Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI malam hari, dulu, saya dengarkan dongeng ibu, yang mengharapkan anaknya tidur. Ia tahu tidur adalah investasi bagi besok yang segar. Di abad ke-20, dongeng sudah menjadi “teknologi”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika seorang ibu menembangkan fragmen Wedhatama yang mengagungkan sosok Panembahan Senapati, sebenarnya ia menggunakan fiksi itu untuk memproduksi masa nanti, agar si anak jadi hebat:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nuladha laku utama
Tumraping wong Tanah Jawi
Wong agung ing Ngeksiganda,
Panembahan Senapati
Jika si anak belum kenal sejarah Mataram abad ke-14 (yang dalam puisi itu disebut “Ngeksiganda”), itu tak penting. Yang penting: ada seorang “agung” yang menurut orang-orang tua Jawa pantas ditauladani.
Tiap hagiografi—bukan biografi—adalah “teknologi” setengah lupa. Dalam hagiografi seseorang dijunjung tinggi dan dipisahkan dari tanah, kecoa, dan isi perutnya. Maka siapa “Panembahan Senapati”? Jawab Wedhatama: seseorang yang dahsyat. Ia sanggup mengurangi hawa nafsu, gemar mencari sunyi, bersemadi, hingga akhirnya, di tepi samudra, kesaktian memenuhi dirinya. Bahkan ia bisa menghimpunnya dalam sekali genggam, rinegan segegem dadi. Dan ia pun mampu menguasai alam, termasuk Ratu Kidul yang gaib dari Laut Selatan.
Dongeng ini disusun dengan petuah yang klasik: seseorang akan berhasil jika bisa mendisiplinkan kesadaran dan tubuhnya. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.... Dalam Wedhatama, Senapati akhirnya menjadi subyek yang berhasil menaklukkan sekaligus tubuhnya sendiri, alam, dan misterinya. “Aku berkuasa, angratoni, atas yang Bukan-Aku.”
Dan begitulah cerita “peradaban”. Begitu pula datangnya dunia modern. Yang menarik, dalam karya sastra yang dianggap “tradisional” ini, pertapaan dan meditasi bukan dijalani sebagai momen “mimetik” dengan lingkungannya—bukan “bentuk cinta yang awal”, der Urform von Liebe, dengan alam seperti kata Adorno dalam Minima Moralia. Bertapa adalah persiapan penaklukan. Alam itu lawan.
Saya ingat Odisseus dalam puisi Homeros.
Odisseus, Raja Ithaca, berlayar pulang dari Perang Troya. Pada suatu hari, kapalnya melewati sebuah pulau di mana terdengar nyanyian Siren, makhluk setengah burung setengah perempuan. Orang tahu, suara ajaib mereka biasa merayu para pelaut agar turun bergabung dengan makhluk alam itu dan tak mau pulang. Tapi Odisseus siap. Ia perintahkan para awak kapal menutup rapat-rapat kuping, sementara ia sendiri—yang ingin menikmati nyanyian Siren—minta diikat erat ke tiang pokok. Itulah strateginya: bila nanti mendengar nyanyian itu dan tergoda, ia akan tetap berada di kapal.
Odisseus berhasil. Ia mengkalkulasi kemungkinan dengan cerdik. Dalam Dialektika Pencerahan (Dialektik der Aufklärung), Adorno dan Horkheimer—dua pemikir Jerman yang setelah Perang Dunia I melihat kapitalisme membawa “hidup yang cedera”—mengurai sumber kecerdikan Odisseus: orang Ithaca ini menggunakan ketajaman akal instrumental, akal manusia yang terarah untuk mendapatkan hasil dengan efisien. Odisseus, yang lama berpisah dari isteri dan istananya, sukses, dengan menaklukkan tubuhnya: mengikatkan diri di tiang kapal. Ia juga berhasil karena ia, penguasa kapal, mendominasi orang lain; ia melarang kelasinya menikmati nyanyian Siren. Dan ia menang atas alam yang hidup, Siren.
Dalam gambaran ini, Odisseus mirip seorang pebisnis dalam masyarakat borjuis: ia maju dengan risiko yang diperhitungkan, menahan diri dan mengontrol tubuhnya, seraya tetap mencicipi kenikmatan. Odisseus “menuruti asas kuno yang mendasari masyarakat borjuis”, tulis Adorno dan Horkheimer: ia harus cerdik, atau habis.
Mungkin demikian juga Senapati.
Ia, yang lahir dengan nama Danang Sutawijaya, datang dari keluarga petani biasa. Ayahnya: Pemanahan, ibunya: Mbok Sabinah. Nasibnya berubah setelah si ayah meminum air kelapa yang bukan miliknya tanpa izin—air kelapa yang, kata sahibulhikayat, punya daya ajaib.
Pemuda Sutawijaya ambisius, energetik, cerdik. Dalam cerita rakyat Jawa Tengah dikisahkan bagaimana di tahun 1549 ia menghadapi Ario Penangsang, Bupati Jipang yang tak mau tunduk kepada Sultan Hadiwijaya. Sutawijaya sengaja naik kuda betina yang cantik. Kuda Penangsang pun jadi berahi. Ia tak bisa dikendalikan dan menyeberangi sungai yang memisahkan kedua pasukan. Dalam keadaan itu, Sutawijaya menyerang. Ia tusuk sang Bupati Jipang pada perut. Ususnya keluar. Penangsang, yang mudah diprovokasi, langsung mencabut kerisnya. Ujung senjata berbisa itu mengerat ususnya yang terburai. Ia mati.
Akal instrumental berhasil....
Sutawijaya kemudian menyebut diri Panembahan Senapati. Mataram berdiri, ekspansif, lebih “maju” ketimbang kerajaan-kerajaan Jawa masa lalu. Tapi “kemajuan” itu masih terbatas. Ketika raja-rajanya harus menghadapi kompeni dagang Belanda, yang lebih modern dalam dana dan senjata, Mataram kalah.
Kenapa sisi kekuatan Mataram yang konon magis tak efektif? Mungkin karena di zamannya, hal-hal yang magis—diwakili Ratu Kidul yang misterius—sudah tak berwibawa lagi. Entzauberung, kata Max Weber tentang modernitas, hilangnya yang “magis” dari kehidupan. Panembahan Senapati telah mengalahkannya. Dan justru dengan itu Mataramnya akhirnya merorot.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo