Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAS seorang aktivis serikat sekerja, pembawa pikiran progresif, hero yang sempurna. Ia muncul sebagai “penganjur kaum buruh” yang menuntut perbaikan nasib kepada pengusaha industri tekstil. Pemuda Benggala ini memukau. Seseorang yang pernah melihatnya berpidato di sebuah rapat umum terkesima: “Tuan pernah dengar ia berpidato? Ia pandai sekali menangkap jiwa, tuan! Kita seperti diangkat, menjadi seperti manusia baru, tuan, ya, manusia baru!”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Das, tentu saja, tokoh dalam Manusia Baru, sebuah naskah teater Indonesia yang kini dilupakan. Nama lengkapnya Surendranath Das. Penggubahnya Sanusi Pane, penyair terkenal majalah Poedjangga Baroe—majalah pertama yang menerbitkannya di tahun 1940.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sanusi Pane mungkin satu-satunya sastrawan Indonesia yang membuat cerita dengan tokoh dan latar yang sepenuhnya di negeri lain. Meskipun “negeri lain” bukan predikat yang tepat buat India di mata penulis kumpulan puisi Madah Kelana itu.
Pada 1929, Sanusi mengunjungi India selama beberapa bulan. Dalam perjalanan itu, lahir sajak-sajak yang memuja “Syiwa-Nataraja”, “Arjuna”, dan berdoa kepada “Krisjna”. Dan itu semua bukan sesuatu yang mengejutkan: ia penganut theosofi.
Ajaran ini, lahir di Amerika Serikat di kalangan imigran, mencoba mengatasi perselisihan antar-agama, juga benturan agama dengan modernitas. Kecenderungan agnostiknya memperkukuh diri dengan unsur-unsur spiritual India. Di Indonesia, gerakan theosofi bermula di akhir abad ke-19. Pengaruhnya tumbuh di kalangan cendekiawan sebelum kemerdekaan: Radjiman Wedyodiningrat, Tjipto Mangunkusumo, Mohamad Yamin, Sanusi Pane....
Takdir Alisjahbana pernah bercerita kepada saya bagaimana generasi intelektual di masanya mengedepankan theosofi: mereka mencantumkan inisial “D.I.” di belakang nama mereka. “D.I.” berarti “dienaarvan India”, “pelayan India”. Bagi mereka, India adalah pusat dan sumber pencerahan rohani dunia.
Itu sebabnya, dalam Manusia Baru, India bukan tempat asing, meskipun ini bukan lakon theosofis. Ceritanya bermula di sebuah kantor perusahaan tekstil di Madras. Ketegangan adalah persengketaan buruh dengan majikan.
Di satu pihak Das. Bersama dia, Aiyer, ketua serikat sekerja tekstil. Di pihak lain, Narayan Wadia, Ketua Perkumpulan Pabrik Tenun, bersama dua koleganya. Di tengah-tengah: Saraswati Wadia, anak Narayan—gadis yang, seperti dapat diduga, akhirnya memihak dan jatuh cinta kepada Das. Dan, seperti dapat diduga juga, dalam lakon ini Das menang.
Cerita yang tak asyik. Kalimat-kalimatnya panjang dan penuh pesan yang kategoris. Sebuah lakon tanpa laku: perkembangan karakter hanya verbal. Manusia Baru seperti lakon-lakon Sanusi yang lain: digubah tanpa pengalaman panggung yang menghendaki progresi dan variasi.
Tapi dengan demikian Sanusi Pane justru menggambarkan dunia di masanya: kolonialisme adalah superioritas, juga cacat yang mendasar. Manusia Baru menyambut zaman bergerak oleh kehadiran “Barat”, tapi juga mengenalkan cedera yang dibawa kapitalisme; dengan kata lain “Barat”. Thema masa itu, dalam sastra dan alam pikiran inteligensia Indonesia, diulangi: “Timur” yang menghadapi apa yang dalam kata-kata Malraux disebut la tentation de l’occident, godaan dan ujian dari “Barat”.
Pada akhirnya lakon ini memang bukan tentang kehidupan buruh. Sosok proletar yang konkret hanya ditampilkan sebentar, dalam diri Mudalinggam yang nafkahnya cekak. Sang tokoh utama, Das, bukan dari kelas ini: ia intelektual yang tangkas berbicara tentang posisi seni dan agama dan zaman kemajuan. Ia datang dari Calcutta, mewakili pengurus besar gabungan serikat sekerja. Konflik dengan kaum majikan di Madras tak radikal. Kedua pihak bernegosiasi di bawah bayang-bayang persatuan nasional. Konsensus dengan cepat dicapai. Saraswati menunjukkan cita-cita lakon ini:
“Saya tidak setuju akan gerakan kaum buruh sekarang karena buruh cuma mengingat kepentingan sendiri, tapi saya tidak setuju pula akan sikap majikan yang cuma mengingat kepentingan sendiri pula. Di India bukan saja kaum industri dan buruh yang ada. Saya menghendaki persatuan India.”
Dan kehendak itu sampai, dengan cepat. Hanya dalam beberapa paragraf kemudian kalimat penutup ditulis Sanusi Pane seperti iklan layanan masyarakat: “...saya melihat rakyat India berbahagia, tani, buruh, modal, kaum terpelajar bekerja bersama-sama dalam masyarakat baru....”
Akhirnya buruh hanya elemen dalam sebuah konfigurasi, nama yang terasa berbobot karena berasosiasi dengan “dunia modern”. Ia bagian dari industri, dan industri bagian dari zaman baru, dan zaman baru itulah yang penting. Buruh bukan realitas sehari-hari; ia makhluk mithologi yang harus digambarkan sedang “timbul dari lautan zaman yang gemuruh”.
Walhasil, Manusia Baru sebuah hagiografi tokoh dalam imajinasi. Ia, secara tak sengaja, menunjukkan lamat-lamatnya kehadiran proletariat dalam masyarakat pra-industrial Indonesia—hingga untuk lebih “realistis”, Sanusi memakai latar India, di mana kapitalisme dan industri lebih tampak.
Di sekitar tahun 1940-an juga, Armijn Pane, kakak Sanusi, mengutarakan posisi lamat-lamat proletariat ketika ia menutup sebuah sajaknya dengan nada menyerah, “hamba buruh apa dikata”....
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo