Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Sahidah*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA pernah mengirim foto berupa pengumuman bahwa salat Jumat diliburkan ke sebuah grup WhatsApp. Salah seorang anggotanya menimpali mengapa nama masjid mesti berbahasa Arab. Maklum, betapapun yang bersangkutan bernama Muhammad Syafi’i, dia memilih nama Song Tarosong, kata Madura untuk “terbebani oleh barang bawaan”. Jati diri itu ditentukan oleh penggunaan bahasa.
Lalu saya pun mengganti nama Masjid Baitussalam menjadi Rumah Keselamatan. Lagi-lagi, kami bersilang pendapat, mengapa lema selamat yang berasal dari bahasa Arab masih hadir dalam bahasa kita. Menariknya, tak hanya dalam bahasa Melayu, orang Jawa dan Madura juga menyebut kata yang serupa dengan pelafalan yang sedikit berbeda.
Kalau ditelusuri dalam kamus, kita akan menemukan arti kata selamat sebagai terbebas dari bahaya, sehat, tercapai maksud, doa, dan pemberian salam. Ternyata tidak ada kata lain yang bisa digunakan untuk padanannya dalam satu kata. Malah beberapa arti kata diserap dari bahasa Arab, seperti sehat (shihhah), maksud (maqshud), doa (du’a), dan salam (salam).
Sememangnya tidak ada aturan penamaan tempat beribadah. Banyak masjid yang bernama tokoh, seperti Diponegoro dan Sudirman di Yogyakarta. Lalu mengapa kata selamat itu tak hanya digunakan dalam bahasa Melayu, tapi juga bahasa daerah di Nusantara? Sebagai bahasa lingua franca, peminjaman bahasa Arab sangat luas digunakan sejalan dengan pergantian dari kekuasaan kerajaan Hindu-Buddha ke kesultanan Islam.
Lema selamat sering diucapkan orang ramai untuk menunjukkan penghargaan terhadap keberhasilan rekan, seperti lulus ujian, kenaikan pangkat, dan kelahiran anak. Menariknya, ketika kita mengucapkan selamat pagi untuk menyapa orang lain, justru penutur Saudi tidak menggunakan kata selamat, melainkan shabah al-khayr, yang bermakna sama dengan good morning dalam bahasa Inggris. Meski diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata salamah tidak diucapkan lidah pengucap bahasa rumpun Semitik ini, termasuk untuk mengungkapkan selamat siang dan selamat malam.
Dalam ucapan selamat tahun baru yang sering disampaikan pada hari pertama almanak Masehi dan Hijriah, juga tidak ditemukan kata selamat, melainkan tahniah, yang telah diserap pula ke dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lema ini berarti ucapan selamat. Malah orang Arab sering mengatakan kullu am wa antum bi khayr, yang berarti selamat tahun baru.
Lebih jauh, kata selamat tidak hanya digunakan dalam bahasa lisan, tapi juga bermakna kegiatan dengan penambahan akhiran an. Selamatan bermakna kenduri untuk meminta selamat dan sebagainya. Jelas, kata ini telah mengalami pergeseran dari kata asal, yang tidak ditemukan dalam bahasa Arab.
Entri lain yang berasal dari akar yang sama adalah salam. Meskipun kata ini bermakna selamat, kita tidak mendengar seseorang mengucapkan salam pagi. Dalam KBBI, serapan ini diartikan sebagai damai, pernyataan hormat atau tabik, dan ucapan. Menariknya, kata turunannya dalam kata kerja, bersalaman, bermakna memberikan salam dengan saling menjabat tangan. Malah makna kedua verba ini adalah berjabat tangan.
Padahal ucapan salam tidak mengandaikan jabatan tangan. Orang Arab, misalnya, akan berangkulan dan berciuman pipi kiri dan kanan setelah mengucapkan salam. Pergeseran makna salam pada berjabat tangan jelas menggambarkan kebiasaan budaya masyarakat.
Menariknya, ketika hendak menemukan kata asli dari praktik keagamaan, masyarakat kita mengutamakan salat, bukan sembahyang. Meskipun kata terakhir telah sering digunakan, serapan ini dianggap tidak murni karena merupakan kata gabungan dari sembah dan Hyang, Tuhan Hindu. Kata-kata pinjaman lain, seperti puasa, juga diganti dengan shiyam.
Dengan pergantian tersebut, mereka hendak menyelamatkan keyakinan dan praktik keagamaan. Namun, sejauh ini, mereka tak mengganti kata surga dengan jannah dan neraka dengan nar. Padahal kata-kata yang dianggap murni itu, seperti shalat, shiyam, jannah, dan nar, telah digunakan masyarakat Arab sebelum Islam dengan makna yang berbeda dengan ajaran Muhammad. Kehadiran Al-Quran secara semantik telah menggeser makna kata ke dalam kerangka pandangan dunia Islam, yang menempatkan Allah sebagai kata rujukan tertinggi.
Sejatinya penggunaan kata sembahyang, tuhan, surga, dan neraka tak lagi dibatasi makna asal. Ajaran pemeluk barunya mengaitkan kata-kata kunci ini dengan Tuhan dan medan semantik yang berbeda. Namun pengekalan kata itu menunjukkan agama-agama sejatinya mengajarkan pesan yang sama dengan ungkapan yang berbeda. Jadi, utamakan selamat seperti pesan yang tertulis di banyak pabrik dan tapak konstruksi adalah tujuan kita bekerja. Bahasa adalah alat.
*) Dosen Pascasarjana Universitas Nurul Jadid, Paiton
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo