Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Entah

Kemampuan analisis tentang sebab dan akibat—yang merupakan kemampuan nalar—penting untuk menghadapi Entah. Manusia bergerak maju dari ketidaktahuan. Yang tak diketahui berubah menjadi sekadar problem: sesuatu yang dilemparkan ke depan manusia untuk dipecahkan dan diterobos.

7 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Entah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN seseorang perlu membuat sejarah “Entah”. Kata ini berpusar, tak jarang dalam bisik-bisik, tiap kali manusia merasa terasing dari dunia—ketika datang Maut, Kelaparan, Perang, dan Sampar, “Empat penunggang Kuda Malapetaka”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyakit yang kini berjangkit dari tempat ke tempat jauh berbeda skala dengan wabah-wabah di zaman dahulu, tapi kembali Entah menyembul ke depan. Mari kita tengok: catatan Marchionne di Coppo Stefani tentang wabah pes dahsyat yang menyerang Firenze di tahun 1348 adalah ungkapan Entah yang menggores.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wabah itu demikian ganas dan cepat hingga di rumah-rumah yang terkena, para pelayan yang melayani si sakit meninggal oleh penyakit yang sama. Hampir semua yang terserang mati dalam waktu kurang dari empat hari. Baik tabib maupun pengobatan tak berpengaruh. Tampaknya tak ada cara menyembuhkan, entah karena penyakit ini sebelumnya tak dikenal, entah karena para tabib belum pernah menelaahnya....

Di hari-hari yang menakutkan itu, wabah membinasakan Eropa, dan ketika Entah berkecamuk, orang-orang menghentikannya dengan kesimpulan mengerikan: Stop Entah. Sudah ditemukan jawabnya: pembawa sampar adalah orang Yahudi!

Orang Yahudi, demikian didesas-desuskan, menyebarkan racun dari jeroan katak yang dicampur dengan minyak dan keju. Orang-orang Kristen meyakini “penjelasan” itu. Meskipun Paus melarang kekerasan, pada 14 Februari 1349 di Kota Strasbourg, 2.000 orang Yahudi ditelanjangi dan dibantai. Di Mainz, 3.000 orang. Tapi Entah tetap kembali dan tetap dicoba dibungkam dengan pelbagai cara.

Sampai datang zaman modern, ketika Entah mulai tampak terdesak. Ia yang menyebabkan rasa takut tak menentu mulai diganti. Rasa cemas mulai punya penjelasan. Dongeng ditinggalkan, takhayul tersingkir. Demikianlah semangat Aufklärung menyimpulkan: manusia mampu dan harus berani membebaskan dari apa yang dinamai Kant sebagai “selbstverschuldeten Unmündigkeit”, ketidakdewasaan yang ditumbuhkan diri sendiri. “Unmündigkeit” ditandai ketidakberanian menggunakan akal, intelek, dan kearifan sendiri. Orang tak dewasa karena selalu butuh dibimbing tatanan sosial, agama, dan penguasa. Orang tak dewasa karena ia tak mencari jalan sendiri untuk membereskan Entah.

Sejak “abad panjang ke-18”, Eropa memulai semangat Pencerahan ini, yang juga disebut “Zaman Nalar”, Age of Reason.

Tak berarti hanya bangsa-bangsa di sekitar Jerman, Prancis, Inggris yang memulai itu, dengan melaksanakan Sapere Aude! (Beranilah untuk Mengetahui!) dan meletakkan nalar di posisi penting dalam hidup mereka. Orang Yunani sebelum tarikh Masehi dan para ilmuwan di dunia Islam di abad ke-8 sudah lebih dulu merintis jalan melepaskan diri dari Entah—juga tentang wabah. Al-Majusi (933-1000), misalnya, menggambarkan wabah dalam Kitab al-Malaiyy. Ia melihat sebab wabah dari “udara yang berpenyakit” (hawawab’i)—bukan dari konspirasi Iblis atau Yahudi.

Kemampuan analisis tentang sebab dan akibat—yang merupakan kemampuan nalar—penting untuk menghadapi Entah. Manusia bergerak maju dari ketidaktahuan. Yang tak diketahui berubah menjadi sekadar problem: sesuatu yang dilemparkan ke depan manusia untuk dipecahkan dan diterobos.

Tapi tak selamanya berhasil, tak selamanya bertahan—dan tak selamanya membuat hidup lebih baik. Nalar, “reason”, berkembang memecahkan problem. Problem bukan hanya transformasi dari Entah, melainkan mempersempitnya, sebagaimana akal adalah perubahan yang membuat kapasitas nalar jadi seperti sinar laser: terang, kuat, efisien—tapi sempit. Ia menguasai yang-Lain, apa yang bukan dirinya.

Dunia modern dan akal adalah kehidupan ketika pelbagai hal diubah jadi hitungan. Dengan itu didapatkan cara paling efektif mencapai tujuan. Dan dengan itu pula kemampuan dapat dihimpun secara progresif, makin lama makin bertambah. Modal, teknologi, kekuatan militer, kekuasaan politik.

Bukan kebetulan bila sejak saat Kant menyambut Pencerahan di Eropa, dari Eropa pula bangun imperialisme yang menindas bangsa-bangsa lain—yang oleh Kant tak dimasukkan ke hitungan. Di situ tak diakui bahwa setelah akal berkuasa, akal tak lagi sadar bahwa ada yang tak dapat dijangkaunya. Ada Entah yang diabaikan.

Hegel yakin—mendekati ketakaburan—bahwa yang rasional bertaut dengan yang wirklich, yang secara aktual ada. Ia yakin semua realitas dapat dinyatakan dalam kategori-kategori rasional. Ketika Hegel mengatakan bahwa Negara harus diperlakukan sebagai “struktur arsitektonis yang perkasa”, sebagai “hieroglif nalar”, ia melupakan bahwa ada Entah yang tak bisa diidentifikasi Negara.

Dalam konstelasi politik, Entah itu adalah mereka yang tak masuk hitungan. Ada “salah hitung”, yang oleh Rancière disebut le tort. Mereka yang di luar pagar itu—pagar bangunan Negara, pagar bangunan ilmu pengetahuan—bisa menunjukkan ada selalu yang tersisa dari yang direngkuh akal.

Dengan kata lain, sejarah Entah belum berakhir. Di wabah abad ke-14 kita mendengarnya dari catatan Marchionne di Coppo Stefani. Di abad ke-21 kita menyaksikannya dari kenyataan bahwa belum juga ada solusi untuk mencegah penyakit baru, konflik baru, ketidakadilan baru.

Ilmu dan agama memang mengklaim, “Akulah jawabannya.” Tapi mereka lupa apa pertanyaannya. Mereka lupa Entah.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus