Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH saatnya Jaksa Agung St. Burhanuddin membuktikan janjinya “membinasakan” jaksa yang terbukti nakal dan menjadi mafia kasus. Di mejanya, sejak satu bulan lalu, sudah ada laporan dugaan pemerasan oleh dua anak buahnya terhadap salah seorang tersangka yang perkaranya tengah ditangani kejaksaan, Roni Wijaya. Burhanuddin harus segera memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan menindaklanjuti laporan tersebut.
Tersangka dugaan tindak pidana pencucian uang dengan pidana asal perpajakan itu melaporkan kepada Jaksa Agung dugaan pemerasan pada Februari 2020. Dalam laporan itu, tersangka mengaku diperas ratusan juta rupiah oleh dua jaksa yang menangani perkaranya sejak Agustus 2019 hingga Januari 2020. Ia mengaku diminta membayar biaya hotel, tiket pesawat, dan seperangkat produk kesehatan. Ada juga permintaan uang tunai ratusan juta. Jaksa itu menjanjikan penundaan atau pembatalan pemeriksaan tersangka untuk kepentingan pelimpahan perkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaksa Agung seharusnya segera menindaklanjuti laporan Roni, yang menganggap perkaranya sejak awal prematur. Penyidikan kasus ini ditangani Direktorat Jenderal Pajak sejak Mei 2018. Tapi tim pajak sudah menangkap pemilik sekaligus Direktur Operasional PT Dutasari Citra Laras itu lima bulan sebelumnya dengan dalih sandera badan (gijzeling) atas tunggakan pajak senilai Rp 3,8 miliar. Empat hari berselang, Roni membayar sebagian utang pajak yang ditagihkan dengan nominal setara dengan porsi saham miliknya. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2018, pengutang pajak yang disandera dapat dipertimbangkan untuk dilepaskan dari tahanan negara jika telah membayar utangnya sesuai dengan porsi kepemilikan saham. Namun Roni tetap ditahan hingga akhirnya dibebaskan setelah kantor pajak kelar melelang aset perusahaan pada Februari 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan, penyidik pajak kembali menjerat Roni dengan sangkaan manipulasi pajak Dutasari dan tindak pidana pencucian uang. Saat itu, Roni berstatus whistleblower atau peniup pluit dalam kasus dugaan korupsi proyek Wisma Atlet Hambalang, Bogor, yang menjerat Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat. Pada saat ini pula pemerasan diduga dilakukan jaksa. Tak mau lagi meladeni permintaan duit, Roni akhirnya ditangkap setelah berkas perkaranya dinyatakan lengkap oleh kejaksaan pada Februari lalu. Sangat disesalkan, Komisi Pemberantasan Korupsi yang menangani perkara Hambalang sama sekali tidak bereaksi atas penangkapan saksi pentingnya itu.
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban sudah jelas mengatur bahwa pembocor kasus berhak mendapat perlindungan hukum atau setidaknya tak bisa dijerat pidana sampai kasus yang dibongkarnya memiliki putusan berkekuatan hukum tetap. Selama proses penyidikan, tersangka juga tidak didampingi penasihat hukum. Ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang mengatur bahwa tersangka berhak mendapat pendampingan dari penasihat hukum.
Jika semua laporan Roni itu terbukti, tentu tidak ada alasan bagi Jaksa Agung untuk melanjutkan kasus ini ke pengadilan. Ia bisa mengembalikan kasus tersebut ke penyidik pajak. Adapun Direktorat Jenderal Pajak mesti memeriksa tim penyidik yang menangani kasus Roni. Harus ada sanksi jika ternyata benar terjadi kesalahan prosedur dan penyalahgunaan wewenang. Jaksa Agung juga mesti bergegas menindak jaksa-jaksa nakal agar penegakan hukum di negeri ini tidak kian bobrok.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo