh. Topi kulitnya menutup sebelah matanya. "Sesuatu di wajah itu menyentuhku dalam-dalam," tulis Orwell. "Itu wajah seseorang yang siap membunuh atau mengorbankan diri untuk seorang kawan-jenis wajah yang bisa kita jumpai pada seorang Anarkis, meskipun mungkin sekali ia seorang Komunis."

Pemuda itu menatap Orwell dan bertanya:

"Italiano?"

Orwell menjawab, dalam bahasa Spanyol yang buruk: "No. InglŽs. Y tœ?"

"Italiano."

"Seraya melangkah keluar, ia menyeberangi ruangan dan menggenggam tanganku keras-keras. Aneh, perasaan hangat yang dapat kita rasakan pada seseorang yang tak dikenal! Seakan-akan semangatnya dan semangatku sanggup, sejenak itu, menjembatani jurang bahasa dan tradisi, dan bertemu seakrab-akrabnya."

Catalonia, 1930-an: identitas tak ditentukan bahasa, tradisi, asal, kewarganegaraan. Dalam Perang Saudara itu identitas ditentukan tekad untuk melawan kediktatoran dan menegakkan masyarakat yang adil.

Catalonia, 2017: identitas kali ini lain. Orang di sana ingin menegakkan kemerdekaan-sejenis nasionalisme kedaerahan yang memisahkan diri dari nasionalisme yang membuat Spanyol satu. Maka Puyol, orang Catalan tulen, diserang ketika ia mengatakan, "Aku orang Spanyol."

Nasionalisme memang punya sembilan nyawa dan beberapa sorak-sorai.

Pernah ia diusahakan lenyap, terutama di Eropa di abad ke-20, mula-mula oleh kaum internasionalis yang membawa panji-panji sosialisme.

Perang Saudara Spanyol adalah contoh yang tak terlupakan. Adegan dalam Homage to Catalonia di atas adalah satu fragmen ungkapan solidaritas yang melintasi batas bangsa dan negara.

Sejak 1936, di Hotel Gran, di Albacete, di wilayah La Mancha, bermarkas Brigadas Internacionales. Dibentuk Komintern, gerakan komunis internasional, brigade ini diperkuat relawan dari Prancis, Belgia, Italia, Jerman, Polandia, Kuba, Argentina, Irlandia, dan orang-orang Yahudi yang diusir dari pelbagai tanah air. Mereka datang untuk membantu pasukan Republiken yang tengah dilindas pasukan Jenderal Franco. Pendukung kekuasaan Gereja dan aristokrasi ini dengan terang-terangan menjatuhkan pemerintahan sosialis yang dipilih rakyat. Protes pun terdengar dari pelbagai penjuru.

Tak semua mereka komunis-tak semua patuh kepada Stalin di Moskow. Ada POUM, partai Marxis yang anti-Stalin. Ada gerakan Anarkis setempat yang bergabung dengan gerakan Anarkis dari luar. Dari Amerika Serikat, dibentuk Brigade "Abraham Lincoln"; dari Italia, Batalion "Garibaldi". Seniman dan sastrawan terkenal bergabung: Orwell, yang sempat tertembak lehernya; Hemingway, yang kemudian menulis For Whom the Bell Tolls; Malraux yang, meskipun dilebih-lebihkan, berperan menggerakkan serangan udara.

Sesuatu yang universal bergaung dalam Perang Saudara Spanyol: perasaan amarah kepada yang sama-sama dirasakan tak adil. Meskipun akhirnya Franco yang menang.

Kediktatoran Franco melanjutkan nasionalismenya sendiri: menjaga Spanyol yang satu, yang 400 tahun yang lalu dirumuskan Kerajaan dan Gereja Katolik, setelah pelbagai pusat kekuasaan di Jazirah Iberia itu direbut dari raja-raja Islam dan negeri yang terpisah-pisah itu disatukan. Jauh sebelum Hitler membunuhi orang Yahudi, di tahun 1609 Raja Philip III mengeluarkan dekrit mengusir 275.000 orang "Morisco" ke luar Spanyol, karena darah mereka "tak murni". Diperkirakan 60 persen lebih dari semua orang "Morisco"-umat Katolik keturunan Arab-kehilangan nyawa.

Tekad menegakkan bangsa berdasarkan "darah murni" itulah yang membuat nasionalisme kejam. Tak mengherankan bila ia hendak dikuburkan para pendukung persatuan Eropa, sehabis dua perang yang ganas yang disebut "perang dunia"-yang dianggap sebagai perang antar-"nasion".

Kini Catalonia 2017: ke arah mana? Sebuah nasionalisme yang membebaskan, menyambut yang universal, atau nasionalisme yang menampik orang yang berbeda?

Mungkin pertanyaan saya tak pantas. Tapi apa boleh buat: saya selalu ingat adegan pendek di "Barak Lenin" dalam Homage to Catalonia.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus