Dalam tulisan "Upacara Bendera" (TEMPO, 13 April 1991, Kolom) Subagio Sastrowardoyo bercerita tentang manajemen perusahaan Jepang, Matsuhita yang mempraktekkan falsafahnya pada 87 ribu buruhnya. Praktek ini dilaksanakan di seluruh negeri Jepang. Gambaran ini ditampilkan dengan maksud untuk memberikan contoh falsafah yang baik: tidak hanya omong kosong seperti upacara bendera kita. Malah setiap pagi, sosialisasi faisafah Matsuhita diintensifkan melalui pembacaan falsafah perusahaan dan bernyanyi bersama. Banyak hal yang perlu dipertanyakan agar falsafah, yang antara lain diucapkan dalam upacara-upacara bendera, tidak menjadi omong kosong. Dan saya ragu apakah manajemen Matsuhita dapat dijadikan ilustrasi. Syukurlah kalau memang pandangan buruhnya sendiri sudah terwakili dalam tulisan pengarang The Japanese Art of Management, yang menjadi acuan penulis kolom tersebut. Tapi benarkah manajemen Jepang mulai memperhatikan batasan jam kerja, pengupahan, perlakuan adil antara laki-laki dan perempuan, status dan jaminan jelas bagi buruh part time, tidak mengganggu otonomi serikat buruh, dan mengakui bahwa buruh juga merupakan orangtua yang memerlukan waktu memadai untuk anak-anaknya? Sebagai sastrawan, seharusnya Subagio tidak akan menerima begitu saja pandangan satu pihak, yaitu menganggap seluruh masyarakat Jepang makmur dan manajemennya patut ditiru. Tapi apa sebenarnya yang terjadi di Jepang. Masalah perburuhan yang timbul di situ antara lain: * karoshi atau kematian akibat jam kerja yang terlalu panjang * diskriminasi upah perempuan dan hak lain bagi laki-laki * tertutupnya kesempatan kerja penuh bagi wanita yang telah berkeluarga, sehingga kebanyakan wanita hanya dapat memilih status part time yang penghasilannya di bawah pekerja tetap dan laki-laki * buruh part time tidak berhak masuk serikat buruh, sampai akhir-akhir ini terbentuk serikat buruh nonkonvensional yang berdasarkan wilayah, bukan perusahaan * buruh wanita merasa serikat buruh biasa tidak tanggap terhadap masalah mereka, dan belum lama ini terbentuk serikat buruh non-konvensional lain: Serikat Buruh Wanita * bertumbuhnya baby hotel, tempat penitipan anak sampai malam hari karena sang ibu bekerja sampai malam, dan lain-lain. Ini hanya sedikit contoh. Dan tentu kita akan bereaksi bahwa mereka lebih makmur dari kita. Namun, sekali lagi, masalahnya adalah, lebih baik jangan menggunakan ilustrasi manajemen suatu perusahaan untuk memberikan contoh bagaimana pengamalan falsafah yang baik. ATI NURBAITI Jalan Haji Nawi 106 B Jakarta 12420
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini