Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH mimpi yang terkenal—sebuah mimpi yang menandai sebuah zaman—dikisahkan dari Baghdad di abad ke-9:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sultan Al-Ma’mūn bermimpi melihat seorang lelaki berparas putih kemerahan, berjidat tinggi, botak, beralis lebat, bermata biru, dan tampan duduk di kursi. Al-Ma’mūn berkata: “Dalam mimpiku aku berdiri di depan dia, terkesima. Aku bertanya, 'Siapakah Tuan?' Ia menyahut: 'Aristoteles'.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sultan pun bertanya kepada sang filosof, apa artinya “baik’’. Jawab yang didapat: “Apa pun yang baik menurut pikiran....”
Kini, hampir 2.000 tahun kemudian, kita tak tahu apa hubungan mimpi penguasa Baghdad abad ke-9 itu dengan “yang baik”. Yang kita tahu, Al-Ma’mūn tercatat sebagai pemimpin negeri Islam yang dengan bersungguh-sungguh mengembangkan pemikiran dan ilmu. Di bawah pemerintahannya, pelbagai karya dari pusat-pusat di luar dunia Islam diterjemahkan buat dipelajari—dan pemikiran Yunani Kuno, khususnya karya Aristoteles, hadir secara sentral.
Sang Khalif juga menjamin hidup para ilmuwan di pelbagai bidang sains untuk melakukan riset dan penulisan.
“Zaman Keemasan” itu sudah sering dikemukakan orang. Tapi agaknya, The House of Wisdom, terbit 2013, yang paling rinci dan mendalam memaparkan keistimewaan kekuasaan Al-Ma’mūn. Ditulis orang yang tepat: Jim al-Khalili, pakar fisika yang terkenal sebagai “juru penerang” dunia sains buat orang banyak, khususnya melalui YouTube.
Jim (dari “Jamil Sadik”) lahir di Baghdad pada 1962. Kini namanya terkenal: ia guru besar theori fisika di Universitas Surrey. Ia menjalani masa remajanya di Hindīyya, tak jauh dari Baghdad, tempat ayahnya bekerja di sebuah pabrik serat rayon. Al-Khalili senior seorang insinyur listrik didikan jurusan politeknik di Kota Portsmouth, Inggris. Ia menikah dengan seorang pustakawan di kota itu. Semula ia perwira di AU Irak, tapi tak bisa terus. Di awal 1970-an, Partai Baath yang dipimpin Saddam Hussein menentukan bahwa warga negara Irak yang beristrikan orang Inggris tak bisa mendapat tempat. Apalagi Al-Khalili keturunan Persia yang Syiah, meskipun ia seorang agnostik yang pernah mendukung Partai Komunis. Dengan latar belakang seperti itu, keluarga Al-Khalili tersisih. Di tahun 1979 mereka pun dengan diam-diam pindah ke Inggris.
Di negeri baru ini, anak mereka pertama, Jim, dengan cepat berhasil dalam kariernya sebagai fisikawan. Kemudian, ia unggul sebagai pembawa program acara sains BBC.
Latar belakang itu sangat membantunya menulis The House of Wisdom. Ia tak asing akan sejarah Irak. Bahasa Arabnya memungkinkannya membaca teks-teks keilmuan lama. Lebih dari itu, ia ilmuwan yang pandai menulis dengan memikat seluk-beluk sains (ia juga menulis novel, Sunfall, yang akan segera terbit). Datang dari dunia Arab, ia merasakan timpangnya pengetahuan sejarah ilmu di Eropa: tak banyak yang tahu bahwa Eropa memungut pertumbuhan sains di dunia Islam. Hampir 2.000 tahun yang lalu, Baghdad-lah yang “menyelamatkan pengetahuan kuno” (Yunani, khususnya, juga India). Dengan modal itu, sains dunia Arab bisa jadi sumber yang akhirnya mengalirkan energinya dan membawa Eropa ke zaman Renaisans ketika prestasi seni dan ilmu muncul cemerlang buat pertama kalinya.
Tapi Jim al-Khalili tak bermaksud menggelembungkan prestasi peradaban negeri asalnya. Ilmu, baginya, tak punya tanah air dan satu asal. Ia juga bukan hendak menegaskan keunggulan Islam. Ia seorang atheis. Minatnya pada Islam bersifat “kultural”. Ia mengingatkan bahwa dalam bukunya ia tak memakai predikat “islami” untuk sains yang diceritakannya: tak semua kemajuan ilmu di Baghdad di abad ke-9 itu karya muslim. Tokoh utama dalam “gerakan penerjemahan” di masa keemasan itu, Hunayn ibn Ishāq, seorang Kristen Nestorian. Di antara para ilmuwan utama, ada ahli ilmu kedokteran yang beragama Kristen seperti Jibrīl ibn Bakhtyashū dan Ibn Massāwayh. Ada juga ilmuwan Yahudi.
Tapi konteks sosial-politik Islam waktu itu, di bawah Al-Ma’mūn, memungkinkan “masa keemasan ilmu” berlangsung. Al-Khalili menyebut Al-Khwārizmi, orang pertama di dunia yang memperkenalkan aljabar dan konsep algoritme. Ia contoh ilmuwan muslim yang sadar membawa misi yang dipesankan Nabi, bahwa mereka yang berjalan mencari ilmu sama dengan menyusuri jalan Allah ke firdaus. Al-Khwārizmi mendedikasikan karya besarnya untuk “Imam al-Ma’mūn,” pemimpin kaum mukminin yang ditandai Allah dengan “kegemarannya kepada ilmu-ilmu”.
Persoalan yang menarik: kenapa kegemaran dan semangat ilmu-ilmu dua milenium yang lalu itu seperti musnah di negeri-negeri Islam sekarang?
Al-Khalili mencoba mendapatkan jawab, tapi rasanya tak ada satu sebab yang konklusif. Yang bagi saya menarik adalah dua kasus yang menusuk.
Ia mengutip fisikawan Pakistan ternama, Pervez Hoodbhoy; cerita tentang Universitas Quaid-i-Azam di Islamabad, yang juga pusat penelitian tempatnya bekerja. Di sana ada beberapa masjid dalam kampus , tapi tak ada satu pun toko buku.
Lebih suram nasib Abdus Salam, fisikawan yang di tahun 1979 mendapatkan Hadiah Nobel bersama dua ilmuwan Amerika karena prestasinya mengembangkan electroweak theory. “Tak ragu saya katakan, karya [Abdus Salam] menempatkan dia sebagai fisikawan terbesar di dunia Islam selama 1.000 tahun,” tulis Al-Khalili. Ia “muslim yang saleh”, tapi diasingkan dari tanah airnya karena ia orang Ahmadiah. Di tahun 1996 ia wafat.
Lampu nyaris padam.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo