Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Reformasi KPU

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andi A. Mallarangeng
Dosen IIP, anggota KPU wakil pemerintah

KETIKA Rudini pertama kali mengungkapkan ide perlunya "peneliti-peneliti profesional" untuk menggantikan anggota KPU wakil partai politik dan wakil pemerintah, banyak orang terkesima, terutama karena ide itu datang dari Rudini. Alasan Rudini, tugas KPU yang tersisa adalah mengevaluasi penyelenggaraan dan sistem pemilu. Yang menarik, saat itu tidak terdengar reaksi apa pun dari anggota KPU, terutama dari partai politik. Belakangan, ribut mengenai KPU kembali ramai di pers justru ketika ide Rudini dikembangkan sebagai agenda perubahan KPU menjadi badan penyelenggara pemilu yang independen dan nonpartisan, sesuai dengan amanat GBHN, yang merupakan ketetapan Mpr tahun 1999. Sesuai dengan tata urutan perundangan di Indonesia, ketetapan MPR mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada undang-undang. Dengan demikian, keanggotaan KPU yang terdiri dari wakil partai politik dan wakil pemerintah, sesuai dengan Undang-Undang Pemilu Tahun 1999, jelas sudah tidak sesuai lagi. Yang mengherankan, hal itu dianggap sebagai konspirasi partai besar terhadap partai kecil yang berkuasa di KPU. Reformasi KPU menjadi KPU yang independen dan nonpartisan ini menjadi mendesak ketika kita dihadapkan pada mandat untuk mengadakan pemilu lokal di daerah-daerah otonom baru hasil pemekaran wilayah sesudah Pemilu 1999. Pemilu lokal itu harus diadakan paling lambat setahun setelah peresmiannya, yaitu Oktober 2000. Pertanyaannya, apakah kita ingin mengulang mimpi buruk dengan KPU yang partisan sebagai penyelenggara pemilu lokal. KPU yang partisan ini telah gagal menyelesaikan seluruh tahapan pemilihan umum. Benar bahwa KPU ini berhasil melaksanakan pendaftaran dan pemungutan suara, tetapi gagal menyelesaikan penghitungan suara, sehingga penetapan hasil penghitungan suara Pemilu 1999 harus dilakukan oleh presiden sebagai penanggung jawab pemilu. Kegagalan ini disebabkan karena partai-partai yang "kalah", yang jumlahnya selalu lebih besar dari partai yang "menang", menolak menandatangani sertifikat hasil penghitungan suara pada setiap tingkatan penghitungan suara. Tidak ada jaminan bahwa KPU yang partisan ini mampu melampaui semangat partisannya dan menyelesaikan penghitungan suara dalam pemilu lokal secara obyektif. Dalam situasi maraknya konflik sosial yang terjadi di daerah otonom baru tersebut, seperti di Maluku, Papua, Kalimantan, dan Aceh, keributan dan kegagalan dalam penghitungan suara akan memperuncing situasi konflik. Pemilu lokal yang seharusnya mentransformasikan konflik jalanan menjadi perdebatan berbudaya di parlemen justru akan mempertajam dan memperdalam konflik yang ada. Sebuah KPU yang independen dan nonpartisan merupakan keniscayaan jika kita menghendaki pemilu yang lebih baik. Sebuah KPU yang anggotanya terdiri dari orang yang tidak menjadi anggota dan pengurus partai politik, yang mempunyai komitmen yang kuat terhadap demokrasi, mempunyai pengetahuan dan pengalaman teknis penyelenggara pemilu, serta pengetahuan yang dalam tentang sistem pemilu dan kepartaian, akan lebih mampu melakukan evaluasi penyelenggaraan pemilu dan sistem pemilu secara obyektif dan adil. Calon-calon anggota KPU ini diusulkan oleh presiden tetapi perlu mendapat persetujuan dari DPR. Bayangan saya, mereka yang layak dicalonkan adalah mereka yang berasal dari kalangan masyarakat madani yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu 1997, seperti pemantau pemilu dan LSM lainnya, kalangan kampus, akademisi dan peneliti yang menggeluti masalah pemilu, serta kalangan profesional yang berpengalaman dengan penyelenggaraan pemilu. Dalam proses konfirmasi, DPR dapat mempertanyakan kompetensi, independensi, serta integritas setiap calon secara terbuka, sehingga kita benar-benar mendapatkan anggota KPU yang memenuhi semangat GBHN itu. Jumlahnya pun tidak perlu sebanyak sekarang ini, tetapi cukup sembilan orang, sebagaimana juga di negara-negara lain, sehingga kelincahan dan kekompakan KPU dalam penyelenggaraan pemilu akan terwujud. Tentu saja karena pembentukan KPU yang partisan dilakukan dengan undang-undang, revisi undang-undang pemilu, khususnya mengenai penyelenggara pemilu, harus dilakukan. Melihat adanya konsensus tentang masalah ini antara anggota DPR dan pemerintah, serta dukungan dari kalangan masyarakat madani, besar kemungkinan reformasi KPU akan segera dilakukan. Bagi partai-partai yang tetap ingin mempertahankan kedudukan di KPU, silakan memfokuskan diri pada konsolidasi partai masing-masing untuk menghadapi pemilu yang akan datang (tentu saja kalau threshold 2 persen dicabut), atau melakukan merger serta transformasi menjadi partai baru. Ini jauh lebih positif bagi partai masing-masing ketimbang menjadikan KPU sebagai panggung politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum