TAK kepalang tanggung, ada delapan nama menteri tercantum dalam kepengurusan Yayasan Wakaf Paramadina. Meski sekadar penasihat, beberapa bisa disebut: Rudini, Soepardjo Rustam, Ginandjar Kartasasmita, dan Ismail Saleh. Selain sejumlah pengusaha seperti Soedarpo Sastrosatomo dan Fahmi Idris, menurut seorang pengurus yayasan itu, aktivitas Paramadina melibatkan setidaknya 10 sarjana bergelar doktor, termasuk Nurcholish Madjid -- ketua dan salah seorang pendiri Paramadina. Yayasan ini bergerak dalam bidang pendalaman agama Islam dan memang banyak diminati kalangan menengah. Berdiri sejak 1987, Paramadina mungkin menjadi petunjuk betapa kini Islam bukan sesuatu yang jauh dari pejabat pemerintah, pengusaha, atau kalangan atas lainnya. Petunjuk lain juga masih banyak. Di antaranya, kini tak asing lagi bila sejumlah rektor dan gubernur tampil ke atas mimbar sebagai pembicara peringatan hari besar Islam. Gubernur Kalimantan Selatan M. Said, misalnya, pernah memberi ceramah Israk Mikrad di Masjid Istiqlal Jakarta. Menteri Perhubungan Azwar Anas malah sudah mirip mubalig saja, memberi ceramah di berbagai masjid. Kalau dalam simposium cendekiawan muslim, Kamis sampai Sabtu pekan ini, di Malang, Jawa Timur, Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie terpilih sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), tentu tidak mengagetkan. Ini menambah contoh, sekarang banyak pejabat yang memperlihatkan komitmennya pada Islam. Tentu ini gejala amat menarik. Sebab, beberapa di antara nama tadi sebelumnya tak dikenal sebagai santri. Dawam Rahardjo Direktur LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat), melihat gejala itu, namun sulit menerangkan penyebabnya. "Pokoknya, kesadaran itu timbul. Jadi, katakanlah dulu yang Islamnya marginal, sekarang aktif dalam berbagai kegiatan," katanya. Dan semangat beragama orang-orang yang disebut marginal itu agaknya tak kalah dengan santri. Dawam mengaku sering menemukan orang-orang Islam marginal atau Islam KTP -- orang yang lahir, khitan, kawin, dan mati secara Islam -- beribadah lebih khusuk dibandingkan banyak santri. "Kita-kita ini terkadang salatnya main cepat-cepatan saja, mungkin karena sudah biasa dan merasa sudah punya koneksi dengan Tuhan. Sedangkan mereka itu salatnya malah seperti sufi," tambah Dawam lagi. Menteri Agama Munawir Sjadzali mengungkapkan pengalamannya tahun lalu ketika sedang mengikuti sidang-sidang DPR membahas RUU Peradilan Agama. Terbukti menurut Munawir, orang-orang yang sering dijuluki non-santri malah di dalam sidang RUU itu komitmennya terhadap Islam tak kalah dengan yang santri. Maka, kemudian Munawir menganggap adanya tuduhan terhadap seseorang itu muslim pinggiran atau tidak, itu datangnya dari keangkuhan santri. "Kan ada kecenderungan santri mempertanyakan keislaman mereka yang di luar santri. Padahal, dari pengalaman kita, itu tak benar," katanya. Pada waktu-waktu tertentu mereka yang bukan santri sering memperlihatkan komitmennya pada agama. "Dan tanpa mereka kita sering nggak berhasil. Karena itu, ya jangan apriori." Menteri ini kemudian memetikkan kisah Chalid Bin Walid, panglima perang yang amat terkenal di zaman Khalifah Umar Bin Khattab. "Dia itu kan masuk Islamnya baru-baru saja, beberapa waktu sebelum penaklukan Mekah. Tapi dia dijuluki Syaiful Islam, pedang Islam," ujar Munawir. Bersamaan dengan gejala ini, yang lebih menarik, terasa ada terjalin hubungan yang lebih mesra antara pemerintah dan kalangan Islam. Ada contoh kecil, ditunjukkan Dawam Rahardjo, ketika Presiden Soeharto mengajar sejumlah murid taman kanak-kanak membaca surat Al Fatihah, dalam suatu upacara merayakan hari kanak-kanak internasional di Jakarta. Peristiwa yang disiarkan TVRI itu dampaknya luar biasa. "Saya lihat orang Muhammadiyah terharu, bahkan ada yang menangis menyaksikan peristiwa itu. Pak Harto sendiri kan pernah dididik di sekolah Muhammadiyah," kata Dawam. Keberhasilan pemerintah mengegolkan Undang-Undang Pendidikan Nasional pada 1988 dan Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA), 1989, bagi kalangan Islam di sini dianggap sebagai itikad baik pemerintah terhadap Islam. Ketika kedua RUU itu dibicarakan di DPR, berbagai reaksi keras bermunculan dari kelompok-kelompok non-Islam. Malah ada yang menuduh RUU-PA sebagai bentuk lain dari Piagam Jakarta, konsep pembukaan UUD 1945. Padahal, atas kesepakatan "bapak-bapak" bangsa, itu telah dihapuskan sehari setelah kemerdekaan diproklamasikan, karena dianggap bisa menimbulkan perpecahan. Piagam Jakarta mengandung kalimat bahwa negara didasarkan pada Ketuhanan yang Maha Esa, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Anak kalimat "kewajiban menjalankan syariat Islam ..." itulah yang kemudian disepakati untuk dihapuskan. Dan bukan lagi rahasia umum bahwa bagi banyak kalangan Islam, berhasilnya kedua undang-undang tadi digolkan berkat kemauan dan figur Presiden Soeharto. Sebenarnya, UUPA intinya meneguhkan eksistensi pengadilan agama di sini untuk mengadili perkara-perkara nikah, talak, rujuk, hibah, sedekah, dan kewarisan -- menurut hukum Islam. Pengadilan itu punya wibawa dan wewenang setara dengan pengadilan negeri. Ini sesuatu yang melebihi dari apa yang diperjuangkan Masyumi pada 1950-an. Sedangkan melalui Yayasan Amal Bakti Muslimin Pancasila dan Yayasan Dharmais yang dipimpinnya, Pak Harto membiayai program pengiriman 1.000 dai ke daerah-daerah terpencil -- terutama proyek transmigrasi -- untuk menyebarkan dakwah Islam. Program ini mulai berjalan bulan lalu. Dan harap dicatat juga: Yayasan Amal Bakti Muslimin Pancasila sejak 1970-an telah membangun 400-an masjid yang terserak di berbagai pelosok Indonesia. Kemudian dalam waktu dekat ini, seperti diumumkan Kepala Humas Departemen Dalam Negeri Amur Muchassim beberapa waktu lalu, akan dikeluarkan surat keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama untuk mengefektifkan pengumpulan zakat dan fitrah. Dalam pada itu, tindakan pemerintah membredel tabloid Monitor, yang sebelumnya di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, menjadi sasaran demonstrasi kalangan muda Islam, lebih mempertebal keyakinan banyak tokoh Islam bahwa pemerintah tak lagi "mencurigai" Islam. Terbukti bahwa setelah pembredelan itu, aksi-aksi protes memang langsung kendur untuk kemudian kempis sama sekali. Tampaknya, kesediaan B.J. Habibie -- salah satu orang pembantu dekat Pak Harto -- melibatkan diri dalam kegiatan ICMI yang berbendera "hijau" itu dilihat oleh banyak kalangan Islam sebagai bagian dari kecenderungan tadi. Namun, memang ada pengamat, termasuk dari kalangan Islam, yang menilai dekatnya hubungan birokrasi dengan Islam dalam beberapa tahun terakhir ini sebagai upaya mempertahankan status quo di bidang politik, setelah Pemilu 1992. Sebagai umat mayoritas, Islam mesti diperhitungkan. Sehingga pengamat ini melihat ICMI sarat dengan muatan politik. Pandangan itu segera dibantah oleh para pemrakarsa pertemuan cendekiawan Islam di Malang. Amin Rais, pengajar di Universitas Gadjah Mada, misalnya, tidak merasa pemerintah memanjakan Islam. "Sebaliknya, saya melihat tak ada pula penganaktirian Islam. Semua wajar-wajar saja," katanya. Malah Amin Rais, yang juga pengurus PP Muhammadiyah itu, memperoleh laporan bahwa sampai sekarang di berbagai pelosok ada pengurus majelis taklim atau pengajian di desa sering dipersulit. Kalau mereka mendatangkan mubalig dari luar, oleh aparat keamanan setempat masih dimintai surat izin mubalig (SIM). "SIM itu kan sesungguhnya rintangan birokratis yang menyebabkan orang tidak bebas melakukan ibadahnya," kata pendukung ICMI itu. Sementara itu, Dawam Rahardjo teringat tradisi raja-raja Jawa. "Raja-raja Jawa itu bagaimanapun akhirnya kembali juga ke agama. Akhirnya mereka naik haji," katanya. Tapi tentang Pak Harto, Dawam tak tahu. Yang jelas, ketika menyaksikan Pak Harto mengajar anak-anak membaca Al-Fatihah tadi, "Saya kira sikap Pak Harto murni sebagai yang berlatar belakang Muhammadiyah." Betapapun, bagi pemerintah yang berkuasa, Islam memang layak diperhatikan. Bukan cuma karena ia dianut mayoritas penduduk. Nurcholish Madjid sering mengungkapkan bahwa sejak awal 1980-an telah terjadi ledakan kaum Islam terdidik. Kenapa? Cak Nur -- panggilan akrab Nurcholish Madjid -- punya hipotesa bahwa anak-anak kalangan Islam (santri), yang di zaman Belanda kebanyakan cuma dikirimkan ke madrasah atau pesantren, sejak 1950 mulai mengalir ke sekolah umum. Yaitu setelah Menteri Agama Wahid Hasyim (ayah Abdurrahman Wahid) dan Menteri P dan K Bahder Djohan, yang keduanya itu dari Masyumi, sepakat memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum sekolah umum, dan melengkapi sekolah agama dengan mata pelajaran umum. Bila dihitung, sekitar 1962 atau 1963, terjadi pelonjakan jumlah anak kaum santri yang masuk universitas. Maka, sekitar enam atau tujuh tahun kemudian, mereka sebagai "boom" sarjana Islam yang pertama. Cak Nur, yang ketika itu Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), merasakan organisasinya melimpah anggotanya. Saat itu semangat mengganyang PKI sebagai musuh bersama juga satu faktor pendorong. Pada awal 1980-an, para lulusan universitas itu menduduki jabatan menengah di birokrasi. Juga ada sebagai manajer di perusahaan swasta. Atau menjadi meraih gelar Ph.D., bila ia melanjutkan sekolah ke luar negeri. "Saat itulah mereka mulai melihat keluar. Dan tampaklah betapa meningkatnya antusiasme keagamaan di kalangan muda Islam," kata Cak Nur. Mereka yang kemudian menjadi dosen mensponsori berdirinya masjid-masjid kampus, yang pada berikutnya memperluas sikap beragama di kalangan mahasiswa. "Tahun 1950-an, kalau ada mahasiswa salat, ia diejek teman-temannya, sekarang lain lagi," katanya. Dawam Rahardjo, yang mendukung hipotesa ini, menunjukkan betapa pada sekitar waktu yang disebutkan Nurcholish bermunculan para penyandang Ph.D. dari keluarga santri. Atau dari mereka yang komitmennya kuat dengan Islam, seperti Amin Rais, Kuntowidjojo, Yahya Muhaimin. Achmad Siraj, Sekjen Korps Alumni HMI (Kahmi) mengatakan, selama ini sekitar 1.000 di antara anggotanya adalah mereka yang menyelesaikan S2 atau S3 di luar negeri. Belum lagi setelah perbaikan IAIN. Belakangan yang lulus dari perguruan tinggi agama ini tak sedikit meraih titel doktor dari Eropa atau Amerika Serikat. Contohnya, Nurcholish Madjid sendiri. Sedangkan generasi di atasnya kini menduduki jabatan penting di birokrasi. Ada yang jadi menteri, dirjen, dirut perusahaan swasta, dan BUMN. Dalam kabinet sekarang, bukan hanya muncul Akbar Tandjung, bekas Ketua Umum PB HMI itu. Dawam menunjuk sejumlah menteri yang pernah terlibat di HMI, misalnya Arifin Siregar, Hasjrul Harahap, Saadillah Mursid, Azwar Anas, Syarifuddin Baharsyah, Nasrudin Sumintapura, dan Saleh Afiff. Ini belum dihitung mereka yang menjadi pengusaha seperti Fahmi Idris dan Sugeng Sarjadi dari kelompok Kodel itu. Terlepas akurat atau tidak pendapatnya, Marwah Daud, staf BPPT, menghubungkan semua ini dengan gejala global: kebangkitan agama-agama. Setelah puncak renaisans, orang akhirnya berpikir bahwa akal saja tidak memadai untuk memberi semua jawaban. "Pada zaman Newton, orang mengira segala sesuatu bisa dijelaskan dengan akal. Ternyata kok enggak. Maka, orang mulai kembali mencari sesuatu di belakang itu". Ada pula yang menghubungkan gejala ini dengan revolusi Iran 1979. Ketika berhadapan dengan Islam, Shah Iran sebagai rezim refresif yang dibantu angkatan bersenjata nomor lima kuat di dunia. Dalam sejarah Islam hubungan antara cendekiawan atau ulama Islam dengan birokrasi memang tak selalu mesra. Hambali, salah satu dari empat imam mazhab itu, misalnya, pernah dipenjarakan rezim yang berkuasa. Yazid, putra Muawiyah, terkenal sebagai seorang yang senang menindas ulama. Tapi sering pula ditemukan dalam sejarah Islam, hubungan yang mesra antara penguasa dan ulama. "Imam Ghazali menjadi pimpinan madrasah pertama dalam sejarah Islam karena ditunjuk penguasa," kata Zamakhsyari Dhofier. Menjabat salah satu direktur di Departemen Agama, ia ini penulis buku Tradisi Pesantren. Di Indonesia sendiri, kalau boleh disebut hubungan pemerintah dengan Islam pernah tak harmonis, menurut Fachry Ali, karena birokrasi fobi terhadap Islam. Sikap itu, kata kolomnis ini, adalah warisan kesalahpahaman dari pemerintah kolonial yang menganggap Islam sebagai sumber pemberontakan. Ketika itu selalu ada perbedaan pada priayi yang membantu Belanda dengan kelompok santri. Sampai pada masa Orde Lama, pemisahan kultural seperti itu masih terasa: para elite anak priayi tak mengenal Islam. Berbagai pemberontakan, misalnya seperti DI/TII, memperlanggeng trauma itu, bahkan sampai di masa Orde Baru. Tapi pembangunan telah mentransformasikan masyarakat, terutama kalangan Islam. Persepsi terhadap lingkungan politik dan sosial juga berubah. "Coba Nurcholish berani bilang Islam yes, partai Islam no. Abdurrahman Wahid memisahkan NU dari PPP, dan K.H. Ahmad Siddiq, Rais Am NU, menyatakan bahwa Indonesia yang Pancasila itu sudah merupakan negara final," kata Fachry. Perkembangan itulah -- yang ia maksud dengan deideologisasi -- kemudian perlahan-lahan menghilangkan trauma terhadap Islam. Dengan demikian ia hendak menjawab mengapa kemudian kalangan birokrat, menteri, dirjen, bahkan presiden, kini bicara tentang Islam dalam nada yang sejuk. Bahkan sejumlah menteri ikut jadi pengurus Yayasan Paramadina. Tak jelas mana yang benar. Tapi bagi Emha Ainun Nadjib, "umat Islam di Indonesia ibarat tanah". Ia faktor utama untuk membuka ladang -- dalam arti ekonomi dan industri -- kemudian mendirikan bangunan, yaitu kekuasaan politik. Siapa yang ingin berladang dan mendirikan bangunan, maka ia harus mendekati umat Islam. "Begitulah selama umat Islam masih merupakan mayoritas penduduk," katanya. Amran Nasution, Rustam F. Mandayun, Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini