Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI kutukan tujuh turunan, pengelolaan aset milik negara kerap meninggalkan persoalan. Pemerintah tampaknya masih terus berkutat dengan berbagai kesulitan mengoptimalkan aset-aset yang terbengkalai. Kerja sama dengan pihak ketiga banyak yang berakhir dengan kerugian. Tak sedikit status kepemilikan aset malah berpindah tangan tanpa kejelasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekarang Kementerian Keuangan berusaha mengurai benang kusut itu. Melalui Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), pemerintah kembali menginventarisasi aset-aset properti milik negara. Badan pelayanan umum itu mendapat tugas menangani beragam aset bermasalah yang selama ini sulit dikelola. Sebagian di antaranya aset bank yang mangkrak selama 20 tahun setelah pemilik lamanya bangkrut akibat krisis moneter 1998. Semuanya harus dipoles dan dimanfaatkan agar mendatangkan rezeki untuk kas negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses komersialisasi aset negara inilah yang tidak mudah. Apalagi di tengah resesi seperti sekarang. Selain butuh biaya jumbo untuk memermak aset-aset tersebut, para calon pembeli kini banyak yang tiarap.
Pemerintah mesti belajar dari pengelolaan aset di masa silam agar tidak terperosok ke lubang yang sama. Audit Badan Pemeriksa Keuangan dua tahun lalu, misalnya, menemukan sejumlah kerugian dari pengelolaan aset negara di kawasan Gelora Bung Karno, Kompleks Kemayoran, dan Taman Mini Indonesia Indah.
Aset tanah yang seharusnya sudah free and clear di kawasan Taman Mini, misalnya, ternyata masih dimanfaatkan pihak lain. Beberapa perjanjian pemanfaatan aset negara di masa lalu juga tidak dilengkapi klausul denda bila terjadi keterlambatan pembayaran. Ini terjadi pada kerja sama antara pengelola Gelora Bung Karno dan PT Senayan Trikarya Sempana, pengelola pusat pertokoan dan perkantoran Plaza Senayan. BPK menemukan jadwal pembayaran kompensasi dan dividen serta klausul mengenai terminasi, sanksi, dan force majeure tidak diatur dalam perjanjian pemerintah dengan perusahaan patungan yang dulu dibentuk Titiek Soeharto dan Kajima Overseas itu.
Pengelola Gelora Bung Karno juga masih kesulitan mengeksekusi putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung atas lahan yang kini ditempati Hotel Sultan. Audit BPK mencatat PT Indobuildco, pengelola Hotel Sultan, baru membayar royalti plus bunga atas pemakaian lahan pada 2003-2006. Namun penginapan yang dulu bernama Hotel Hilton itu belum membayar royalti sejak 2007 hingga hak guna bangunan berakhir pada 2023. Belakangan, Indobuildco berjanji melunasi kewajiban bila memperoleh izin perpanjangan pemakaian lahan.
Kasus-kasus buruk di masa lalu itu tak boleh terulang. LMAN mesti cermat menyusun strategi pengembangan bisnis. Pemerintah juga sudah saatnya berpikir realistis. Pengelolaan aset butuh modal besar. Tidak semua aset harus dikelola sendiri atau dikembangkan melalui pihak ketiga.
Dengan kata lain, Kementerian Keuangan semestinya membuka lebih banyak opsi dalam pemanfaatan aset negara. Tak semuanya harus dioper ke LMAN. Jika ada kebutuhan mendesak dalam pembiayaan proyek strategis, pemerintah bisa mendorong penjualan aset secara apa adanya.
Ketimbang tarik-ulur tak karuan, lebih baik aset yang berpotensi mangkrak cepat-cepat dilelang dan dananya disalurkan sebagai pendanaan proyek produktif. Sedangkan beberapa aset lain di lokasi strategis bisa dialihfungsikan sebagai fasilitas publik di tengah kota yang dikelola pemerintah daerah. Tujuan akhirnya sederhana: secepatnya memanfaatkan aset negara agar berguna buat orang banyak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo