Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Catatan pinggir: terlalu "pinggir"

4 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya berpendapat, Catatan Pinggir Goenawan Mohamad dalam TEMPO 13 April 1991 agak "mis" dalam menilai cita negara (staatsidee) yang dikemukakan Soepomo untuk Negara Republik Indonesia yang akan dibangun. Soepomo tidak hanya melihat Das Sollen, yang memang merupakan keharusan bagi seorang ahli hukum pada umumnya, melainkan juga ia melihat Das Sein sebagaimana layaknya seorang ahli hukum adat pada khususnya. Cita negara yang dikemukakannya menjawab permintaan Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai Dr. Radjiman Wedyodiningrat mengenai dasar filsafat (phillossophische grondslag) atau pandangan hidup ( Weltanschauung) dari negara kita. Cita negara sama halnya dengan cita hukum (rechtsidee), adalah tipe ideal. Dalam melukiskan cita hukum, Rudolf Stammler mengumpamakannya sebagai bintang pemandu (Leitstern) yang tidak mungkin dicapai namun dapat mengarahkan dan menguji kenyataan sosial yang terjadi. Begitu juga cita negara persatuan ataupun cita negara kekeluargaan memang perlu ada sebagai pilihan dari beberapa cita negara yang "tersedia". Tanpa suatu cita negara, Negara Republik Indonesia akan kehilangan arah dan segala yang terjadi dalam kenyataan sosial tidak dapat diukur benar tidaknya. Jadi, andai kata kita tidak setuju sekalipun dengan cita negara yang dikemukakan Soepomo, kita juga tetap memerlukan suatu cita negara. Silakan pilih! Selanjutnya, adalah tidak benar bahwa Soepomo menolak usul Bung Hatta mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya. Usul Bung Hatta yang berbunyi, "Hak rakyat untuk menyatakan perasaan dengan lisan dan tulisan, hak bersidang dan berkumpul, diakui oleh negara dan ditentukan dalam undang-undang", tidak disetujui oleh Soepomo karena adanya kata "hak" dalam arti subjectief recht, karena dianggapnya bertentangan dengan sistematik cita negara kekeluargaan yang nota bene. Soepomo kemudian, setelah memahami maksud Bung Hatta, menawarkan usul "kompromis" karena dianggapnya "tidak semua orang dapat lekas insaf kepada paham kekeluargaan itu", dengan menyampaikan rumusan "Hukum yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan dan lain-lain diatur dengan undang-undang". Akhirnya, usul "kompromis" itu memperoleh rumusan "kompromis" pula sebagaimana bunyinya yang kita temukan dalam UUD 1945. (Bukan kata "hak" dan bukan pula kata "hukum", melainkan langsung dengan kata "Kemerdekaan ... dst." Lihat Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 susunan Muh. Yamin halaman 357 dan 358 jo. halaman 299). Saya juga berpendapat, Soepomo membuat kesalahan dengan menggunakan kata-kata "totaliter", "integralistik", "persatuan", dan "kekeluargaan" dalam arti dan maksud yang sama sebagaimana dilihatnya pada desa kita. Namun, untuk menyalahkan Soepomo begitu saja, karena dewasa ini kita melihat kenyataan yang belum sesuai dengan cita negara yang dikemukakan olehnya, catatan Goenawan Mohamad terlalu "pinggir" dan, karena itu, saya rasa tidak adil. A. HAMID S. ATTAMIMI Jl. Leuser No. 54 Kebayoran Baru Jakarta 12120

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus