Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pembisik

Kata-kata itu layak diingat tiap kali para cerdik-pandai punya harapan yang aneh: bahwa mereka bisa berbisik ke kuping penguasa dan dunia akan berubah menjadi lebih baik.

9 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pembisik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang filosof Prancis berumur 60 tahun berkereta kuda sepanjang 2.100 kilometer untuk bertemu dengan seorang maharatu di Rusia. Mereka saling mengagumi. Mereka bertukar pikiran. Mereka saling kecewa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diderot, sang filosof tua, adalah tokoh Pencerahan Eropa di abad ke-18. Ia penggerak dan digerakkan zaman itu, yang menjunjung rasionalitas di atas doktrin agama dan menegaskan akal budi di atas otoritas politik. Artinya, di Eropa sebelum Revolusi Prancis, sebelum Gereja dan Monarki ditumbangkan, Diderot pembawa pandangan yang subversif, baru, dan berani—bersama kemerdekaan berpikir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia penulis yang produktif. Daftar karyanya, termasuk yang dikenal setelah ia meninggal di usia 71 tahun, panjang: risalah filsafat, pamflet politik, kitab fisiologi, fiksi, lakon untuk teater, kritik seni rupa, analisis seni peran—juga puisi iseng yang erotis dan novel “porno” yang kocak (tentang vagina yang bisa berkisah). Tapi yang membuatnya dihormati adalah perannya sebagai editor dan salah satu penulis Encyclopédie, ou Dictionnaire raisonné des sciences, des arts et des métiers. Ensiklopedia itu, dibiayai donor dan pelanggan, lebih dari dua dasawarsa lamanya disusun; di tahun 1771 karya itu selesai, 28 jilid, 71 ribu artikel.

Dengan itu pula Diderot menjadi wakil Pencerahan yang tipikal: pengibar bendera rasionalisme dan pemikir bebas yang terancam. Jilid pertama Ensiklopedia disambut hangat para cendekiawan Eropa, tapi memicu amarah lapisan atas politik dan agama. Vatikan memasukkan Ensiklopedia ke indeks bacaan terlarang. Para penyumbang tulisan digertak. Di tahun 1759, setelah Ensiklopedia terbit tujuh jilid, Raja Louis XIV memberangusnya. Diderot mengelak; ia mencetak karya besar itu di luar Prancis. Para penyumbang tulisan menulis dengan rahasia.

Diderot hidup sebagai filosof, dan di masanya, filosofi adalah kontroversi. Dalam Diderot and the Art of Thinking Freely (New York, 2019), sebuah biografi yang cermat dan memikat, Andrew S. Curran menceritakan, sejak awal hidupnya cendekiawan Prancis ini murtad. Ia dibentuk pelbagai hal, tapi terutama kekecewaannya kepada agama.

Bukunya yang ia tulis di usia 36 tahun, Lettre sur les aveugles (“Surat tentang yang Buta”), mengisahkan seorang jenius tunanetra yang menampik Tuhan. Diderot menulis Lettre dengan nama samaran, tapi ia ketahuan dan disekap 100 hari di penjara Chateau de Vincennes.

Filsafat, kemerdekaan berpikir, keyakinan akan keunggulan nalar—itulah yang membentuk Diderot. Dengan itu ia berhadapan dengan dogma, intoleransi, kekuasaan tak terbatas Gereja dan Raja. Ketika suasana represif makin menjerat, akhirnya sang filosof, yang sebenarnya tak suka bepergian, berangkat ke Rusia. Di sana menunggu Maharatu Katarina.

Diderot bukan seorang monarkis. Ia menunjukkan betapa palsunya ide orang Eropa masa itu bahwa raja-raja adalah pilihan Tuhan dan sebab itu, dengan dihalalkan Paus, berkuasa absolut. Tapi Katarina baginya berbeda. Dan memang berbeda.

Ia mengagumi Diderot dan semangat Pencerahan. Ketika menderita sebagai permaisuri Tsar Peter yang penyiksa dan pemabuk, ia menggusur kesepiannya dengan karya sastra dan pemikiran. Ia baca Voltaire tentang sejarah dunia. Ia baca Montesquieu tentang jenis-jenis sistem politik. Di masa yang tak bahagia itu pula ia baca jilid pertama Ensiklopedia.

Kemudian ia memakzulkan suaminya dan menaikkan dirinya ke takhta—dan segera setelah itu sang suami mangkat mendadak. Tindakannya brutal, tapi mungkin niscaya. Ia ingin menjadi—seperti ditulisnya sendiri buat diukir di batu nisannya—seorang yang “... santai, toleran, berpikiran jembar... dengan semangat republiken...”.

Katarina berusaha mengubah otokrasi yang dipimpinnya menjadi monarki yang menghormati hukum. Ia tulis manual reformasi, Velikiy Nakaz, atau Titah Agung, dengan mengambil mentah-mentah sejumlah kata Montesquieu dalam l’Esprit du Loi. Tapi antara naskah yang diilhami pemikiran filsafat dan jalan politik sang Maharatu ada jurang yang tak terhindari.

Katarina membentuk sebuah majelis yang terdiri atas wakil-wakil masyarakat untuk menyusun undang-undang. Di antara mereka para serf, pemilik wilayah yang berkuasa mutlak atas rakyat yang hidup di dalamnya. Golongan ini tak mau kekuasaan mereka dibatasi hukum. Majelis itu pun gagal—juga reformasi Katarina.

Diderot mencoba beberapa kali membisikkan ide-ide ke telinga sang otokrat. Tapi kian lama tak ada sambutan. Sang filosof maklum. Mengutamakan yang rasional adalah semangat Pencerahan, tapi itu tak bisa menjadi ukuran buat kapan saja di mana saja. Terutama dalam politik dan kekuasaan.

Kata sang Tsarina: “Tuan Diderot, Tuan bekerja di atas kertas yang rata, halus, luwes, menuruti apa saja.... Sedangkan saya, maharatu yang malang, bekerja di atas kulit manusia, yang mudah tersinggung dan perasa....”

Kata-kata itu layak diingat tiap kali para cerdik-pandai punya harapan yang aneh: bahwa mereka bisa berbisik ke kuping penguasa dan dunia akan berubah menjadi lebih baik.

Diderot tak punya ilusi itu.

Negara adalah mesin yang rumit, yang tak dapat kita susun ataupun jalankan tanpa mengenal seluruh bagiannya. Kita tak bisa menekan atau mengendurkan yang satu tanpa mengganggu yang lain....”

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus