Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cile dan Indonesia: Saling Belajar?

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arief Budiman
Pengajar politik di Universitas Melbourne

PADA Januari 2000, untuk kedua kalinya seorang sosialis terpilih menjadi presiden di Cile. Dia bernama Ricardo Lagos. Presiden sosialis pertama yang dipilih secara demokratis di negeri itu terjadi pada 1970. Namanya Salvador Allende. Tapi dia hanya bertahan tiga tahun. Pada September 1973, sebuah kudeta militer yang dipimpin Jenderal Augusto Pinochet dilancarkan. Allende menolak menyerahkan kekuasaannya, dan dia mati ditembak di meja kantornya. Cile dan Indonesia Ada beberapa persamaan antara Cile dan Indonesia. Ketika Jenderal Soeharto melakukan kudeta terselubung terhadap Presiden Sukarno pada 1966, alasannya adalah untuk mencegah berkuasanya komunisme di Indonesia. Jenderal Pinochet menggunakan alasan yang sama ketika melancarkan kudeta terhadap Presiden Allende pada 1973. Pinochet sadar benar akan persamaan ini, sehingga kudeta di Cile diberi nama sandi Operasi Jakarta. Memang, Sukarno tidak dibunuh dan dia dibiarkan wafat di Bogor dalam status tahanan rumah. Namun, setengah sampai satu juta orang (perkiraan Amnesti Internasional) yang dituduh sebagai komunis mati terbantai. Ini sama dengan 0,3-0,6 persen penduduk, yang berjumlah 150 juta jiwa, ketika itu. Di Cile, sekitar 3.000 orang menjadi korban, atau 0,03 persen dari jumlah penduduk. Setelah Jenderal Pinochet berkuasa dengan dukungan negara-negara Barat yang antikomunis, ia mengembangkan pembangunan dengan pola kapitalisme. (Sebelumnya, Allende telah mencoba mengubah secara demokratis pembangunan yang bersifat kapitalistis menjadi pembangunan sosialistis melalui ''jalan Cile" atau ''via Chilena".) Bantuan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, yang memboikot Cile ketika Allende berkuasa, segera masuk lagi. (Bandingkan dengan masuknya kedua lembaga keuangan internasional itu ketika Soeharto berkuasa pada 1966, setelah menggulingkan Sukarno yang mau menerapkan pembangunan ekonomi ''Sosialisme ala Indonesia" yang memusuhi kapitalisme internasional.) Ekonomi Cile berkembang dalam hal pertumbuhannya, diikuti oleh kesenjangan kaya-miskin yang makin melebar. (Bandingkan dengan pembangunan di Indonesia, yang juga kira-kira sama hasilnya.) Pinochet juga menggunakan para teknokrat ekonomi didikan universitas Amerika (Universitas Chicago) sebagai arsitek pembangunannya, yang dikenal dengan nama Los Chicago Boys. (Bandingkan dengan The Berkeley Mafia di Indonesia, di mana dipakai ekonom-ekonom lulusan Universitas Berkeley dari Amerika Serikat.) Tidak berlebihan kalau dikatakan memang Pinochet banyak belajar, bahkan meniru, apa yang terjadi di Indonesia. Reformasi di Cile dan Indonesia Setelah itu, memang perkembangan kedua negara menjadi agak berbeda. Cile tampak bergerak lebih cepat. Kita tahu apa yang terjadi pada Soeharto. Tiga puluh dua tahun kemudian, pada 1998, dia dipaksa mundur oleh gerakan mahasiswa prodemokrasi. Akan halnya Cile, reformasi datang lebih awal. Pinochet hanya bisa bertahan sekitar 15 tahun. Di pengujung 1980-an, dalam sebuah referendum nasional, rakyat Cile menolak dilanjutkannya pemerintah militer. Pinochet dipaksa ''lengser" dari jabatan presiden. Tapi dia minta konsesi, yakni tetap memegang jabatan panglima angkatan bersenjata, dan bahwa pemerintah sipil tidak bisa mencampuri urusan internal militer (dalam hal penunjukan dan kenaikan pangkat), di samping militer juga tidak bisa mencampuri politik sipil. Kemudian, Pinochet juga diangkat sebagai senator agung yang tidak bisa dibawa ke muka pengadilan. Tahun 1990-an merupakan dasawarsa pemerintahan sipil, di mana presiden dipilih secara periodik dalam sebuah pemilihan umum yang demokratis. Jenderal Pinochet praktis menguasai sepenuhnya lembaga militer Cile yang bebas dari campur tangan sipil ini, sampai secara tidak terduga, ketika sedang berobat di Inggris, dia ditahan sebagai orang yang disangka melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan pada 1973. Sementara itu, seperti dapat diduga, pembangunan kapitalistis di Cile mengalami masalah pemerataan. Krisis ekonomi yang melanda dunia pada akhir abad lalu memperburuk kondisi orang-orang lapisan bawah negeri tersebut. Maka, penduduk Cile jadi terkenang lagi kepada Salvador Allende, presiden sosialis yang menyusun kebijakan pembangunannya untuk menolong kaum miskin tanpa membuat sistem politiknya menjadi otoriter seperti pada umumnya negara komunis lainnya. Saat itu, kaum miskin di Cile secara lantang menyerukan yel-yel, ''El pueblo, unido, jamas sera vencido," yang artinya, ''Rakyat, bersatu, tak mungkin terkalahkan." Pemilihan Umum Dalam keadaan ekonomi yang sulit itulah tiba masanya untuk melakukan pemilihan umum lagi. Calonnya ada dua: Joaquin Lavin dan Ricardo Lagos. Yang pertama, Lavin, mewakili kelompok liberal yang akan membangun Cile berdasarkan prinsip-prinsip pasar bebas dan kapitalisme. Dia juga merupakan orang yang dulu bekerja sama dengan Jenderal Pinochet. Yang kedua, Lagos, berkampanye atas dasar ekonomi sosialistis. Lagos pernah menjadi pembantu Salvador Allende. Ketika Pinochet melakukan kudeta pada 1973, Lagos melarikan diri ke Amerika Serikat sampai beberapa tahun. Saat pemilihan umum Januari lalu, rakyat Cile menghadapi dua pilihan: pembangunan kapitalis atau sosialis, pro atau anti-Pinochet. Tapi, dalam kenyataannya, kedua pilihan ini tidak hitam-putih. Dalam kampanyenya, meski mengutamakan pertumbuhan ekonomi di atas pemerataan (prinsip kapitalisme), Lavin banyak berbicara tentang nasib orang-orang miskin dan kaum pengangguran di Cile. Sebaliknya Lagos. Meski mempropagandakan ekonomi sosialis, Lagos tidak berbicara tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta seperti yang dilakukan Salvador Allende, yang mengakibatkan pelarian modal serta reaksi keras dari Amerika Serikat. Dia lebih banyak berbicara tentang perbaikan-perbaikan kondisi kaum miskin di Cile. Dengan demikian, di antara kedua calon yang bersaing, tidak banyak perbedaan dalam hal politik pembangunan ekonominya. Yang di kanan bergerak ke kiri, sementara yang di kiri bergerak ke kanan. Mungkin yang lebih menentukan adalah sikap terhadap Pinochet. Keluarga korban yang terbunuh dan para pejuang hak asasi manusia dengan keras menentang Lavin, yang dekat dengan Pinochet, untuk menjadi presiden mereka. Mereka jelas memilih Lagos. Tapi Lagos, yang sadar benar bahwa pendukung Pinochet masih sangat kuat di negeri itu (terutama kelompok kelas menengah yang diuntungkan oleh Pinochet ketika menjalankan ekonomi yang kapitalistis), sangat berhati-hati dalam menjalankan kampanye anti-Pinochetnya. Dalam pidato penerimaannya ketika terpilih menjadi presiden, Lagos diteriaki oleh ribuan pendukungnya yang mengingatkan janjinya untuk mengadili Pinochet. Dia tampak tersentak. Setelah beberapa saat, dia mengatakan bahwa pengadilanlah yang akan menentukan dan bahwa ''kita harus menghormati kemandirian proses hukum." Kemudian, dia menekankan bahwa yang penting bagi Cile adalah memikirkan masa depan, bukan masa lalu. Pinochet adalah persoalan masa lalu. Jelas sekali bahwa Lagos bersikap pragmatis terhadap kepentingan politiknya. Dia ingin mendapat dukungan dari mayoritas warga Cile, baik yang di kiri maupun yang di kanan. Dari uraian di atas, tampaknya kita bisa melihat bagaimana kira-kira corak pembangunan Cile di bawah Presiden Lagos nanti. Meski datang dari Partai Sosialis, tampaknya Lagos akan bersikap hati-hati dan sangat moderat dalam menjalankan pembangunan sosialisnya. Ini juga yang terjadi pada Presiden Brasil, Fernando Henrique Cardoso, seorang cendekiawan kiri yang menjadi salah seorang pencetus Teori Ketergantungan. Setelah dia menjadi presiden, program-program pembangunannya menjadi sangat moderat dan pragmatis, sehingga banyak kelompok cendekiawan Marxis yang menuduhnya sebagai orang yang telah ''menyeberang" ke kubu lawan. Dari uraian di atas, kita melihat, dibandingkan dengan Indonesia, Cile sudah lebih dulu menyelesaikan proses reformasinya. Sistem politik demokrasinya sudah kuat, pemilihan umumnya sudah bisa dijalankan dengan teratur, dan sistem kepartaiannya sudah sehat. Indonesia masih dalam proses reformasi. Posisi militer dalam politik sipil masih belum jelas. Partai-partai masih belum sehat dan kita masih harus menunggu apakah pemilihan umum yang demokratis masih bisa dilaksanakan pada tahun 2004 nanti. Dalam hal pembangunan ekonomi, kita tampaknya masih akan menjalankan sistem ekonomi pasar bebas yang kapitalistis karena ketergantungan kita pada investasi dari luar serta bantuan keuangan dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Kalau ini sudah berjalan dengan agak mantap, sudah dapat dipastikan bahwa isu kesenjangan akan muncul. Sebuah program ekonomi yang lebih sosialistis akan menjadi kebutuhan dan mungkin seorang tokoh dengan wacana sosialisme akan muncul dan terpilih. Nah, kalau dulu Pinochet harus belajar dari Soeharto untuk melancarkan kudetanya, barangkali di masa depan kita harus menoleh pada Cile untuk mengambil pelajaran-pelajaran yang berharga. Tidak ada salahnya kalau kita lebih mengamati Cile sejak sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum