Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tasawuf: penghambat llmu dan teknologi

4 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesudah saya membaca "Mencari -- Sang Sufi" (TEMPO, 20 April 1991, Laporan Utama), rasa penasaran seakan tersembul. Sebab, sajian utama TEMPO tersebut, sekilas kesannya hanya pengantar. Tiga bagian tulisan TEMPO mengenai tasawuf, terkesan sebagai pemantik untuk membangun kegatalan emosi tentang apa dan siapa sufi itu. Ada tiga hal yang mempesona setelah menyimak tulisan utama TEMPO. Pertama, benarkah tasawuf lahir dari kebimbangan? Kedua, adakah anjuran bagi umat Islam untuk tidak mencintai dunia. Ketiga, mahasiswa kini banyak yang melirik tasawuf. Mengapa tasawuf? Mengapa orang harus mencari Tuhan lewat kebatinan Islam itu? Benarkah karena jenuh terhadap rutinitas keseharian hidup yang dipenuhi rasionalitas? Atau, manusia memang ingin manunggal dengan Hakikat Muhammad hingga mencari zat ilahi untuk kedamaian abadi. Ada pepatah yang sangat terkenal di Amerika Serikat: Life Begins at 40. Ungkapan ini bisa menjadi kunci mengapa orang mesti merangkul tasawuf. Pada usia 40, kematangan jiwa telah mapan. Namun, sebaliknya harus diakui, umur 40 juga merupakan puber kedua. Bukan rahasia lagi bahwa pada usia itu, ada yang memelihara wanita ranum menawan untuk dijadikan clandestienevrouw atau tweede-vrouw. Maka, dua jalan terbentang di umur 40. Mau menikmati dunia fana sepuasnya atau menyiapkan kehidupan di alam baka. Tasawuf lahir dari kebimbangan? Namun, bukankah tiap agama sudah menggariskan segala sesuatu secara rinci tentang ajaran-ajaran yang disampaikan? Islam, misalnya, mewajibkan umatnya melaksanakan salat. Komunikasi transendental ini adalah cara pendekatan diri seorang hamba kepada Sang Khalik. Dalam persentuhan rohani dengan Tuhan itu, tiada kebimbangan dan tanpa keraguan. Kalau seorang beralih ke tasawuf karena bimbang, berarti ia meragukan ajaran agamanya. Tasawuf harus dilihat kalau lahir dari kreativitas semata. Dalam Quran, tentang aktivitas berzikir (ibadah dan kebesaran keagamaan), hanya ada dua surat (1,7%). Sedangkan mengenai masalah politik dan masyarakat ada 27 surat (22,5%). Dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam melaksanakan salat lima kali sehari-semalam. Misal, tiap salat butuh 15 menit, berarti dalam 24 jam, pendekatan diri kepada Allah hanya 75 menit. Sedangkan untuk bekerja, minimal waktu yang dibutuhkan sekitar lima jam. Ini menunjukkan manusia diciptakan untuk menjadi pemimpin. Bukan sekadar memuji kebesaran Allah. Dalam Quran, Tuhan menantang umatnya untuk berusaha: "Sungguh, Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, bila mereka tidak mengubah keadaannya sendiri" (ar-Ra'd: 11). Dalam artikel: Berbagai Jalan Menuju Al-Khalik, ada kalimat: "Lalu, dalam berpakaian, Syekh Babussalam menganjurkan agar memakai pakaian buruk di sebelah luar. Entah apa tujuannya. Boleh jadi, ada kaitannya dengan anjuran untuk tidak mencintai dunia". Kalimat terakhir seakan memvonis bahwa Islam tak mencintai dunia, dan tidak tertarik dengan harta. Padahal, Islam menganjurkan untuk bekerja. Orang-orang yang mengesampingkan duniawi adalah manusia yang tak lolos seleksi tauhid. Allah menciptakan manusia ke dunia -- ini sebagai the leader. Bila dunia yang cuma satu ini tidak digarap, berarti pembangkangan besar di hadapan Tuhan. Firman Allah: "Dan Kami jadikan bagi kamu bumi sebagai lapangan kehidupan. Tetapi sedikit saja di antara kamu yang bersyukur" (al'Araf: 10). Yang menggelitik, ternyata ada mahasiswa mempraktekkan dunia tasawuf dalam kehidupannya. Ini mengingatkan, seorang anak yang belajar matematika tetapi belum paham berhitung. Akibat mempelajari secara dini tasawuf itu, akan tumbuh sikap pesimistis dan skeptis terhadap lingkungannya. Sebab, dalam benaknya bergemuruh kerinduan yang emosional terhadap sesuatu yang selama ini tak disentuhnya. Pelampiasan emosi berlebihan tersebut akan menimbulkan ketimpangan psikologis. Harmoni kejiwaan akan terganggu. Nabi Muhammad, ketika sering menyendiri untuk memikirkan alam sekitarnya, sudah sangat mapan jiwanya. Ia telah bergelar alAmin (terpercaya) saat menerima wahyu pertama. Ketika Nabi Muhammad ke gua Hira untuk melakukan tahannuf (beribadat dan menjauhi dosa), ia pun telah hampir 40 tahun. Usia yang sangat matang untuk berhadapan dengan kesucian abadi. Mahasiswa yang mendalami tasawuf sama saja dengan menghambat kemajuan ilmu dan teknologi. Sebab, ketika mereka harus bergelut dengan keadaan dunia, tiba-tiba berpaling ke alam mistik. Padahal, otak mereka masih segar untuk mengolah berbagai disiplin ilmu. Banyak masalah yang mesti dibenahi di usia muda hingga tak perlu mementingkan diri sendiri dengan jalan tasawuf. Apalagi kreativitas berpikir masih meledak-ledak. Humor Yoga Soegama perlu disimak. "Seandainya ada orang mudanya disebut buaya, yang kalau bisa sebelum mati, jadilah buya". Sebab, Life Begins at 40. ABDUL HARIS BOOEGIES Jalan Veteran No. 292 A Ujungpandang 90133

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus