Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIDATO pertama Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta benar-benar kontraproduktif. Belum apa-apa sudah menyulut persoalan primordial. Pidatonya tidak memberi keteduhan yang menyatukan warga Jakarta, tapi malah cenderung mengotak-ngotakkan masyarakat dan menimbulkan ketakutan bagi kaum minoritas.
Pidato Anies jelas bukan keseleo lidah. Naskahnya dipersiapkan saksama dan tentu telah dipertimbangkan efek-efeknya. Suka atau tidak, pidato itu menunjukkan sikap politik Anies. Tak ada gunanya Anies berkilah bahwa kata "pribumi" dalam pidatonya harus dibaca dalam konteks kolonialisme.
Kalimat kontroversial Anies "Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, kini saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri" harus dikaitkan dengan kutipan peribahasa Madura yang dia pakai pada kalimat berikutnya: itik se atellor, ajam se ngeremme; itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Tak bisa dihindari, persepsi yang ditimbulkan dari peribahasa itu adalah soal kesenjangan di masa kini dan yang jadi sasaran adalah pengusaha keturunan Tionghoa, yang dianggap menguasai perekonomian Indonesia.
Setelah pidato Anies, aneka spanduk dan stiker yang mengelu-elukan kebangkitan pribumi muslim kini muncul. Kotak pandora politik identitas sudah dibuka dan dampaknya bisa panjang. Polarisasi pribumi-nonpribumi di khalayak ramai pasti bakal menjadi-jadi. Apalagi menjelang pemilihan kepala daerah serentak tahun depan, prasangka ras dan isu ketimpangan mayoritas-minoritas semacam ini akan diembuskan kian kuat. Ini situasi yang amat berbahaya. Khalayak yang sudah teragitasi mudah mengamuk, apalagi jika dipicu provokasi yang tak bertanggung jawab.
Untuk itu, kita harus belajar dari Malaysia. Sejak dulu negeri jiran itu melegitimasi diskriminasi ras dan etnis di dalam undang-undang mereka. Masyarakat Melayu, yang dianggap sebagai masyarakat asli, mendapat berbagai fasilitas dan kemudahan yang tak dinikmati warga beretnis minoritas seperti Cina dan India. Kebijakan affirmative action ini diniatkan untuk mengatasi kesenjangan sosial dan ekonomi antaretnis.
Dalam jangka panjang, kebijakan afirmatif di Malaysia justru menimbulkan masalah lain: korupsi dan kolusi merajalela, sementara pertumbuhan ekonomi melambat karena tak ada kompetisi. Anak-anak muda berbakat kabur ke luar negeri karena merasa tak diperlakukan adil di kampung halaman sendiri. Pada saat yang sama, akar masalah yang hendak diatasi, yakni ketegangan antar-ras, justru tak pernah terpecahkan.
Indonesia jelas bukan Malaysia. Pluralisme di negeri ini adalah hal yang tak bisa ditawar. Sumpah Pemuda 1928 menegaskan tidak ada lagi penggolongan pribumi-nonpribumi di Nusantara. Segregasi etnis tak punya tempat di sini. Meski dipakai secara luas pada zaman penjajahan Belanda, kata "pribumi"- sebagaimana kata "inlander"- adalah upaya penjajah merendahkan warga Indonesia. Tak sepatutnya kata itu dihidupkan lagi.
Belum terlambat bagi Anies untuk mengoreksi implikasi dari pidatonya. Sebagai gubernur, dia harus memastikan kebijakan-kebijakannya tidak berbau rasis dan semata ditujukan untuk meraih dukungan massa. Sah-sah saja jika Anies berkeinginan maju dalam pemilihan presiden 2019. Posisinya sebagai Gubernur Jakarta memang bisa jadi batu loncatan untuk itu. Tapi menghimpun konstituen dengan cara yang dapat melukai kaum minoritas bukanlah sikap seorang negarawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo